Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Self-Serving Bias, Mengapa Kita Harus Berhati-hati dengan Diri Sendiri?

22 Juni 2022   11:48 Diperbarui: 11 November 2022   07:19 1415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sebuah pepatah yang berbunyi, "Setiap manusia berada paling jauh dari dirinya sendiri."

Tentu ada banyak argumen yang dapat mendukung atau membantahnya, tetapi kita sebaiknya tak menghabiskan waktu untuk itu. Apa yang penting, sudahkah kita memahami diri kita sendiri?

Pertanyaan itu bukannya tanpa alasan, bahkan terlalu banyak alasan untuk diuraikan. Salah satu di antaranya, dan ini merupakan dasar dari sejumlah hal buruk dalam kemanusiaan, merujuk pada kecenderungan pikiran kita untuk melukis peta yang menerangkan atau membenarkan setiap keputusan yang telah dibuatnya sendiri.

Para psikolog menyebutnya "self-serving bias" (keberpihakan yang menguntungkan diri sendiri), sebuah istilah yang sedikit-banyak sudah menjelaskan dirinya sendiri.

Sederhananya, bias ini mengacu pada kecenderungan orang untuk menganggap setiap keberhasilannya sebagai jerih payahnya sendiri, sedangkan kegagalan yang dialaminya merupakan faktor lain di luar tanggung jawabnya.

Dengan kata lain, mereka mengagung-agungkan dirinya sendiri ketika mendapatkan hasil yang diinginkan, tetapi menyalahkan rupa-rupa hal di luar dirinya bila mengalami kemalangan. Terlepas dari benar-tidaknya praduga mereka, sudah barang tentu perilaku ini mengandung bahaya laten.

Pada faktanya, meskipun sedikit sekali dari kita yang merasa akrab dengan istilah self-serving bias, kita semua melakukannya dalam banyak kasus (jika terlalu kasar untuk mengatakannya setiap hari).

Barangkali kita pernah mendapatkan nilai 100 saat ujian di sekolah, lantas secara otomatis kita merasa sepenuhnya bertanggung jawab atas nilai tersebut, bahwa apa yang menjadi hasil adalah buah usaha keras kita sendiri.

Bahkan bagi beberapa orang, tindakan menyontek pun dianggap sebagai sebuah usaha keras yang patut dihargai. Kita meyakini betapa cerdasnya kita, toh hasil memuaskan, tidak diragukan lagi, merefleksikan intelegensi dan kemampuan kita.

Dan jika kita mendapatkan nilai rendah? Tidak diragukan pula, ujian tersebut tidaklah adil: gurunya memberikan soal yang tidak pernah diajarkan di kelas, pertanyaannya tidak masuk akal, suasana ujian mengganggu konsentrasi kita.

Pada intinya, hasil buruk bukanlah kesalahan kita.

Saya, sebagai pribadi yang sudah lama mengenal bias ini, tetap melakukannya seperti seekor kuda yang jatuh berulang kali di lubang yang sama. Jika artikel saya memikat banyak pembaca, dengan sendirinya saya merasa betapa artikel itu memang pantas dihargai.

Saya adalah sebentuk dewa yang diberkahi aliran tinta dalam darah saya. Apa pun kata-kata yang saya tuangkan dalam tulisan, tidaklah mungkin hasilnya mengecewakan. Saya ditakdirkan untuknya, menjadi seorang penulis yang suatu waktu menyelamatkan dunia lewat kata-kata.

Dan tentu saja, saya melebih-lebihkannya.

Tetapi jika artikel berikutnya sangat sedikit dibaca, nah ... orang-orang tidak punya selera bacaan yang bagus, pikir saya. Mereka keliru besar karena mengabaikan tulisan saya, atau mungkin, gagasan saya terlalu berat untuk mereka. Pokoknya bukan salah saya jika artikel saya sepi pembaca!

Itulah gambaran cara berpikir self-serving bias. Perlu ditegaskan berulang-ulang, sekalipun mungkin saja tuduhan kita terhadap hal-hal eksternal adalah benar bila diverifikasi lebih lanjut, itu tidak berguna.

Sama seperti kita batal pergi ke sebuah pesta karena hujan deras; memang tidak keliru bila menjadikan hujan sebagai biang masalah, tapi toh apa gunanya jika bagaimanapun, kita tidak bisa mengendalikan hujan sekehendak kita.

Hal tepatnya adalah, bagaimana kita dapat berangkat ke pesta tanpa harus basah kuyup, atau lain kali harus berangkat ketika ada tanda-tanda hujan akan turun. Sebagaimana wejangan kaum Stoik, "Fokuslah pada apa yang dapat dikendalikan."

Self-serving bias biasanya membuat kita mudah berprasangka dan sedikit egois. Kita percaya bahwa yang terasa benar adalah benar. Kita cepat menilai orang lain, suatu kelompok, suatu pemikiran, termasuk diri sendiri, sering secara tidak adil atau bahkan intoleran.

