Bencana adalah kebatilan yang absurd, karena hadir begitu saja tanpa kejelasan alasan dan tujuan. Bencana adalah tamu tanpa undangan yang menghancurkan pesta sukaria Anda di malam yang tenang.
Bencana adalah yang tak terhindarkan.
Bencana tidak sama dengan hukuman mati terhadap seorang koruptor atau pembunuh berantai; bencana "membunuh" orang-orang tanpa prosesi pengadilan dan bekerja secara acak dalam memilih korban.
Siapa pun yang berada dalam lingkupnya, maka secara niscaya menjadi korban. Bencana, misalnya erupsi gunung Semeru, terbukti telah merenggut nyawa tanpa aturan, seperti anak-anak yang tidak mengerti apa pun selain bermain.
Baru-baru ini dikabarkan telah ditemukan ibu dan anak yang tewas dalam keadaan berpelukan sebagai korban kebatilan erupsi Semeru. Ironi semacam itu bukan saja menyengsarakan keluarga mereka, tetapi juga menyayat hati kita semua.
Bencana mereduksi manusia dalam entitas anonim. Mereka hanya dihitung sebagai angka. Derita personal tidak dianggap penting, sebab yang berbicara hanyalah statistik: berapa jumlah korban hari ini?
Tanpa kejelasan alasan dan tujuan, bencana seperti erupsi Semeru dan pandemi Covid-19 telah menyebarkan kematian di sekitar kita. Inilah yang disebut sebagai "absurditas" oleh filsuf eksistensialis (yang ingin disebut seniman), Albert Camus.
Bagi Camus, absurditas adalah kesadaran tajam manusia atas irasionalitas dan kontradiksi kehidupannya. Kendati demikian, absurditas tidak boleh dihadapi dengan keputusasaan dan pelarian.
Menurutnya, absurditas semacam bencana harus dihadapi dengan penuh "pemberontakan" dan menjadi urusan "kita bersama".
Pemberontakan sejati adalah tindakan yang dimotivasi oleh kepedulian terhadap kebaikan bersama daripada kepentingan pribadi. Absurditas mesti dihadapi dengan "moral keterlibatan" dalam sebuah perjuangan bersama.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!