Di balik setiap pagi yang cerah, rutinitas saya yang begitu membosankan telah menanti di depan mata.
Terima kasih Google Classroom, telah membangunkan saya dengan nada dering notifikasimu yang begitu menjengkelkan. Juga kepada notifikasi WhatsApp, terima kasih telah menemani sarapan saya.Â
Tidak lupa untuk buku tugas, kesudianmu menemani saya makan siang sungguh begitu menyebalkan. Oh, saya lupa, terima kasih untuk lambung saya yang tetap kuat mengonsumsi kopi setiap malam supaya tidak mengantuk mengerjakan tugas.
Memang benar, hari-hari saya (bahkan seluruh pelajar) dipadati dengan mengerjakan tugas sekolah. Tidak sepenuhnya, memang. Namun ini cukup untuk saya menyetarakannya dengan shalat lima waktu. Mungkin karena hal tersebut juga, saya layak mendapatkan gelar sebagai manusia paling membosankan sepanjang sejarah.
Kendati demikian, saya sangat paham bahwa ini merupakan efek domino dari pandemi COVID-19. Pandemi membuat segala-galanya terlihat begitu ambyar dan menyebalkan. Tugas yang semakin meledak, kuota yang semakin sekarat, pikiran yang semakin berat, persetan saja lah.
Ada alasan sederhana yang bisa menjawab mengapa tugas sekolah begitu membludak tiada henti. Menurut laporan Ikatan Guru Indonesia, Juni 2020, tercatat sekitar 60% guru memiliki kemampuan sangat buruk dalam penggunaan teknologi informasi saat mengajar.Â
Seperti yang bisa kita tebak, pemberian rentetan tugas yang non-stop menjadi alternatif mayoritas pengajar dalam pelaksanaan sekolah berbasis online saat ini. Belum lagi, para tenaga pengajar merasa dituntut untuk mencapai standar kurikulum.
Ini bukan tulisan saya untuk mengkritik pihak tertentu. Serius amat, bung! Tidak, ini suara saya dalam mewakili pelajar di Indonesia, bahwa segalanya, terlihat begitu ambyar.
Mari kita blak-blakan saja: mayoritas pelajar saat ini hanya berupaya mendapatkan nilai, bukan ilmu. Maaf atas hal itu, tapi saya tidak bercanda, meskipun terdengar lucu. Bahkan terkadang, hal itu cukup untuk mewakili diri saya pribadi.
Dengan segala fasilitas kenyamanan yang ada, rumah memang sangat menggoda untuk dijadikan sebagai tempat bermalas-malasan. Jadi tidak heran kalau tingkat kemalasan semakin meningkat di era sekolah online ini. Iya, saya tahu, budaya malas memang sudah melekat sejak dulu. Dan ini yang saya sebut sebagai malas kuadrat.
Tugas menumpuk, oke. Tapi apa yang para pelajar dapatkan dari mengerjakan tugas sebanyak itu? Sekali lagi, saya cukup yakin bahwa mayoritas pelajar hanya cukup mengerjakan tugas-tugas, kemudian bodo amat tentang materi apa yang dipelajari.Â