Massifikasi, di mana masyarakat menjadi kumpulan orang yang tanpa pemikiran dan mudah dimanipulasi, tampaknya akan menjadi hantu yang terus membayangi zaman kita, seiring dengan melesatnya perkembangan teknologi dan pemujaan berlebihan terhadap gaya hedonis.
Fenomena demikian jelas mengancam ketunggalan manusia sebagai persona. Atau ringkasnya, anonimitas akan selamanya mencorakkan masyarakat kita bila tidak diadakan perubahan.
Cerita pendek "The Man Who Shouted Teresa" karya Italo Calvino menggambarkan permasalahan tersebut dengan elegan. Kendati begitu singkat dan sederhana, justru memang di situlah letak seninya: pembaca dibiarkan untuk menafsir dan merenung lebih lanjut.
Karangan ini menceritakan seorang pria (sudut pandang orang pertama) yang berdiri di tepian trotoar, dalam sorotan cahaya bulan, lalu meneriakkan nama "Teresa" ke atas gedung.
Seseorang melintas dan lalu menghampiri sang narator untuk membantunya berteriak. Mereka memasang aba-aba, lantas berteriak secara serempak, memanggil nama seseorang yang masih belum juga muncul dari jendela gedung.
Hari semakin gelap, tetapi jumlah mereka semakin banyak: hampir dua puluh orang! Dan orang-orang baru terus berdatangan, ikut bergabung untuk meneriakkan nama "Teresa".
Setelah mengatur strategi dan mengorganisasikan diri dengan susah payah, orang yang diteriakkan namanya itu tidak kunjung muncul dari jendela gedung, bahkan tidak dari mana pun. Pada akhir cerita, kita diberitahu bahwa Teresa (mungkin) memang tidak pernah ada.
Ketika sang narator ditanya mengapa dia memanggil-manggil Teresa, jawabannya cukup menjengkelkan: "Setahuku, kita sebenarnya bisa memanggil nama lain, atau mencobanya di mana saja. Itu tidak jadi masalah."
Cerpen Calvino ini, di satu sisi, rasanya merupakan sindiran telak bagi masyarakat kita yang sering mengembangkan budaya "ikut-ikutan". Kecepatan transfer informasi yang kita nikmati nyatanya lebih sering memunculkan tren-tren yang anomali; sesuatu yang diiyakan dan diikuti begitu saja.
Tentu apa yang dipermasalahkan di sini bukanlah keputusan masing-masing orang untuk mengikuti perilaku kerumunan (baca: tren), toh tidak berdasar pula bila bermaksud mencampuri kebebasan orang.
Baca juga: 9 Alasan Mengapa Hidup Kita Terasa Rumit
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!