Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Hidup Itu Sederhana, tapi Kita Membuatnya Rumit

19 Maret 2021   15:03 Diperbarui: 21 Maret 2021   00:17 2675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Manusia semakin jauh dari kehidupan yang alamiah | Ilustrasi oleh Ioannis Ioannidis via Pixabay

Salah satu kutipan terkenal dari Konfusius berbunyi, "Hidup itu sederhana, tetapi kita bersikeras untuk membuatnya menjadi rumit." 

Saya berpikir sejenak saat pertama kali mendengar kutipan tersebut. Dan saya memutuskan, itu kutipan gila!

Sederhana sering diartikan sama dengan membosankan, stagnan atau tidak ada hal baru. Begitu pun paradigma saya, pada awalnya.

Jika Anda bertanya kepada saya tentang ini sebelumnya, jawaban saya mungkin adalah bahwa mereka yang mengatakan hidup ini sederhana adalah orang bodoh, karena bagaimana hidup bisa menjadi sesuatu kecuali kekacauan, sumber kecemasan, dan penderitaan.

Tapi, saya meragukan segalanya. Itu berarti saya meragukan pemikiran saya sendiri. Kesimpulan saya kini berbeda, bahwa orang yang mengatakan hal semacam tadi adalah manusia yang alami dan seperti tidak punya kehidupan. Sungguh.

Bagaimana dia bisa hidup demikian di tengah-tengah masyarakat yang penuh ambisi ini? Jika dia mampu melakukannya, dia seperti tidak punya kehidupan.

Kita adalah orang-orang yang cenderung terlalu memikirkan segalanya dan menarik gunung keluar dari sarang tikus. 

Kita adalah orang-orang yang mengharapkan orang lain bisa memahami kebutuhan kita tanpa kita harus menyuarakannya, seolah-olah orang lain telah dikaruniai kekuatan telepati.

Kita adalah orang-orang yang saat mencoba sebuah baju, kita memikirkan apakah orang lain akan menyukainya sebelum kita memutuskannya sendiri. 

Kita adalah orang-orang yang sebelum makan apa pun yang enak berusaha untuk menghitung semua kalori dan latihan yang harus dilakukan keesokan harinya.

Kita adalah orang-orang yang selalu membicarakan sesuatu yang tidak ada. Dan kemudian kita adalah orang-orang yang mengatakan bahwa hidup itu sulit.

Pada akhirnya, semua kepalsuan ini membuat kita merindukan kesederhanaan yang samar-samar dan sulit dipahami itu.

Tapi, apakah hidup sederhana hanyalah ilusi?

Saya teringat dengan para petani yang saya jumpai beberapa hari lalu. Mereka duduk santai di jalan setapak persawahan pada pagi hari. Matahari baru saja naik, sinarnya masih semu hangat penuh oranye.

Saya berjalan menghampiri mereka, seakan-akan sebuah magnet telah berhasil menggiring kaki saya. Dengan lugunya saya berbaur bersama mereka yang tengah membicarakan hama padi. Di tengah perbincangan itu, saya menyela, "Bapak dan Ibu ini punya ponsel?"

Mereka tertawa laksana para penonton menertawakan atraksi sang badut. "Kami hanya tinggal bertemu dan saling sapa," katanya, "tidak perlu membeli pulsa seperti anak muda zaman sekarang."

Sepertinya hidup ini begitu sepele bagi mereka. Ah, perkara kecil: seperti itu! Dan saya tidak melihat adanya sesuatu yang membosankan dalam kesederhanaan itu. Mereka hanya menikmatinya; menikmati apa yang ada.

"Kami hanya akan bekerja keras dan mendapatkan penghargaan sederhana. Itu sudah lebih dari cukup," ujar salah seorang di antara mereka. Dan apa yang paling mengejutkan saya adalah, mereka melakukan rutinitas yang sama setiap hari, namun setiap hari rasanya berbeda. Hidup itu indah.

Seperti yang pernah diungkapkan mendiang Pramoedya Ananta Toer, "Betapa sederhananya hidup ini. Sesederhana ini: Anda lapar dan makan, kenyang, dan buang air besar. Antara makan dan buang hajat, di situlah kehidupan manusia ditemukan."

Tentu saja, tidak ada orang yang ingin hidupnya rumit dan jika diberikan kesempatan untuk hidup sederhana, kita akan mengambilnya tanpa berpikir panjang. Tapi, bagaimana membuat hidup kita menjadi sederhana; itulah masalahnya.

Saya akan bercerita sedikit tentang Diogenes, salah satu filsuf besar yang disebut juga sebagai Bapak aliran Sinisme. Diogenes tinggal menggelandang dan hanya tidur di dalam sebuah tong bekas anggur.

Konon, pernah suatu ketika, Diogenes  sedang duduk di samping tongnya sembari menikmati sinar matahari menusuk ke badannya. 

Saat itu juga, dia dikunjungi oleh Alexander Agung. Sang Maharaja berdiri di hadapannya dan bertanya, "Apakah saya dapat melakukan sesuatu untuk membantu Anda? Adakah sesuatu yang Anda inginkan?"

"Ya," jawab Diogenes, "bergeserlah ke samping. Anda menghalangi sinar matahari."

Bayangkan betapa sulitnya untuk merebut kebahagiaan dari Diogenes!

Dia juga memiliki sebuah cangkir untuk wadah minum. Pada suatu waktu, dia melihat seorang gelandangan yang sedang minum menggunakan kedua tangannya. Anda tahu apa yang dilakukan Diogenes? Ya, dia membuang cangkirnya!

"Lho, ternyata bisa menggunakan tangan!" ungkap Diogenes kira-kira.

We have complicated every simple gift of God. -- Diogenes

Inilah penyakit paling mengerikan dari manusia: membuat rumit dan ruwet segala sesuatu dalam hidup yang sebenarnya sederhana.

Tahukah Anda bahwa separuh masalah dalam hidup kita terjadi hanya karena kita terlalu banyak memikirkannya?

Makan itu sederhana, hanya tinggal melahap makanan yang ada untuk menghilangkan rasa lapar. Tapi, sebagian dari kita menjadikannya semakin rumit. Ada yang harus mengambil foto terlebih dahulu, ada yang harus memakai pisau dan garpu, dan semacamnya.

Ketika kita makan bersama orang-orang penting, segala sesuatunya harus diperhatikan. Duh, semua ada kode etiknya! Berjalan saja sekarang sudah ada rumusnya. Tidur saja sekarang dibikin ruwet: mulai dari memilih merek kasur, jenis bantal, motif baju tidur, pasangan tidur, dan sebagainya.

Menurut Diogenes, semua itu hanya mempersulit diri sendiri. Hidup seperti demikian sangat tidak alamiah. Peradaban manusia sekarang adalah peradaban yang menjauhkan manusia dari hal-hal alami.

Apa maksud Diogenes terkait hidup yang alamiah? Adalah hidup yang minimal, sederhana, apa adanya, sesuai porsinya. Saat ditanya bagaimana contoh hidup yang alamiah, Diogenes menjawabnya dengan binatang. Secara insting, mereka hidup alamiah.

Seekor harimau hanya akan memangsa apa pun yang mungkin tanpa berpikir macam-macam. Anda hanya akan disergap, dan ... boom! Anda telah dimangsa olehnya! Seekor monyet hanya akan mengambil pisang dari Anda tanpa bertanya apakah itu sehat atau tidak, beracun atau tidak.

Apakah Diogenes ingin kita hidup seperti binatang? Itu sangatlah konyol. Tentu tidak!

Menurutnya, kita sudah bukan lagi manusia karena ambisi, gengsi. Kita berambisi memproduksi berbagai macam barang yang katanya untuk mempermudah hidup manusia. Tapi pada akhirnya, itu hanya membuat kita terjebak dalam paradoks pilihan: semakin banyak pilihan, semakin bingung kita mengambil keputusan, maka semakin berkurang pula rasa puas atas pilihan yang kita ambil.

Bisa dibilang, Diogenes adalah orang yang berambisi untuk tidak mempunyai ambisi. Ya, begitulah.

Tak seorang pun yang tersakiti kecuali oleh dirinya sendiri.

Tidaklah wajib bagi kita untuk meniru gaya hidup Diogenes yang "ekstrem". Betapa sulitnya hidup sederhana seperti Diogenes di masa yang serba ruwet ini. Tapi, menyerap prinsipnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari adalah sesuatu yang sangat membantu.

Tidak terlalu sulit, sebab memotong hal-hal sederhana dari hidup Anda dapat membuat suatu perbedaan yang besar. Kebiasaan kecil yang mungkin tidak Anda sadari dapat sangat memengaruhi kehidupan Anda. Luangkan waktu sejenak untuk memerhatikan kebiasaan itu dan Anda mulai dengan itu.

Jika Anda ingin makan bakso yang enak, pergilah dan makanlah! Anda tidak perlu khawatir dengan cuaca yang panas atau antrean yang panjang. Jika Anda menyukai kemeja di sebuah toko seberang jalan, belilah kalau mampu! Siapa yang peduli apakah dunia menyukainya atau tidak! Anda hanya melakukannya dan itu yang terpenting.

Menarilah di tengah hujan kalau Anda mau, dan berhenti bertanya-tanya tentang apa yang dipikirkan orang-orang di sepanjang jalan, sepertinya Anda tidak akan pernah berjumpa mereka lagi.

Jika Anda ingin membiasakan diri untuk hidup sederhana, turunkan gaya hidup Anda dengan sengaja. Seandainya Anda terbiasa menggunakan mobil, mungkin 2 hari dalam seminggu, Anda akan menggunakan kendaraan umum atau bahkan berjalan kaki. Jika terbiasa makan enak dan mewah, mengapa tidak untuk mencoba makan di warung kecil pinggir jalan.

Seperti Diogenes yang pernah mengobrol pada sebuah dinding, seseorang datang dan bertanya, "Untuk apa?"

Diogenes menjawab, "Berlatih untuk tidak didengarkan."

Ketika saya merasa lelah secara emosional, saya hanya akan duduk di teras rumah dan menatap kelap-kelip bintang di langit gulita. Beberapa dari mereka menari laksana seorang biduan penghibur.

Ketenangan itu membuat saya tersadar, bahwa hidup sederhana selalu ada di depan saya, tetapi ambisi untuk membuat orang lain menyukai saya menjadikan segalanya begitu rumit dan ruwet.

Tidak ada kehidupan yang sempurna atau ideal untuk siapa pun. Setiap orang memiliki masalahnya sendiri untuk ditangani. Jadi, alih-alih meratapi sesuatu yang tidak dapat Anda lakukan, mulailah menikmati apa yang ada dan (masalah) yang akan ada.

Kita punya kesadaran diri yang membedakan kita dengan hewan. Karenanya, jalan pikiran kita sepenuhnya ada dalam kendali kita, apakah kita ingin menjadikan itu sebagai kutukan atau keberkahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun