Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cara Kita Melihat Masalah adalah Masalah Itu Sendiri

2 November 2021   17:05 Diperbarui: 2 November 2021   18:05 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagaimana kita membaca permasalahan akan memengaruhi cara kita menanggapinya | Ilustrasi oleh Pexels via Pixabay

Saya tengah menikmati alunan rintikan hujan ketika jari tangan saya menari-nari untuk menulis ini. Entah mengapa saya percaya bahwa hujan selalu membawa cerita menarik pada siapa pun yang ingin serius mendengarkan.

Tetapi dulu adalah kisah lain. Sewaktu bocah, saya percaya bahwa hujan hanyalah peran antagonis yang mengacaukan kegembiraan semua orang. Bagaimanapun juga, saya membencinya.

Jauh setelah itu, beberapa cerita mengesankan justru banyak datang dari naungan langit penuh kelabu yang menangis. Belakangan saya mulai percaya bahwa hujan merupakan sebentuk kotak data yang menguraikan kenangan dan kisah-kisah manis dari masa lalu.

Hujan membuat saya termenung. Saya mencintainya.

Mengingat betapa anehnya sekelumit kisah itu, saya malah mendapati kesimpulan lain yang beberapa saat membuat saya bergeming. Ternyata selama ini, cara saya melihat masalah adalah masalah itu sendiri.

Ketika saya memandang hujan sebagai penghancur hari yang menjengkelkan, saya tidak pernah memikirkan keindahan apa pun yang dibawanya. Namun ketika saya mulai menikmatinya sebagai kedamaian yang dingin, saya turut menyambutnya dengan kegembiraan.

Saya kembali melihat ke belakang dan menemukan betapa banyaknya permasalahan yang dibesar-besarkan sehingga hari-hari saya berjalan suram. Beberapa di antaranya benar-benar sepele, dan sebagian lainnya hanyalah kengerian yang dibuat-buat tanpa kesadaran.

Kita sering kelihatan sibuk dan berusaha memecahkan masalah, tetapi kenyataannya, kerap kali kita malah memperbesar masalah. Ketika semua itu tampak seperti masalah besar, akhirnya kita hanya berjalan dari satu drama ke drama yang lain.

Anda mungkin menyimpan sebungkus es krim di dalam kulkas, dan kemudian mendapati adik kecil Anda sudah memakannya hingga habis. Atau barangkali seorang pengendara mobil merah-mengkilap baru saja menyalip Anda tanpa pemberitahuan apa pun.

Atau mungkin saja mobil truk di belakang Anda menekan klaksonnya ketika lampu hijau baru menyala. Dan lebih menyengsarakannya lagi, jaringan internet tidak stabil saat Anda sedang bermain game online.

Sebenarnya semua itu adalah masalah kecil bila kita melihatnya dengan jernih. Namun acapkali kita memandangnya sebagai masalah besar yang menyesakkan dada, dan kita merasa wajar untuk menumpahkan segala amarah terhadapnya.

Andaikan kita berkenan untuk melihatnya sekali lagi dengan kesabaran yang melembutkan, kita akan mendapati bahwa kita sendirilah yang menjadi masalahnya. Perspektif kita terhadap suatu permasalahan akan memengaruhi kadar kerumitannya terhadap diri sendiri.

Cara kita membaca realitas akan selalu memengaruhi bagaimana kita meresponsnya.

Kadang-kadang kita memilih untuk menyangkal suatu masalah karena asumsi kita sendiri yang percaya bahwa kita tidak akan mampu menyelesaikannya. Kita mengingkari kenyataan dengan menipu dan mengalihkan diri pada hal-hal yang notabenenya membuat kita nyaman.

Hal yang sebaliknya juga berlaku: kita terlalu menyepelekan beberapa permasalahan yang jelas-jelas ada di hadapan kita, dan kita membuang muka darinya demi keseriusan menyelesaikan urusan lainnya.

Tetapi sering kali, masalah-masalah "sepele" itu seperti ikan yang terjebak dalam jala kita. Ketika kita mengabaikannya, mereka tidak pergi ke mana pun, melainkan hanya pergi sejenak ke dalam air dan kembali lagi ke permukaan dengan lebih gemuk.

Mereka juga seperti bom waktu yang pada waktu tertentu, mereka meledak di hadapan kita dan tidak pernah disangka akan memberikan luka yang sedemikian besar pada kita.

Dalam kasus lain, beberapa dari kita memilih untuk meyakini bahwa mereka tidak dapat melakukan apa pun untuk menyelesaikan masalah mereka, bahkan ketika faktanya mereka mampu.

Mereka pun mencari kambing hitam atas permasalahannya, dan untuk sementara, mereka merasa aman di balik selimut yang tipis.

"Kita lebih sering menderita dalam imajinasi (baca: pikiran) daripada dalam kenyataan," urai Seneca. Itu berarti pendefinisian kita terhadap masalah juga merupakan faktor penting yang perlu didalami, tetapi sejauh ini kita sering meremehkannya.

Adagium "hidup mengalir seperti air" tampak begitu mengagumkan bagaikan seorang kaisar yang menatap berani medan pertempurannya. Namun jika selamanya kita terbawa arus, kita tidak akan pernah menarik diri dari kebisingan untuk memaknai keseharian kita yang memesona.

Kekosongan makna membuat masalah terkesan seperti iblis dari luar bumi yang mengacaukan kehidupan manusia. Padahal jika kita mampu melihat kilauan dari setiap masalah, kita akan menyadari bahwa semua itulah kehidupan kita.

Rangkaian makna yang kita rindukan selama ini sesungguhnya terkandung dalam setiap masalah kita sehari-hari. Kita hanya merasa terbiasa dan tidak lagi mampu melihatnya sebagai keajaiban teater dunia yang mengagumkan.

Bahkan kemudian kita menemukan bahwa masalah itu tidak pernah berhenti; mereka hanya datang silih berganti dan/atau meningkat. Jika demikian, berarti hidup adalah tentang memecahkan masalah dan berbahagia bersamanya.

"Apakah Anda ingin memperbaiki dunia?" tanya Lao Tzu. "Aku tidak berpikir itu bisa dilakukan. Dunia itu suci. Itu tidak bisa diperbaiki. Jika kau mengutak-atiknya, kau hanya akan merusaknya. Jika kau memperlakukannya sebagai objek, kau akan kehilangannya."

Lain kali bila Anda merasa begitu berat untuk menyelesaikan sebuah masalah, barangkali kerumitan utamanya tidak terletak pada masalah Anda, tetapi Andalah masalah yang sesungguhnya. Perspektif Andalah yang memberatkan diri Anda sendiri.

Jika Anda memiliki tetangga yang lebih kaya raya daripada Anda, perhatikan bahwa semua itu tidak berarti dia lebih mulia ketimbang Anda. Itu hanya berarti kuantitas hartanya yang melampaui Anda, tetapi kemuliaan adalah persoalan lain.

Seorang teman mengeluh bahwa peringkatnya di kelas menurun akibat sering ketinggalan kelas daring dan malah sibuk bekerja membantu orang tua. Saya katakan padanya bahwa itu bukan berarti dia bodoh. Dia dan teman sebayanya hanya berbeda urusan, dan itu cukup menjelaskan semuanya.

Pada akhirnya, kita mesti bertanggung jawab atas siapa diri kita dan bagaimana kita memilih untuk berpikir tentang dunia. Mendefinisikan masalah ke dalam arti yang sebenar-benarnya bukanlah perkara mudah, tapi toh amatlah mungkin untuk dilakukan dengan hati-hati.

Kita kerap kali menganggap semua masalah sebagai situasi darurat yang harus ditangani cepat-cepat, padahal semakin tergesa-gesa kita terhadapnya, semakin buruk keputusan yang mungkin kita ambil.

Jangan dikira orang yang tenang dan lemah lembut tidak bisa mencapai tujuannya; justru mereka lebih mampu menikmati setiap titik kecil kehidupan daripada orang-orang yang menganggap kehidupan ini seperti panggung kompetisi bagi para serigala yang kelaparan.

Kenyataannya, tidak ada orang lain selain dirinya sendiri yang menciptakan tekanan-tekanan yang dialaminya. Dan jika Anda merasa saya begitu keliru tentang semua ini, saya khawatir Anda gagal menempati posisi lain untuk memandangnya secara berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun