Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Surat untuk Cicit

7 Februari 2021   12:14 Diperbarui: 7 Februari 2021   12:40 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ironi takdir | Ilustrasi oleh Pexels via Pixabay

Cicitku sayang, aku tidak tahu bagaimana rupa Bumi saat kau membaca surat ini. Tapi, yang aku tahu adalah semuanya mendekati akhir. Kau mungkin tahu bagaimana kesudahan perusakan iklim, seberapa menurunnya kondisi alam, dan mungkin tahu secara terperinci jenis-jenis hewan dan tumbuhan apa saja yang telah punah.

Di beberapa kebun binatang sekarang ini, hewan-hewan sudah semakin sedikit dan beberapa tak pernah ditemukan lagi.  Mungkin di generasimu, kebun binatang akan kembali penuh dengan hewan-hewan. Tapi itu tidak normal, mereka adalah hologram, versi paling mutakhir di dunia. Dan hewan-hewan itu bukanlah terdiri dari darah dan daging, melainkan dari sinar-sinar laser.

Kami juga sedang dilanda berbagai macam bencana. Bahkan banyak di antaranya terjadi di daerah yang janggal. Bayangkan, butiran salju turun di daerah padang pasir! Dan lagi, banjir bandang menerjang wilayah penuh hutan. Belum lagi bencana kelaparan karena pandemi, atau iklim yang tak bisa ditebak, atau keserakahan manusia yang merampas segalanya.

Alam tak berubah; proses alamiah alam berjalan dengan logikanya sendiri. Tapi, manusialah yang merusaknya. Karena kalau bukan, siapa yang bertanggung jawab terhadap meningkatnya suhu Bumi? Siapa yang bertanggung jawab atas pemanasan global yang semakin menjadi-jadi dalam beberapa dekade?

Aku akui itu, cicitku sayang, bahwa kami telah begitu candu dalam hal membakar minyak, batu bara, dan gas; menebangi hutan, dan menjalankan pertanian secara intensif. Kami tidak menyadari atau mungkin pura-pura lupa bahwa semua itu ada batasnya. Cangkir tidak pernah penuh.

Mungkin karena itu juga kendaraan manusia di generasimu akan kembali pada unta berpunuk satu atau kuda putih berotot. Aku khawatir bahwa manusia di generasiku tidak mampu menyisakan energi untuk menghidupkan mobil pada generasimu. Bagaimana kalau tidak ada alternatif?

Satu kata yang hampir-hampir tidak dipergunakan lagi ialah sebuah kata yang pendek, yaitu cukup. Kita sebaliknya menyandingkan diri kita dengan sebuah kata lain yang juga pendek. Kita berkata lagi.

Sebagaimana konsekuensi yang pastinya kamu lebih banyak tahu daripada aku, es di Greenland dan Lautan Arktik menyusut, dan perburuan sumber cadangan minyak dan gas yang baru dimulai.

Para politisi berkata bahwa kita harus terus mencari minyak sampai tetesan terakhir karena dunia membutuhkan energi lagi. Dunia membutuhkan lebih banyak minyak dan gas untuk mengentaskan orang-orang dari kemiskinan.

Tapi, mereka bohong! Pembakaran minyak dan batu bara yang dilakukan si kaya hanya akan memperparah si miskin. Perusahaan-perusahaan minyak itu dan negara-negara kaya penghasil minyaklah yang memerlukan keuntungan lebih banyak. Terus lagi, lagi.

Sayangnya, pada saat yang sama, kami juga memperturutkan kehendak bersama yang serupa. Maaf atas itu, walau tak cukup sekadar maaf.

Kami adalah generasi yang egois. Kami adalah generasi yang brutal. Sedikit sekali kesadaran dari kami bahwa generasi-generasi sesudah kami juga akan memerlukan sebagian dari energi ini.

Satu kata lagi yang jarang kami gunakan, yaitu kata berhemat. Tapi, kata dan ungkapan seperti "ramah lingkungan", "netral karbon" dan bla, bla, bla, terus digunakan di koran-koran, portal berita online, dan dokumen-dokumen publik.

Kami telah menciptakan sebuah bahasa, lebih tepatnya sebuah basa-basi, yang semakin tidak berhubungan dengan realitas fisik.

Kami seperti telah terjebak dalam sebuah labirin. Kami masuk karena rayuan remeh dari minyak, batu bara, dan gas yang mengatakan, "Hei, aku bisa membuat kalian menjelajah ke seluruh penjuru Bumi dengan cepat."

Dan kemudian kami tergoda, masuk ke dalam labirin. Kami tak tahu arah jalan keluar. Mungkin sudah terlambat untuk pulang.

Tapi, aku percaya bahwa kita tidak akan mendapatkan hasil apa-apa kalau kita mengingkari sifat dasar manusia dan daya penggerak masyarakat. Perlu sebuah solusi yang mahal untuk membiarkan manusia hidup dengan sifat dasarnya dan alam bertahan terhadapnya.

Aku tidak bisa memikirkannya sekarang. Mungkin kamu bisa mencari tahu. Aku hanya punya sebuah petunjuk kecil bahwa manusia suka dengan kata keuntungan.

Yang sedang aku sampaikan saat ini hanyalah sekadar kontribusi kecil, tetapi aku tidak melihat ada pilihan yang lebih baik demi tujuan menggerakkan masyarakat untuk melestarikan sumber daya alam planet ini untuk masa depan.

Ada begitu banyak hal tentang masa depan yang aku tidak tahu. Yang aku tahu adalah bahwa aku akan ikut serta untuk memberikan bentuknya. Dan mungkin, dengan cara ini, aku telah memulai dengan sebuah langkah kecil.

Aku berbicara sebagai wakil dari keseluruhan planet tempatku hidup. Itu semua menjadi "aku". Aku peduli dengan nasib planet ini karena aku takut kehilangan bagian inti terdalam dari jati diriku.

Segala harapan terbaik kucurahkan untukmu dan dunia tempat kamu bertumbuh dan akan terus menjalani hidup.

Salam sayang, Kakek buyutmu Muhammad Andi Firmansyah (di kursi kesayangannya).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun