Berburu mega-event olahraga sudah jadi strategi politik dan pembangunan yang semakin populer dalam beberapa dekade terakhir. Tendensi ini agaknya terkait dengan urgensi dan insentif globalisasi. Terlebih, manfaat yang disebut-sebut sangat luas.
Yang paling sering ditekankan adalah manfaat ekonomi, termasuk investasi infrastruktur dan peluang "promosi tempat" yang tak tertandingi, yang ditujukan untuk memperluas pariwisata, atau paling tidak kemampuan untuk memikat acara besar lainnya di masa mendatang.
Fakta bahwa perkiraan profit sering salah hitung, dan hampir selalu dilebih-lebihkan, sejauh ini antusiasme para calon tuan rumah tak banyak berkurang. Barangkali ini juga berkaitan dengan faktor lainnya: meningkatkan reputasi, atau biasa disebut "brand identity".
Dan lagi, pagelaran mega-event olahraga seperti Piala Dunia sudah terlanjur jadi sesuatu yang gemerlap. Kata jurnalis Sally Jenkins, "Ini adalah bisnis yang kita pilih. Ini adalah keputusan yang kita buat sebagai budaya dan sebagai negara dan sebagai pemerintah."
Pikirkan biaya transfer Neymar dari Barcelona ke PSG yang berkisar 222 juta euro. Dia sekarang menghasilkan 4 juta euro (sekitar Rp63,246 miliar) per bulan; angka yang berkali-kali lipat lebih tinggi dari total gaji dan tunjangan presiden di Indonesia.
Ada absurditas mendasar pada gambaran itu, dan lebih absurd lagi kalau kita menyoroti ketidaksetaraan sosial dan keuangan dalam masyarakat global. Namun, keterlibatan publik dan politik tampaknya terbatas pada masalah khusus ini. Mengapa?
Ringkasnya, sepak bola elite telah dibingkai sebagai hiburan global.Â
Di bidang ini, sorotan tertuju pada "Neymar sebagai pemain yang menghibur" daripada "Neymar sebagai buruh". Maka, tak heran kalau sepak bola profesional lebih dikaitkan dengan industri hiburan daripada pasar tenaga kerja.
Gaji yang dibayarkan juga sesuai dengan profitabilitas dan logika kompetitif olahraga, serta pemikiran pasar neoliberal dan kapitalisme winner-takes-all. Dalam hal ini, politik mencuat sebagai sesuatu yang erat, tapi sekaligus dianggap asing.
Politik dan olahraga
"Olahraga punya kekuatan untuk mengubah dunia," ujar Nelson Mandela. "Olahraga bisa menciptakan harapan, di mana dulu hanya ada keputusasaan. Itu lebih kuat ketimbang pemerintah dalam meruntuhkan pengejek rasial. Itu menertawakan segala jenis diskriminasi."