Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Keajaiban dari Menjalani Hidup sebagai "Pemula"

8 November 2021   08:00 Diperbarui: 13 November 2021   18:15 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Idenya bukan kembali menjadi pemula, melainkan senantiasa membawa "semangat pemula" ke dalam berbagai hal | Ilustrasi oleh Rainer Maiores via Pixabay

Pemula adalah tahap pembelajaran yang mungkin paling dibenci oleh semua orang. Secara sosial, pemula sering mendapatkan label buruk seolah cukup layak untuk ditertawakan oleh mereka yang merasa dirinya sudah kompeten.

Bahkan ketika label tersebut tidak datang dari luar, kita kerap merasa rendah diri dan betapa malunya kalau-kalau orang lain mengetahui ketidaktahuan kita. Lantas sebagian dari kita mulai berhenti melanjutkan semua prosesnya dan mencaci diri sendiri sebagai orang dungu.

Barangkali terdengar wajar jika ada seorang pemula yang menyerah terhadap bidang tertentu, kemudian memutuskan untuk keluar dari jalur pembelajarannya. Saya percaya semua orang mengalami itu, dan beberapa dari kita memang memutuskannya dengan baik.

Tetapi yang lebih buruk dari itu (bila kedengarannya tidak terlalu kasar) adalah seseorang yang begitu enggan untuk kembali menjadi "pemula". Jika Anda menganggap ini terlalu konyol, nah ... berarti Anda juga bagian darinya.

"Sekali pergi, sulit untuk kembali."

Ketika kita menjadi lebih ahli terhadap sesuatu, apa yang sebelumnya tampak aneh mulai menjadi akrab. Kita pun turut kurang memerhatikan, merasa aman dengan pengetahuan kita, dan lebih sialnya, banyak dari perilaku kita yang menjadi lebih otomatis.

Selamat datang di mode auto-pilot.

Mode tersebut memungkinkan kita untuk melakukan sesuatu dengan cepat, spontan, dan nyaris tanpa kesadaran. Inilah yang membuat orang merasa terbiasa terhadap sesuatu dan melewatkan makna berharga dari apa-apa yang dilakukannya.

Pola ini bahkan menimpa para profesional. Dokter yang mempelajari teknik operasi tulang belakang melakukan kesalahan paling banyak bukan pada percobaan pertama atau kedua, melainkan pada percobaannya yang ke-15 atau lebih.

Sementara itu, kesalahan pilot tampaknya memuncak bukan pada tahap awal pelatihan, tetapi setelah sekitar 800 jam waktu penerbangan. 

Ketika kita menjadi terlalu percaya diri terhadap kemampuan kita sendiri, maka semakin tidak akurat evaluasi yang kita lakukan.

Lanjutan dari mode auto-pilot adalah efek Dunning-Kruger yang menunjukkan bahwa pada berbagai tes kognitif, orang-orang yang memproduksi hasil buruk merupakan mereka yang paling "melebih-lebihkan" kinerja mereka yang sesungguhnya.

Mereka tidak terampil dan tidak menyadarinya. Mereka tidak tahu bahwa mereka tidak tahu. Mereka terlalu cepat merasa puas terhadap sesuatu yang mereka pelajari. (Sekarang kita mengerti tentang mengapa begitu banyak orang yang sok tahu di dunia ini.)

Kita cenderung terjebak dalam perasaan default yang membuat kita berhenti bertanya tentang apakah di sana terdapat lebih banyak ruang untuk mengalaminya secara berbeda dan lebih menyenangkan.

Merangkul Kehidupan sebagai "Pemula"

Seorang master catur, Benjamin Blumenfeld, pernah berkata, "Sebelum Anda bergerak, lihatlah posisinya seolah-olah Anda masih seorang pemula."

Idenya bukanlah menurunkan derajat kita kembali ke pemula, melainkan senantiasa melestarikan semangat pemula dalam menghadapi berbagai hal yang terkesan akrab bagi kita.

Anda tahu: optimisme yang naif, kewaspadaan tinggi yang datang dengan kebaruan dan ketidakamanan, kerelaan untuk terlihat bodoh, dan berani mengajukan pertanyaan "aneh" sebagaimana pikiran para pemula yang tidak terbebani.

Penelitian yang melimpah telah menunjukkan bahwa kerendahan hati dalam intelektual, yaitu kapasitas untuk mengenali batas pengetahuan kita, dapat meningkatkan secara tajam pemikiran dan pengambilan keputusan kita.

Dan kapasitas untuk mempertimbangkan kembali prakonsepsi kita serta membuka diri terhadap cara berpikir yang baru, mungkin menjadi semakin penting mengingat semua hal dapat berubah dengan cepat bagaikan kedipan mata sihir yang mengubah segalanya.

Entah kita belajar untuk kesenangan semata atau mencoba meningkatkan keterampilan, kita semua dapat menikmatinya lewat "pola pikir pemula" di mana tidak ada yang benar-benar pasti dan terdapat berbagai hal untuk dipelajari.

"Dalam pemikiran pemula terdapat banyak kemungkinan, sedangkan dalam pikiran ahli hanya ada sedikit," urai Shunryu Suzuki.

Semangat pemula berarti meninggalkan ego kita di depan pintu dan memasuki ruang pembelajaran dengan rendah hati. Ini menghilangkan prasangka tentang sesuatu dan mendekatinya dengan penuh keinginan serta keterbukaan.

Kita menjadi lebih antusias, bukan hanya untuk belajar sesuatu yang baru, tetapi juga untuk memperdalam sesuatu yang selama ini dirasa kita kuasai. Pemahaman bahwa di sana selalu ada ruang kosong untuk lebih banyak pembelajaran adalah sesuatu yang sangat mahal. Sungguh.

Saya tidak pernah berhenti "bereksperimen" dengan ukulele saya, tidak peduli orang-orang mengatakan saya tidak ditakdirkan untuk itu. Mereka hanya melihat saya beralih dari chord ke chord lain tanpa nyanyian seperti seorang culun yang belum juga menguasainya.

Mereka tidak tahu bahwa saya sedang berusaha menguasainya lebih dari yang disangka siapa pun.

Kadang-kadang saya menulis cerita anak-anak dan mengisahkannya kepada siapa pun yang tertarik mendengarkannya. Mereka pikir saya tidak pernah tumbuh dewasa, padahal saya telah menemukan keindahan dari banyak hal yang orang-orang dewasa anggap kikuk.

Ketika kita memandang segala sesuatunya selalu tampak baru, semesta akan menyediakan lebih banyak ruang kepada kita untuk belajar tanpa merasa tertekan oleh apa-apa yang agak-agaknya mengungkung kita.

Anak-anak, dalam arti yang sangat nyata, memiliki semangat pemula yang murni, terbuka pada kemungkinan yang lebih luas, dan bersedia untuk "berlari kembali di kala beberapa kerikil menjatuhkannya".

Mereka melihat dunia dengan mata yang lebih segar, kurang terbebani dengan prasangka dan pengalaman masa lalu, serta jarang dipandu oleh apa yang mereka ketahui sebagai "kebenaran yang mapan". Mereka bertindak dengan penuh percobaan.

Jika kita perhatikan, mereka juga lebih cenderung untuk mengambil detail yang mungkin dibuang orang dewasa sebagai sesuatu yang sepele.

Karena anak-anak tidak terlalu peduli untuk menjadi salah atau terlihat bodoh, mereka sering mengajukan pertanyaan yang tidak akan ditanyakan orang dewasa. Dan "jalan menuju kebijaksanaan ditempuh melalui pertanyaan-pertanyaan bagus", tutur Socrates.

Mungkin karena itulah anak-anak lebih mudah bahagia daripada orang-orang dewasa: mereka menemukan apa-apa yang tidak ditemukan orang dewasa lewat "semangat pemulanya", yaitu keajaiban hidup.

Anak-anak juga lebih mudah menertawakan berbagai hal yang tampaknya begitu sepele.

Dalam kata-kata Deepak Chopra, "Berbahagialah tanpa alasan seperti anak kecil. Jika Anda bahagia karena suatu alasan, Anda berada dalam masalah, karena alasan itu dapat diambil dari Anda."

Berikut saya mengutip catatan harian seorang pecundang (dan saya tidak pernah berpikir bahwa mencuri penggalan diari pribadi adalah bentuk tindakan kriminal):

"Aku ingin merasakan lebih banyak keindahan. Suatu hari, aku ingin menjadi bagian dari mereka yang selalu terpukau oleh hal-hal kecil yang dimiliki dunia ini. Dan jika aku terlanjur merasa terbiasa dengan semua keajaiban ini, celakalah aku ... celakalah aku!

Hujan sore yang menyejukkan, rumput basah di pagi hari, kawanan burung menembus awan, seekor capung memasuki rumah, langit berbintang tanpa rembulan, kegembiraan anak kecil di seberang sana; semua itu adalah warna kehidupan yang tampak temaram di mata orang dewasa.

Ketidaktahuan, keheranan, dan keanehan adalah hal-hal yang aku temukan sebagai perangkat fundamental untuk menyerap lebih banyak keajaiban dari dunia ini.

Kini aku merasakan sesuatu yang cukup anomali bahwa aku ingin 'terlahir' berkali-kali supaya sesering itu pula aku bisa menemukan diriku sendiri di sini; di pekarangan kecil dari kemahaluasan alam semesta."

Pada akhirnya, kita tahu bahwa tidak ada cara lain untuk menjadi pembelajar seumur hidup selain dengan melestarikan "semangat pemula".

Seperti yang pernah dikatakan Einstein, "Ada dua cara untuk menjalani kehidupan. Pertama adalah (tetap menjalaninya) meskipun tidak ada keajaiban. Kedua, bertindak seolah-olah semuanya adalah keajaiban."

Dan "semangat pemula" berada di spektrum yang kedua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun