PENDAHULUAN
Peristiwa 'berdarah' kerusuhan suporter sepakbola di Stadion Kanjuruhan, Malang 1 Oktober 2022 sangat menghenyakkan hati dan perasaan kita.
Banyak pengamat berasumsi bahwa penyebab awal peristiwa tersebut disebabkan suporter tuan rumah tidak dapat menerima tim kesayangannya dikalahkan oleh tim tamu.Â
Tercatat tidak kurang dari 130 nyawa melayang sebagai akibat dari peristiwa 'berdarah' tersebut; bahkan, peristiwa tersebut tercatat sebagai peristiwa dengan jumlah korban terbesar ke dua di sepanjang sejarah kerusuhan sepakbola di dunia.
Hal ini sangat mencoreng nama dan identitas bangsa Indonesia di mata internasional. Pemberitaan negatif terhadap peristiwa itupun berseliweran dalam beberapa hari ini, sebut saja beberapa headline pemberitaan baik nasional maupun internasional, di antaranya:
- 125 Dead after Crowd Crush at Indonesian Football Match (The Guardian, 2 Oktober 2022)
- Indonesia: At least 125 Dead in Football Stadium Crush (BBC News, 2 Oktober 2022)
- 127 Soccer Fans, Police, Killed at Indonesia's Soccer Match (KESQ, 2 Oktober 2022)
- Belasan Anak-Anak Tewas Akibat Kerusuhan Stadion Kanjuruhan (CNBC Indonesia, 2 Oktober 2022)
- Tragedi Kanjuruhan Malang Terbesar Kedua Sejarah Kerusuhan di Stadion Bola (Antara News, 2 Oktober 2022)
Hal ini membuat kita bertanya-tanya seperti apa kah identitas bangsa kita yang sebenarnya?
Terkait hal di atas, secara sederhana, identitas dapat dimaknai sebagai suatu hal yang memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasi dirinya dan membedakannya dengan orang yang lain.
Identitas juga berhubungan dengan genealogi, karakter, sikap dan tingkah laku seseorang yang terbentuk oleh interaksi dengan masyarakat dan budaya tertentu.Â
Dalam identitas seseorang tercermin pola pikir dan juga kebiasaan masyarakat di mana seseorang tersebut tinggal. Kebiasaan dan perilaku yang berkembang dalam suatu masyarakat menjadi nilai-nilai budaya yang menjadi identitas nasional suatu bangsa.
Meskipun, identitas nasional di Indonesia ini cukup kompleks karena Indonesia terdiri dari beragam suku dan budaya, identitas nasional Indonesia dibangun oleh cita-cita, keinginan dan tujuan bersama.
Hal ini diwujudkan salah satunya dengan adanya bahasa kesatuan Republik Indonesia yakni bahasa Indonesia.
Oleh sebab itu, bahasa Indonesia merefleksikan identitas bangsa Indonesia. Tetapi di sisi lain, bahasa yang digunakan terus menerus dapat juga membentuk pola pikir dan cara berperilaku penuturnya.
Setiap bahasa mempunyai cara sendiri dalam mengekspresikan suatu hal. Bahasa Indonesia mengenal beragam istilah untuk menamai kata beras misalnya ada padi, nasi, gabah, sedangkan dalam Bahasa Inggris hanya ada kata 'rice'.
Dengan melihat padanan kata seperti ini kita dapat memperhatikan pola pikir dan perilaku masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut.Â
Permasalahan perbedaan pola pikir dan budaya antar pengguna bahasa juga terlihat dari padanan kata 'loser' dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak memiliki padanan kata yang tepat untuk mengekspresikan kata 'loser'.
Menilik ke kamus Inggris-Indonesia, kata 'loser' itu bermakna 'pecundang'. Kata 'pecundang' memiliki konotasi yang negatif, dan lebih rendah dibandingkan dengan 'orang yang kalah'.
Oleh karenanya, kata 'pecundang' tidak tepat dijadikan sebagai padanan kata 'loser'yang mengacu pada'orang yang kalah' dalam sebuah pertandingan atau kompetisi apapun.
Ketiadaan istilah secara tidak langsung mempengarui cara berpikir dan berperilaku, serta berdampak positif dan negatif. Maka penelitian ini sendiri bermaksud untuk menganalisis penggunaan kata yang merujuk pada "orang yang kalah."
Media surat kabar online berbahasa Indonesia dan Inggris digunakan sebagai sumber data dengan pertimbangan bahwa surat kabar adalah media komunikasi yang digunakan oleh masyarakat banyak sehingga secara tidak langsung merefleksikan penggunaan bahasa pada suatu masyarakat.
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian sederhana ini bertujuan untuk:
(1) mengetahui ekspresi bahasa apa saja yang digunakan surat kabar dalam mengungkapkan makna 'orang yang kalah'sebagai lawan kata 'pemenang', dan (2) medeskripsikan dampak ketiadaan lawan kata 'pemenang' dalam mempengaruhi cara bangsa Indonesia berpikir dan berperilaku.
***
LANDASAN TEORI
Identitas: Korelasi antara Budaya dan Bahasa
John Edwards dalam bukunya yang berjudul "Language and Identity" mengungkapkan bahwa: "identity is essentially the summary statement of all our individual traits, characteristics and dispositions; it defines the uniqueness of each human being" (2009:19).
Berdasarkan kutipan tersebut, secara sederhana identitas dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang ada pada diri seseorang, dan yang membedakannya dengan orang yang lain.
Dalam kaitannya dengan karakteristik personal, lebih lanjut John Edwards mengungkapkan bahwa pembentukan identitas personal pasti tidak lepas dari bagaimana individu tersebut bersosialisasi dengan orang lainnya di dalam kehidupan bermasyarakat. (Edwards, 2009:20)
Proses interaksi individu di dalam masyarakat melahirkan nilai-nilai budaya yang dikembangkan dan dipahami bersama, hal ini lah yang menjadi unsur utama terbentuknya identitas nasional.
Identitas nasional lahir atas dasar kesepahaman bersama antar individu di dalam himpunan-himpunan masyarakat pada suatu bangsa dengan dilandasi cita-cita, keinginan, dan tujuan yang sama.
Kesamaan landasan tersebut menelurkan hal-hal yang bersifat nasional seperti: kebudayaan dan bahasa nasional sebagai implementasi dari identitas nasional. Hal inilah yang membedakan identitas suatu bangsa dengan bangsa lainnya.
Identitas suatu bangsa dapat dikenali melalui implementasi budaya dan bahasa yang digunakan masyarakatnya. Berkaitan dengan budaya dan bahasa Ronald Wardhaugh menyatakan bahwa budaya suatu masyarakat terefleksikan dalam performasi bahasanya karena bahasa memperlihatkan apa yang suatu masyarakat tersebut hargai dan apa juga yang mereka lakukan (Wardhaugh, 2006:222).
Lebih lanjut, Gumperz dan Levinson mengungkapkan bahwa: "culture, through language, affects the way we think, especially perhaps our classification of the experienced world."(1996:1).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa bahasa sebagai implementasi budaya mempengaruhi cara pikir dan cara seseorang dalam melihat dan mendeskripsikan sesuatu.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa bahasa merupakan refleksi dari budaya yang dikembangkan sebagai sebuah implementasi dari identitas nasional penuturnya.
Akan tetapi, bahasa yang diekspresikan secara terus-menerus juga dapat berdampak pada pembentukan pola pikir dan perilaku penuturnya. Pembahasan mengenai hal tersebut akan dideskripsikan pada bagian berikut ini.
Keterkaitan Performansi Bahasa dengan Pembentukan Pola Pikir dan Perilaku
Jourdan dan Tuite mengungkapkan bahwa performansi bahasa dapat membentuk pola pikir, atau dengan kata lain bahasa yang diekspresikan secara terus-menerus dapat saja membentuk pola pikir dan cara bersikap penuturnya. (2006:5). Senada dengan hal di atas, Wardhaugh lebih lanjut mengungkapkan:
"The background linguistic system of each languageis not merely a reproducing instrument forvoicing ideas but rather is itself theshaper of ideas, the program and guide for the individual's mental activity, for hisanalysis of impressions, for his synthesis of his mental stock in trade." (Wardhaugh, 2006:222)
Kutipan tersebut mengungkapkan bahwa sistem bahasa yang digunakan penuturnya tidak hanya menjadi instrumen untuk mengekspresikan ide namun juga menjadi instrumen pembentuk ide dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan ekspresi bahasa. Dengan kata lain, performansi bahasa bukan hanya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan pesan, akan tetapi juga dapat berfungsi sebagai pembentuk pola pikir dan cara berperilaku.
Performansi Bahasa dan Padanan Kata
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bagaimana performansi bahasa dapat membentuk pola pikir dan perilaku. Proses pembentukan tersebut juga erat kaitannya dengan padanan kata.
Padanan kata yang sesuai dapat berdampak pada pembentukan pola pikir dan perilaku yang tepat dan normatif pada penuturnya, sebaliknya, apabila pada suatu bahasa ada kata atau ekspresi bahasa yang hilang atau kurang tepat padanannya juga dapat berdampak pada penyimpangan pola pikir dan perilaku penuturnya.Â
Penyimpangan tersebut, dapat saja berpengaruh positif maupun negatif kepada penuturnya. Wardhaugh mengungkapkan:"You perceive only what your language allows you, or predisposes you, to perceive. Your language controls your 'world-view.' Speakers of different languages will, therefore, have different world-views."(Wardhaugh, 2006:224).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa bahasa yang kita gunakan mengontrol deskripsi kita akan sesuatu. Kita dapat membedakan atau mendeskripsikan sesuatu dengan tepat jika bahasa yang digunakan memiliki padanan kata atau ekspresi bahasa yang dapat menjelaskannya secara tepat.
Berkaitan dengan hal di atas, lebih lanjut, Warhaugh juga mengungkapkan:
"Language provides a screen or filter to reality; it determine show speakers perceive and organize the world around them, both the natural world and the social world. Consequently, the language you speak helps to form your world-view. It defines your experience for you; you do not use it simply to report that experience.(Wardhaugh, 2006:225)
Kutipan di atas menjelaskan bagaimana bahasa berperan untuk mendefinisikan atau mendeskripsikan sesuatu, namun, proses pendeskripsian tersebut tidaklah mudah, bahkan dapat saja mengalami kendala bila tidak adanya padanan kata atau ekspresi bahasa di dalam bahasa yang digunakan.Â
 "The language a person speaks affects that person's relationship to the external world in one or more ways. If language A has a word for a particular concept, then that word makes it easier for speakers of language A to refer to that concept than speakers of language B who lack such a word and are forced to use a circumlocution."(Wardhaugh, 2006:225)
Kutipan di atas menjelaskan ketiadaan padanan kata dapat menjadi kendala dalam mendeskripsikan sesuatu. Penutur umumnya akan mencoba mencari padanan kata yang konsepnya mirip atau hampir sama dengan kata yang dimaksud, akan tetapi, proses tersebut dapat saja berdampak pada bergesernya konsep dan makna kata tersebut.
Lebih lanjut, Wardhaugh mengungkapkan bahwa salah satu alasan ketiadaan padanan kata tertentu adalah karena pada budaya di mana bahasa tersebut digunakan, kata yang dimaksud dianggap kurang penting, seperti kutipan berikut:
Data such as the following are sometimes cited in support of such claims. The Garo of Assam, India, have dozens of words for different types of baskets, rice, and ants. These are important items in their culture. However, they have no single-word equivalent to the English word ant. Ants are just too important to them to be referred to so casually.(Wardhaugh, 2006:225)
Pada kutipan di atas, Wardhaugh membandingkan penggunaan kata ant antara bahasa India dengan bahasa Inggris. Di budaya India, digunakan banyak kata untuk mendeskripsikan ant, namun di bahasa Inggris tidak, dengan alasan di budaya India ant itu penting untuk dibedakan.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang mengkaji fenomena kebahasaan dengan pendekatan sosiolinguistik. Analisis data penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif, yang mengacu pada fakta dan fenomena yang hidup secara empiris.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah purposive sampling; hal ini dilakukan karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik jenis dan dampak ketiadaan lawan kata "pemenang".
Adapun temuan padanan kata yang digunakan untuk mengekspresikan lawan kata "pemenang" dari beberapa headline pemberitaan adalah sebagai berikut:
1. Perbandingan surat kabar berbahasa Inggris dengan Indonesia
- Haaland is inevitable! Man City winners, losers and ratings as Foden gets in on the act during derby demolition (Goal.com-English, 1 Oktober 2022)
- Pemenang dan Pecundang Laga Man City 6-3 Man United: 2 Bocah 22 Tahun Sukses Obok-obok Varane! (Bola.net, 2 Oktober 2022)
2. Perbandingan antar surat kabar berbahasa Indonesia
- Arema FC Dipecundangi Persebaya di Kanjuruhan, Javier Roca Siap Dipecat Manajemen Singo Edan (Tribun News-Surya Malang, 2 Oktober 2022)
- Hasil Pertandingan Derby Jatim, Arema Fc Takluk di Kandang Sendiri Oleh Persebaya Surabaya (Media Pakuan, 1 Oktober 2022)
- Kericuhan terjadi usai Arema FC ditundukkan Persebaya Surabaya (ANTARA News, 2 Oktober 2022)
- Hasil Piala Dunia Amputasi 2022: Timnas Indonesia Menyerah 0-3 di Hadapan Argentina.(Okezone, 1 Oktober 2022)
- Bruno Fernandes Ungkap Alasan MU Tak Berdaya di Kandang Manchester City (Portal Jember, 2 Oktober 2022)
- Bali United Vs Persikabo 1973: Serdadu Tridatu Tumbang (Detik Sport, 30 September 2022)
- Hasil Bali United vs Persikabo; Dimas Drajad Makin Gacor, Bali United Dipaksa Bertekuk Lutut (Suara Sukabumi, 2 Oktober 2022)
Berdasarkan temuan di atas, berikut adalah deskripsi penjelasan terkait fenomena headline pemberitaan tersebut:
a. Jenis Ekspresi Bahasa yang Digunakan untuk Menjelaskan Lawan Kata "Pemenang"Â
Dari hasil penelitian, dapat dilihat dalam konsep bahasa Inggris terdapat kata 'loser' sebagai lawan kata 'winner'. Akan tetapi, dalam bahasa Indonesia 'winner' yang berpadanan kata dengan 'pemenang' mempunyai lawan kata 'pecundang'. Kata 'pecundang' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna 'orang yang menghasut'.
Jelas sekali, kata tersebut tidak tepat digunakan sebagai lawan kata "pemenang".Jadi, di sini jelas bahasa Indonesia kehilangan padanan kata untuk lawan kata 'pemenang'.
 Menurut KBBI 'pemenang' bermakna 'orang/pihak yang menang'. Makna kata tersebut, seharusnya secara sederhana mempunyai lawan makna 'orang/pihak yang kalah'.
Menilik dari pembentukan kata 'pemenang' yakni: prefiks "pe-" + kata dasar "-menang", di mana prefiks tersebut digunakan untuk membentuk nomina yang menunjukkan orang atau agen yang melakukan perbuatan, seharusnya secara sederhana lawan kata dapat dibentuk dengan proses yang sama.
Proses dimaksud adalah dengan menambahkan prefiks "pe-" dengan kata dasar "kalah", sehingga menjadi "pekalah", dan jikapun ada proses pelesapan menjadi 'pengalah'. Konsep 'pekalah' atau 'pengalah' secara makna diharapkan dapat menjadi ekspresi bahasa yang menunjukkan makna'orang/pihak yang kalah' sebagai lawan kata 'pemenang'.
Ketiadaan ekspresi kata 'pekalah' atau 'pengalah' menyebabkan bervariasinya kata yang digunakan penutur. Umumnya penutur akan menggantinya dengan verba, seperti pada data-data di atas, yakni: 'dipecundangi', 'tak berdaya', 'tumbang', 'taklukkan', 'bertekuk lutut', dan 'ditundukkan'.
Menilik secara konsep makna kata 'dipecundangi' mempunyai kata dasar 'cundang', sama seperti halnya penjelasan sebelumnya pada kata 'pecundang', konsep kata 'dipecundangi' bermakna dihasut'; sedangkan, 'tak berdaya' mempunyai konsep makna 'tidak berkekuatan/berkemampuan'; begitu juga dengan kata 'tumbang' yang mempunyai konsep makna 'jatuh/runtuh (kekuasaan)'. Ketiga ekspresi bahasa tersebut secara makna jelas bergeser dari konsep makna 'orang yang kalah'.Â
Adapun ketiga ekspresi bahasa lainnya 'taklukkan', 'bertekuk lutut', dan 'ditundukkan' mempunyai konsep makna yang serupa yakni 'menyerah kalah'; konsep tersebut memang hampir sama dengan konsep 'orang yang kalah', akan tetapi menilik dari konsep 'menyerah' yang bermakna 'berserah/pasrah'terlihat ada sedikit pergeseran dari konsep maknanya, dan kurang tepat untuk dipadankan dalam konteks pertandingan atau kompetisi.
b. Refleksi Ketiadaan Padanan Lawan Kata "Pemenang" terhadap Identitas dan Budaya Indonesia
Refleksi terhadap ketiadaan kata kalah ini bisa terlihat dari segi adat kebiasaan orang Indonesia. Indonesia terdiri dari berbagai etnik, agama, dan bahasa yang disatukan dalam sejarah kolonialisme yang sama. Etnik yang berbeda-beda menyebabkan mudahnya muncul perpecahan dan konflik antar etnik, maka keharmonisan antar masyarakat menjadi hal yang dijunjung tinggi.Â
Indonesia juga dikenal dengan tingkah laku yang sopan dan santun dalam berbicara. Hal ini tercermin dari cara orang Indonesia berkomunikasi.
Hati-hati dalam pemilihan kata dan juga pertimbangan usia dan kedudukan menjadi hal penting dalam berinteraksi dengan orang yang lainnya. Bahasa yang digunakan untuk senior atau orang yang lebih tua harus sopan dan tidak menyakiti hati. Pertemanan juga adalah hal yang sangat penting untuk dijaga.Â
Oleh sebab itu, Orang Indonesia dikenal suka menyembunyikan perasaan yang sebenarnya terutama perasaan tidak suka terhadap orang lain.
Hal ini juga salah satu cara untuk menghindari konfrontasi langsung dengan orang yang tidak disukainya tersebut. Hal lain yang penting dalam berinteraksi dengan orang lain adalah tidak menjadi menjadi sumber yang menyebabkan orang merasa malu. Maka penting untuk menghindari menunjuk hidung secara langsung orang yang bersalah.
Penggunaan kalimat pasif dan tidak langsung menjadi salah satu cara untuk menyampaikan maksud yang dianggap lebih sopan (Moffat, 2012: 6). Adat budaya yang dipaparkan diatas memang lebih identik dengan budaya Jawa, tetapi adat kebiasaan ini menjadi bagian dari identitas Indonesia yang dikenal luas.