Dalam bentuknya yang ekstrem, self-serving bias dapat menjelma menjadi khayalan yang teramat meyakinkan, membuat kita memercayai suatu bayangan palsu, mengaburkan ingatan dan melebih-lebihkan fakta; semuanya dilakukan demi melayani rasa puas diri sendiri (dengan cara yang salah).

Oleh sebabnya, tendensi kognitif ini mendorong seseorang untuk melanggengkan ilusi dan kesalahan demi melindungi harga diri.

Penyebab

Self-serving bias membuat kita nyaman dengan menuduh orang lain | Ilustrasi oleh John Hain via Pixabay
Self-serving bias membuat kita nyaman dengan menuduh orang lain | Ilustrasi oleh John Hain via Pixabay

Sebenarnya ada banyak teori yang bisa menjelaskan mengapa self-serving bias terjadi, namun ada jawaban ringkas nan sederhana, yaitu "lebih nyaman". Karena secara naluriah manusia menghindari rasa sakit dan penderitaan, maka bias ini dapat mengindahkan naluri tersebut.

Jawaban lainnya datang dari Dale T. Miller dan Michael Ross (1975) bahwa tindakan menginternalisasi kesuksesan dan mengeksternalisasi kegagalan terjadi karena biasanya orang merasa optimis ketika memprediksi hasil dan pengalaman mereka.

Mereka berharap untuk lulus ujian, mendapatkan pekerjaan yang baik, dan memiliki hubungan yang langgeng daripada gagal, dipecat, atau bercerai.

Karena pengalaman negatif akhirnya menjadi tidak terduga, orang pun cenderung mengaitkannya dengan faktor eksternal daripada faktor pribadi yang sebenarnya lebih berada dalam jangkauannya.

Dampak dan Solusi

Implikasi paling jelas dari self-serving bias adalah memuaskan diri sendiri dengan cara yang tidak adil. Objektivitas yang absen dalam pengamatan kita kemungkinan besar menghasilkan kesimpulan yang keliru, dan bila demikian, cara kita menanggapi suatu perkara juga menjadi keliru.

Dalam mode efek dominonya, kita dapat tergelincir di tempat yang sama, melakukan kesalahan serupa berulang-ulang akibat rasionalisasi kita sendiri demi self-esteem. Beberapa orang mungkin bersumpah serapah mengutuk orang lain, keadaan, dan dunia; padahal dirinyalah yang telah mengambil keputusan.

Dan kiranya, kita semua melakukan itu.

Kita terutama melakukannya dalam situasi konflik. Ketika orang berbicara tentang sesuatu yang membuat kita kesal karena satu dan lain alasan, kita kerap menggambarkan tindakan mereka sebagai irasional, tercela, dan sangat disengaja.

Namun, terlepas dari praduga buruk kita, jika kita menanyai mereka mengapa mereka melakukannya, mungkin mereka pun juga akan mengajukan berbagai alasan tentang bagaimana tindakan mereka begitu masuk akal dan dapat dibenarkan.

Ujung-ujungnya, baik kita maupun mereka, sama-sama terperosok ke dalam self-serving bias. Pelaku maupun korban mendistorsi fakta dari suatu situasi agar sesuai dengan narasi masing-masing.

Tentu saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa segala kemalangan atau keburukan adalah selalu hasil kesalahan kita sendiri dan bukannya sesuatu di luar diri kita. Jika demikian, situasi yang terjadi tetap sama buruknya.

Pengetahuan tentang self-serving bias setidaknya hendak mengatakan kepada kita bahwa, lebih baik berfokus pada apa yang dapat dikendalikan dan diubah daripada meratapi apa yang tak terjangkau oleh kontrol kita.

Pada momen-momen di mana kita harus membuat keputusan penting, entah kemudian kita berhasil atau gagal, selalu diperlukan ruang untuk mengkritisi diri sendiri.

Bukan demi kegeniusan atau hal-hal serupa, tetapi saya pikir cukuplah sebagai kesadaran bahwa tak peduli sebaik apa pun hasil yang kita peroleh, selalu ada ruang kosong dalam diri kita yang perlu dikembangkan dan titik-titik cacat yang perlu diperbaiki.

Karena jika yang paling memungkinkan adalah mengendalikan diri sendiri, kebijaksanaan apa lagi yang dapat kita lakukan selain itu?

Self-serving bias sangat membatasi potensi dan kemampuan pribadi kita untuk berhubungan dengan yang lain.

Akan tetapi, berkat kemampuan manusia yang unik dalam hal kesadaran diri, kita dapat memeriksa anggapan kita untuk menentukan apakah anggapan tersebut didasarkan pada realitas, atau prinsip, ataukah hanya merupakan fungsi dari kondisi dan pengkondisian.

"Kita, orang-orang yang paham," mengutip Nietzsche, "tidak memahami diri kita sendiri." Perlu diakui, menyadari fenomena self-serving bias itu sendiri tidak serta-merta membuat kita mudah untuk menghindarinya.

Tapi toh pengetahuan tentangnya tetap akan menimbulkan getaran tertentu pada diri kita, semacam "self-alarm" bahwa sebelum mengatakan apa-apa terkait segala hal di luar diri kita, ada baiknya kita pertama-tama memeriksa dan merefleksikan diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun