"Aku tidak yakin. Sebagian orang sangat tersiksa dalam hidupnya."
"Kamu hanya belum menyadari, bahwa penderitaan adalah emas yang terkubur."
Ayya diam, berusaha memikirkan maksud bayangannya itu.
Melihat Ayya "membeku", bayangannya itu melanjutkan, "Perpaduan ini adalah keberhasilan yang sangat besar. Kau punya kesadaran, seperti para malaikat di surga. Tapi, badan yang kau huni terbuat dari darah dan daging, sama seperti sapi dan unta. Itulah sebabnya mengapa rambut tumbuh di badanmu. Tentu saja, kebanyakan di atas kepalamu, tapi di bagian lain pun tumbuh, biarpun awalnya sedikit sekali. Dan rambut-rambut itu makin lama makin cepat tumbuh, Ayya, makin lama makin lebat."
Ayya masih diam tanpa kata-kata. Ia seperti sedang duduk di kelas kuliah Biologi atau barangkali kelas kuliah kehidupan. Bayangannya itu tersenyum melihat Ayya yang kaku, dia melanjutkan,
"Alam tumbuh seperti tabir yang makin menebal di sekeliling anak kecil yang baru tiba di dunia. Ketika manusia dilepaskan oleh tangan Sang Pencipta, badan mereka sebersih dan selembut malaikat di surga. Tapi, itu hanya di luarnya karena kejatuhan ke dalam dosa telah terjadi. Di dalam badan itu, darah dan daging bergejolak, yang berarti hidupmu tak abadi."
Ayya menggigit bibirnya. Ia tak suka membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan badannya. Apalagi tentang kakinya.
"Sungguh menyedihkan! Mengapa manusia tidak abadi seperti malaikat saja?" tanya Ayya.
"Setiap detik, bayi-bayi baru muncul dari 'lengan jas Tuhan'. Sim salabim! Setiap detik pula, ada orang-orang yang menghilang. Mantra K E L U A R terucap, maka kamu pun harus keluar. Tidak bisa tidak!"
"Apakah itu menjawab pertanyaanku?"
Bayangannya itu tertawa. "Kamu terlalu serius, Ayya!" Ia melanjutkan, "Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu bermain sebuah game perang di mana kamu tidak akan pernah mati?"