Siapa yang bisa meluangkan waktu untuk tidak melakukan apa-apa di dunia yang serba cepat dan sibuk ini?
Kita hidup pada masa di mana "menjadi sibuk" adalah identitas dari seorang pemenang. Ketika kita "tidak melakukan apa-apa", kita dituduh sebagai seorang pemalas atau pengangguran.
Kepergok sedang berdiam diri saja sudah dilabeli sebagai aib. Bahkan seandainya kita punya kekayaan yang melimpah, tetangga akan berpikir bahwa kita telah melakukan pesugihan babi ngepet *uhukk...
Tapi, apakah "tidak melakukan apa-apa" sedemikian buruknya? Saya punya pengalaman yang luar biasa tentang ini.
Beberapa waktu lalu, organisasi yang saya ikuti sedang merevolusi tatanan kepengurusan karena pembagian kerja yang tidak efektif. Dalam sebuah rapat, diajukan dua sistem kepengurusan baru di mana keduanya akan didiskusikan mana yang lebih baik.
Setelah melakukan voting, semua anggota malah terpecah menjadi dua kubu. Sebut saja kubu A mendukung sistem 1 dan kubu B mendukung sistem 2. Diskusi yang alot ini berujung pada perdebatan yang sengit.
Kedua kubu tidak mau mengalah. Masing-masing dari mereka mengagungkan keunggulan sistem yang disetujuinya sembari menyerang kelemahan sistem yang satunya.
Di tengah perbincangan yang panas, saya mengangkat tangan dan berkata, "Ketua, saya mohon izin untuk keluar ruangan."
"Untuk apa?" tanyanya.
"Untuk tidak melakukan apa-apa," sambung saya dengan sambutan tatapan sinis dari para anggota.
Ketua mengangguk dan saya pun berjalan keluar tanpa membawa apa pun. Saya hanya pergi menuju tempat terbuka dan berteduh di bawah pohon.
Meskipun bising angin menusuk telinga, saya tetap fokus untuk mendengarkan suara napas. Kemudian saya merasa "lepas", tenggelam dalam sebuah lamunan yang dalam, tidak melakukan apa-apa, bahkan tidak terganggu oleh panasnya udara.
Saya tidak tahu seberapa lama momen itu terjadi. Saya hanya berbicara dengan diri sendiri, berpikir dengan diri sendiri. Setelah dirasa cukup lega, saya kembali menuju ruangan rapat.
Semua orang menatap saya dengan mata memicing. Saya menjadi pusat perhatian; saya sadar akan hal itu. Tapi saya hanya pergi duduk dan kembali mengacungkan tangan untuk berbicara.
"Ketua, kita terlalu bergantung pada dua opsi sehingga kita melewatkan opsi ketiga. Bagaimana kalau ..."
Dan 90% anggota setuju dengan sistem yang saya ajukan. Mereka kira saya mengajukan sistem baru, padahal saya hanya menggabungkan kelebihan dari dua sistem sebelumnya. Saya hanya ingin kedua kubu menjadi pemenang, atau tidak sama sekali.
Oh 10% lagi masih belum mengerti dengan sistem yang saya tawarkan. Tapi mereka semua bertanya-tanya, "Petir macam apa yang menyambar Anda ketika di luar?"
Tidak melakukan apa-apa bukanlah aib
Budaya kita percaya bahwa kesibukan adalah ciri dari orang sukses. Akibatnya, kita bekerja terlalu banyak.
Beralih dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dan menyelesaikan seluruh daftar tugas yang panjang menjadi cara untuk mengomunikasikan status: saya sangat sibuk karena saya punya kedudukan penting.
Ironi dari semua kerja yang berlebihan adalah bahwa hal tersebut sebenarnya membuat kita kurang produktif dan kurang bahagia.
Studi yang tak terhitung jumlahnya menunjukkan betapa buruknya kinerja kita ketika dibebani terlalu banyak pekerjaan. Hal tersebut berdampak pada masalah mental dan fisik kita.
Sebagai perpanjangan budaya, saya memberitahu semua orang bahwa saya sangat sibuk sehingga mereka akan menghargai saya sebagai orang yang tidak menganggur.
Namun, saya tidak benar-benar melakukan apa pun yang seharusnya saya lakukan. Alhasil beban kewajiban semakin besar dan kualitas produktivitas saya menurun.
Semua dikarenakan saya tidak mengizinkan diri sendiri untuk beristirahat dengan tulus dan tidak melakukan apa-apa.
Budaya kita juga menyamakan kesibukan dengan status tinggi dan kebajikan moral. Bermalas-malasan dan bersantai tanpa ponsel, berbincang, mendengarkan podcast, atau membaca buku menjadi sinyal kepada dunia bahwa kita tidak seberharga mereka yang sibuk dengan pekerjaannya.
Tetapi, menyetujui mitos-mitos ini dapat mengikis kenyamanan diri sendiri dan kualitas hidup secara keseluruhan. Kita harus melawan paradigma ini dan menentangnya.
Mengapa?
Karena hidup butuh penyeimbang.
Seni "tidak melakukan apa-apa"
Cukup sulit untuk mendefinisikan apa itu "tidak melakukan apa-apa" karena kita selalu melakukan sesuatu, bahkan ketika kita sedang terlelap.
Seorang psikolog, Doreen Dodgen-Magee, mengibaratkan "tidak melakukan apa-apa" dengan mobil yang mesinnya menyala tetapi tidak ke mana-mana.
Saya sendiri menyebut "tidak melakukan apa-apa" ini dengan Mode Pesawat.
Sederhananya, tidak melakukan apa-apa (Mode Pesawat) adalah momen ketika Anda sadar dan memilih untuk hanya berdiam diri di sana, mungkin sembari memandang ke luar jendela, atau meresapi hembusan angin di bawah pepohonan.
Masyarakat awam mungkin menyebut aktivitas semacam itu sebagai "kemalasan". Namun, perlu digarisbawahi bahwa keyakinan semacam itu tidak masuk akal.
Izinkan saya berbagi sesuatu dengan Anda: sibuk untuk "tidak melakukan apa-apa" adalah gangguan.
Apa yang saya maksud di sini bukanlah menyibukkan diri untuk tidak melakukan apa-apa, melainkan hanya tidak melakukan apa-apa.
Ada perbedaan yang mendasar di sini.
Jika Anda menyibukkan diri untuk tidak melakukan apa-apa, Anda melakukannya dengan terpaksa. Anda menerobos agenda Anda yang mungkin penting, dan kemungkinannya Anda menjadi resah karena pikiran tetap berkelana pada sesuatu yang Anda tinggalkan.
Namun, ketika Anda memberi waktu pada diri Anda untuk "menjadi" daripada "menyibukkan", otak Anda mengkonsolidasikan pembelajaran dan membantu Anda menyimpan informasi.
"Mode Pesawat" tidak didorong oleh harapan. Ia terjadi begitu saja sehingga Anda mungkin tenggelam ke dalamnya. Tetapi jika Anda mendorongnya dengan paksa, Anda malah menjadikan itu sebagai polusi bagi pikiran Anda.
Saya tidak melakukan apa-apa tanpa diiringi dengan tujuan. Saya hanya tahu bahwa tanpa istirahat, saya kekurangan efektivitas.
Tidak melakukan apa-apa juga bukan berarti kemalasan. Justru, ini merupakan bagian dari produktivitas; sebuah gaya pegas untuk melesat dengan lebih efektif.
Dengan mengaktifkan "Mode Pesawat", waktu menganggur sama sekali tidak menganggur karena menjadi pemicu efektivitas kinerja.
Kemalasan terjadi ketika Anda mengabaikan sesuatu yang amat penting. Sedangkan Mode Pesawat terjadi ketika Anda meluangkan waktu untuk berhenti dan menjadi lebih produktif.
Tapi jika kemalasan diartikan sebagai seseorang yang tidak melakukan apa-apa, dengan ironis, saya harus katakan bahwa Anda sebaiknya rutin memeluk kemalasan.
Pada intinya, seni "tidak melakukan apa-apa" terjadi dengan kesadaran non-menghakimi. Ini adalah tentang "menjadi" dan bukannya "menyibukkan". Ini terjadi secara niscaya, bukan sesuatu yang Anda paksakan.
"Menyibukkan" berarti memaksakan, sedangkan "menjadi" berarti menikmati.
Mengapa ini penting?
Faktanya, sungguh menenangkan ketika saya menyadari seberapa banyak saya bekerja dan betapa sedikit waktu untuk beristirahat.
Ketika pikiran tersumbat oleh beban, efek pada fisik maupun mental dapat merugikan. Ini bukan hanya memperburuk kesehatan, namun juga mengacaukan agenda kita.
Dalam beberapa tahun terakhir, ilmu saraf telah mengungkapkan bahwa ketika otak beristirahat dari kesibukan, ia memiliki peluang untuk menghubungkan berbagai ide dan konsep, meningkatkan kreativitas dan pemecahan masalah.
Beristirahat dengan Mode Pesawat adalah alat yang ampuh untuk mengatur emosi kita, dan mempertahankan kemampuan untuk berkonsentrasi. Ini membantu kita dalam membuat keputusan yang lebih baik dan melahirkan tenaga untuk lebih produktif.
Mode Pesawat juga mendorong kita untuk lebih menghargai dunia di sekitar kita; dunia yang biasanya terlalu sibuk untuk disadari.
Memang tampak jelas bahwa istirahat itu sangat baik bagi tubuh kita. Tetapi Anda mungkin tidak tahu betapa pentingnya tidak melakukan apa-apa untuk meningkatkan kualitas kinerja. Ini adalah momen ketika kita mengisi bahan bakar.
Dalam proses tidak sibuk inilah seseorang bebas untuk merenungkan, bermeditasi, bahkan mengisi ulang tenaga. Ini sangat bermanfaat bagi kreativitas kita untuk memicu pikiran dan ide yang lebih imajinatif.
Jika Anda pernah bertanya-tanya mengapa Anda lebih mudah mendapatkan ide kreatif saat di kamar mandi atau saat melamun, sekarang Anda tahu jawabannya.
Dari mana dan bagaimana ide-ide ini muncul? Saya tidak tahu dan saya tidak bisa memaksakannya -- Mozart
Mengapa ini bisa jadi sulit?
Di era teknologi, sangat jarang seseorang benar-benar meluangkan waktu untuk menganggur. Dalam banyak hal, lebih mudah untuk tetap sibuk ketimbang tidak melakukan apa-apa. Bahkan ketika kita rebahan, kita tetap memeriksa notifikasi kita.
Tapi sekarang Anda telah mengetahui manfaat dari tidak melakukan apa-apa. Kemudian Anda mengatakan pada diri sendiri bahwa tidak apa-apa untuk "tidak melakukan apa-apa" dan bahwa Anda pantas mendapatkan waktu untuk Mode Pesawat.
Namun, Anda mungkin merasa tersiksa pada awalnya. Anda ingin orang-orang percaya bahwa Anda sesibuk mereka sehingga Anda mengalihkan perhatian pada tugas-tugas yang tidak masuk akal itu.
Meskipun kesannya cukup sepele, tidak semua orang mudah mempraktikkannya. Untuk benar-benar mengaktifkan Mode Pesawat, mungkin Anda harus menjadi Patrick Star selama beberapa saat.
Waktu menganggur dapat membuat pikiran kita menjadi kacau jika belum terbiasa. Ketika kita telah menyelam ke dalamnya, kita berpotensi untuk dibawa menuju sisi gelap diri kita sendiri.
Kita tidak ingin mendengar diri kita sendiri yang sedang berpikir. Itu dianggap terlalu menakutkan. Dan karenanya tidak mudah.
Ada sebuah penelitian yang dilakukan dengan menempatkan orang-orang di sebuah ruangan dan diminta untuk menyendiri. Mereka diberi pilihan untuk hanya duduk atau (secara elektrik) menyetrum diri sendiri.
Hasilnya sungguh mengejutkan di mana sebagian besar subyek, terutama pria remaja, memilih untuk menyetrum diri sendiri ketimbang duduk sendiri dengan pikiran mereka.
Kita dapat menarik benang merah bahwa mengaktifkan Mode Pesawat tidak semudah yang kita bayangkan.
Ini juga berkaitan dengan masalah persepsi. Orang mengira bahwa tidak melakukan apa-apa adalah tanda dari pengelakan tanggung jawab atau membuang-buang waktu.
Karenanya banyak orang merasa bersalah ketika mereka menganggur. Jadi mereka terus bekerja, bahkan ketika mereka tidak perlu melakukannya.
Kebanyakan dari kita sulit untuk bertoleransi dengan kebosanan. Padahal, ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang besar. Ini dapat memicu imajinasi dan kreativitas. Bahkan dalam arti tertentu, ini menjadi kemampuan penting untuk mencari sesuatu yang tidak dikenal.
Bagaimana melakukannya?
Sebelum Anda memulai proses ini, beri izin pada diri Anda sendiri untuk menetapkan niat bahwa Anda tidak akan melakukan apa-apa dan setuju bahwa itu tidak apa-apa.
Ini mungkin terasa tidak nyaman pada awalnya karena Anda benar-benar dihadapkan pada pemikiran dan hati nurani Anda sendiri; sesuatu yang selama ini jarang dilakukan.Â
Namun, manfaat yang dihasilkan di waktu nanti menjadi harga yang layak dibayar.
Tentu saja, tidak semua dari kita punya hak istimewa dalam hal waktu luang. Tetapi kita dapat mencoba yang terbaik dengan menyisihkan waktu sepuluh menit atau lebih setiap hari untuk mendapatkan ketenangan.
Selalu ada waktu yang saya luangkan untuk hanya duduk memanaskan kursi, tidak melakukan apa-apa, membiarkan pikiran dan hati nurani saling berbicara, hingga pada akhirnya saya kembali menuju realitas dengan kesegaran yang baru.
Cobalah untuk memprioritaskan hal-hal yang penting bagi Anda. Dahulukan hal-hal yang dapat membuat Anda bahagia. Mulailah berfokus pada bagian kehidupan yang benar-benar relevan sehingga hal tersebut dapat membantu Anda untuk membangun waktu luang dalam jadwal Anda.
Ketika momen tersebut tiba, manfaatkan kesempatan tersebut untuk merasa nyaman dalam mempraktikkan Mode Pesawat.
Tidak ada panduan praktik yang pasti untuk mengaktifkan Mode Pesawat. Anda hanya harus duduk di sana tanpa melakukan apa-apa. Dan jika terdapat panduannya, berarti Anda melakukan sesuatu.
Barangkali ini adalah ide yang terdengar tidak sopan. Namun, ini membuat kita lebih bahagia dan lebih puas pada akhirnya.
Dan memang tidak ada yang salah dengan ide bekerja lebih keras. Akan tetapi, sudahkah Anda mempertimbangkan untuk bekerja dengan lebih cerdas?
Pada titik tertentu, apa yang saya sesali bukanlah perkara bekerja sedikit, melainkan karena saya bekerja terlalu keras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H