Pernah suatu waktu, aku berkumpul (kembali) bersama teman-teman SD. Di antara semua orang yang hadir, aku sangat mengingat satu temanku yang dulu terkenal dengan kenakalannya.
Cukup lama aku memperhatikannya. Dia menghampiri setiap orang di dekatnya dan bersalaman dengan senyum yang merekah. Aku menyapa salah seorang temanku yang sempat mengobrol dengan temanku yang "nakal" itu.
"Apa yang dia katakan padamu?" tanyaku dengan penasaran.
"Hanya basa-basi orang Indonesia. Oh ya, dengan sedikit ceramah juga."
"Sungguh? Bagaimana mungkin orang seperti dia menceramahimu?"
Dia hanya mengangkat kedua alis dan bahunya, tampak penuh keragu-raguan. Aku kembali memerhatikan temanku yang "nakal" itu. Tak lama, dia menghampiriku.
"Assalamu'alaikum. Lama tak berjumpa. Kamu tampak bukan kamu yang dulu, Ndi," sapanya dengan gelak tawa yang khas. Aku masih ingat dengan suara tawa itu.
"Kamu tampak tak berubah. Aku harap kamu tak mengacaukan acara ini dengan kejahilanmu," balasku balik dengan gelak tawa yang persis.
"Acara ini akan lebih seru kalau ada sedikit kekacauan," sindirnya dengan tawa yang sama.
Beberapa menit kami berbincang, aku menyadari sesuatu yang lain. Dia tak lagi sama. Maksudku, dia benar-benar berubah.Â
Kami berdiskusi selama beberapa menit, dan dia sudah menyampaikan 6 ayat Al-Qur'an untuk mengingatkanku tentang kehidupan. Dan aku sedikit banyak merasa malu; malu dengan diri sendiri. Ternyata, aku keliru dalam memandang seseorang.