Mohon tunggu...
Muhammad Azzamami
Muhammad Azzamami Mohon Tunggu... Lainnya - Kadang ngaji, kadang bernarasi, kadang berdiskusi

Mahasiswa aktif di Ma'had Aly An-Nur II Bululawang-Malang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Semua Akan Baper Pada Waktunya, dan Itu Sah-sah Saja.

13 Februari 2021   13:24 Diperbarui: 13 Februari 2021   15:09 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semuanya pasti diberi perasaan, kalau anda menyangkal, pasti ada yang nggak beres. Karena itu pemberian, maka sebuah kebenaran jika siapapun memanfaatkan pemberian tersebut. Jika anda diberi makanan, perlu dipertanyakan jika anda tidak memanfaatkannya. “Mengapa?” Paling tidak begitu.

Itu yang pertama. Yang kedua, semua makhluk Tuhan diberi anugerah berupa ekspresi. Dengan ekspresi itu, kita jadi tahu apa yang mereka inginkan. Tahu, darimana datangnya ekspresi? Ya dari perasaan. Anda tidak percaya? Mengerinyitkan dahi? Anda tidak sadar, perasaan anda sedang menerima suatu hal baru, jika tidak mau disebut asing. Sehingga ia dengan cepat merespon, “Ah, masak iya…?” atau mungkin, “Perasaan, nggak gitu deh..”. Nah kan, perasaan.

Dari situ jelas, berperasaan sebetulnya manusiawi. Sebuah kelaziman makhluk hidup membawa perasaan dalam berekspresi dan menjadikannya sebagai salah satu pertimbangan untuk mengambil keputusan.

Bukan bermaksud mencari pembenaran, Baginda Rasul sendiri juga pernah mengalami baper. Saat kabar hoax perselingkuhan Sayyidah Aisyah dengan Shafwan santer terdengar, Baginda Rasul terguncang dan terpukul dengan berita sebut. Hadisul-ifki tersebut membuat beliau baper hingga hampir sebulan, beliau “satru” dengan Sayyidah Aisyah.  

Kalau mau ditarik ke belakang lagi, ada satu peristiwa besar yang dilatarbelakangi karena perasaan. Tahu kenapa ada peristiwa Isra Miraj? Kan itu karena Baginda Rasul baper. Beliau sangat sedih ditinggal dua orang kekasih, istri dan sang paman. Sebenarnya, Baginda Rasul boleh tidak bersedih. Sebagai Nabi Agung, sudah pasti beliau akan dijamin bisa berkumpul bersama lagi dengan sang istri kelak di surga, tanpa meminta sekalipun. Namun tidak, sebagai manusia biasa, beliau menunjukkan sisi yang dimiliki itu dengan mengadu dan berkeluh kesah kepada Tuhannya. Dan Allah, dengan bijak menghibur Baginda Rasul dengan peristiwa mahahebat tadi.

Nah itu lho, kalau baper diletakkan pada porsi yang semestinya, akan mendatangkan solusi. Lha wong manusia, masa mau gengsi kalau perasaanya digunakan. Terkadang, karena konotasi dan konteks penggunaan kata saja yang mempengaruhi persepsi kita tentang suatu kata, dalam hal ini “Baper”.

Yang tidak boleh itu berlebihan. Perasaan yang seharusnya bisa ditasharufkan dalam kadar sekian, malah dilebihkan. Tatkala gembong munafik Madinah, Abdullah bin Ubay bin Salul menyebar hoaks tentang pemberontakan yang akan dilakukan oleh Muhajirin, Sy. Umar berniat membunuh Abdullah bin Ubay. Karena terlihat terbawa perasaan, dengan arif Baginda Rasul melarangnya. “Bagaimana jika orang-orang beranggapan jika Muhammad pembunuh sahabatnya?”, begitu tanggapan Baginda Rasul.

Baper berlebihan adalah sebuah kerugian. Masih tentang Abdullah bin Ubay. Konon, saat Madinah masih bernama Yatsrib, dia adalah salah satu tokoh daerah itu. Ia mempunyai ekspetasi untuk menjadi pemimpin kota tersebut. Namun, keinginan tak sesuai ekspetasi. Kedatangan Baginda Rasul ke kota itu membuat keadaan sangat berubah. Kharisma Baginda Rasul berhasil memikat masyarakat Madinah untuk menjadikan beliau sebagai pemimpin nan berpengaruh di sana. Abdullah bin Ubay? Dia sakit hati, dan kemudian menjadi dedengkot kaum munafik. Terpandang dengan reputasi buruk

Andaikan dia nggak baper, dia bisa lho menjadi orang terpandang dengan reputasi baik. Dia bisa saja menjadi orang berpengaruh dalam lingkaran Baginda Rasul. Namun, apa daya, perasaan kadung menutupi akal sehat. Jadilah dia seperti yang direkam sejarah, menjadi gelandangan politik.

Jadi, kesimpulannya gimana? Boleh baper, asal jangan keterlaluan. Biasa saja, semua yang dibaperin itu sebenarnya hal biasa, kita aja yang berlebihan. Sudah dulu ya, waktunya duduk, anda capek berdiri. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun