"Tidak," sambung Antares seakan-akan bisa membaca pikiran putrinya, "tidak secara harfiah bahwa kau mesti mengubah dirimu menjadi kunang-kunang. Kau mesti menggunakan intuisimu untuk bisa menjadi kunang-kunang."
Itu sama sekali tidak membantu dan malah membuat Najma semakin bingung. Dia baru berusia 9 tahun dan belum tahu apa-apa soal intuisi. Apa yang dimaksud ayahnya pasti sebuah pembelajaran; hanya itulah yang Najma yakini sekarang ini.
"Aku akan berusaha memahami itu," ucap Najma dengan nada lembut. Dia memandangi debu langit yang berkedip-kedip, mengerumuni sebuah bola cahaya yang disebutnya Dewi Malam. Rembulan itu tidak terhalangi oleh awan apa pun; sungguh gemilang!
Selembar daun tabebuya dari pohon yang menaungi ayah dan anak itu gugur perlahan hingga mendarat di bayangan Dewi Malam yang terpantul di tengah danau. Najma yang menyaksikan kebetulan itu segera menggertakkan lengan ayahnya.
"Lihat! Betapa kebetulannya itu!"
"Rembulan sedang bercermin," ujar Antares.
"Bercermin?"
Antares mengangguk dengan serius. "Semesta itu hidup, Najma. Setiap saat, mereka memerhatikan kita dan kadang-kadang hanya bergeming. Mereka menyaksikan pembantaian alam oleh manusia, dan pada saat tertentu, mereka membalasnya."
Keringat dingin membasahi pelipis mata Najma. Mulutnya terasa kering, berusaha menelan sisa ludah untuk menenangkan gemetaran tubuhnya. Ini bukan tentang dinginnya malam, meskipun itu patut diperhitungkan, tapi tentang sesuatu yang baru diketahuinya.
"Bintang-bintang pun sama?" tanyanya.
"Tentu. Kau kira apa mata kita ini? Ketika kita melihat alam semesta dengan kekaguman, kita tidak hanya melihat mereka dengan segala keindahannya. Lebih dari itu, mereka juga melihat dirinya sendiri lewat pantulan di mata kita.