Bahkan terkadang, saya sama sekali tidak tertarik untuk membaca materi pelajaran. Sungguh jelas, ini adalah kekeliruan saya. Namun hal itu terjadi bukan tanpa suatu alasan.
“Selamat tinggal tugas sekolah dan selamat datang (kembali) rebahan. Tenang, yang penting nilai sudah ada, ilmunya dapat atau tidak, kita lihat nanti.” Demikianlah ocehan teman saya ketika selesai mengerjakan tugas yang menggunung setinggi Everest. Tidak seperti itu, bung!
Kabar pahit lainnya ialah, eksistensi ulangan dan ujian yang seharusnya menjadi sarana evaluasi pembelajaran, malah dijadikan sebagai ajang searching di internet.
Memang, kejujuran sudah menjadi barang berharga yang tidak laku di negeri ini. Jadi tolong jangan heran apabila kita sudah langganan mencetak generasi yang korup.
Kisah miris pun sudah kita dengar dan baca. Seorang mahasiswa meninggal dunia karena kecelakaan ketika malam hari naik sepeda motor mencari lokasi untuk mendapatkan sinyal internet.
Kemudian mahasiswa lainnya harus meregang nyawa karena terjatuh saat mamanjat menara masjid untuk mengirim tugas kampusnya. Dan lagi, sekelompok anak sekolah harus berjalan sekian jauhnya untuk sekadar mencari sinyal internet. Atau sekelompok anak SMP yang bergerombol ke kantor polisi untuk meminta wifi.
Bahkan, hati kita benar-benar teriris ketika membaca berita seorang bapak yang ditangkap polisi karena mencuri handphone untuk sekolah daring anaknya.
Seorang juru parkir yang seharusnya menjaga motor, malah mencurinya demi membelikan ponsel untuk belajar anaknya. Ditambah para tenaga pendidikan yang upahnya tidak seberapa harus rela mendatangi anak didiknya untuk sekadar menemaninya belajar.
Apa yang telah saya singgung hanya sisi kecil kondisi warga negara. Dan pastinya, masih banyak sisi lain yang belum tertangkap kamera atau masuk headline pemberitaan media.
Lantas apa solusi atas semua masalah ini? Karena jika kita bersandar pada penelitian seorang profesor di Harvard, Indonesia memerlukan hingga 128 tahun untuk mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan dengan negara maju.
Jangan heran, negara lain sibuk menyusun “lego” pendidikan, kita masih disibukkan dengan polemik kata “anjay” dan popularitas odading Mang Oleh. Dan jangan lupa tentang "Among Us".