Cara komunikasi inilah yang mempengaruhi penulisan tentang kekalahan. Jika ditinjau dari data diatas. Maka ekpresi untuk menunjukan kekalahan tidak menunjuk langsung pada orang yang kalah.
Dalam mengkomunikasikan kekalahan tidak memberikan pelabelan pada 'orang yang kalah'. Tapi menggantinya dengan ekspresi bahasa lain yakni dalam hal ini penggunaan kata kerja (verba). Dengan demikian menyelamatkan orang yang kalah tersebut dari rasa malu.
Akan tetapi ketiadaan padanan untuk lawan kata 'pemenang' bisa mengontruksi pola pikir bangsa Indonesia. Seperti yang dipaparkan oleh Wardhaugh bahwa bahasa mengontrol kita dalam mendeskripsikan sesuatu. Ketiadaan padanan lawan kata 'pemenang' menyebabkan tidak adanya konsep 'orang yang kalah' seperti halnya 'loser' dalam bahasa Inggris.Â
Padanan kata Loser adalah 'pecundang'. Kata 'pecundang' memiliki konotasi negatif. Dengan kata lain 'orang yang kalah' memiliki konotasi negatif juga. Dampak positif dari konstruksi pola pikir ini adalah keinginan untuk selalu menjadi pemenang dan berusaha melakukan yang terbaik di setiap kompetisi.
Tetapi, di sisi lain, menimbulkan efek negatif jika kita hanya fokus pada kemenangan adalah sulit menerima kekalahan. Hal ini dapat terlihat dari kerusuhan yang terjadi karena tim sepak bola yang didukungnya kalah.
SIMPULAN
Dalam Bahasa Indonesia, tidak ada kata yang menjadi padanan bagi kata 'loser' dalam arti 'orang yang kalah' dalam sebuah pertandingan atau kompetisi. Padanan kata yang terdapat di kamus yakni 'pecundang' kurang tepat digunakan sebagai lawan kata 'pemenang'. Ketiadaan istilah ini disiasati oleh surat kabar dengan menggunakan ragam espresi bahasa lainnya.
Dalam hasil analisis terlihat bahwa untuk mengekspresikan 'orang yang kalah' lebih ditekankan pada kata kerjanya (verba) dan tidak secara langsung melabeli orang yang kalah tersebut.Â
Tidak seperti halnya orang yang menang yang diberikan label 'pemenang'. Ketiadaan istilah ini dimungkinkan oleh adat kebiasaan orang Indonesia yang mengedepankan kesopanan dan kehati-hatian dalam berinteraksi dengan orang lain. Menunjuk hidung orang yang bersalah dianggap tidak etis dan dapat menyebabkan terjadinya ketidakharmonisan.Â
Jadi tidak adanya pelabelan terhadap 'orang yang kalah' bisa menghindarkan orang tersebut dari rasa malu dan mempertahankan keharmonisan di masyarakat.
Dampak positif dari tidak adanya istilah tersebut menyebabkan keinginan yang kuat untuk menang. Tetapi di sisi lain, ketiadaan istilah tersebut dapat menyebabkan kurangnya toleransi terhadap kekalahan, dan di bidang olah raga terutama sepak bola, hal inilah yang kerap menjadi penyebab awal terjadinya kerusuhan atau bentrokan antar suporter.
Muhammad Rayhan Bustam
Program Doktor Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia
***
DAFTAR PUSTAKA
Edwards, John. 2009. Language and Identity. Cambridge University Press.
Gumperz, John J. and Levinson, Stephen C.(eds.). 1996. Rethinking linguistic relativity. Cambridge University Press.
Jourdan, Christine and Tuite, Kevin. 2006. Language, Culture, and Society.Cambridge University Press.
Sugiyono dan Maryani. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistics. Blackwell Publishing.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI