Bangsa Arab, yang jumlahnya lebih banyak dari orang Yahudi sebagai dua keturunan yang tersisa dari bangsa Semit saat ini, telah mempertahankan atribut fisik dan sikap mental dari kelompok kuno ini.
Bahasa mereka, meskipun menjadi yang termuda dari rumpun Semit dalam hal literatur, mempertahankan lebih banyak keaslian bahasa Semit yang asli daripada bahasa Ibrani dan bahasa-bahasa lain yang sejenis. Akibatnya, bahasa Arab merupakan kunci penting untuk memahami bahasa Semit lainnya. Islam juga berfungsi sebagai kesimpulan logis dari agama-agama Semit.
Istilah Semit memiliki implikasi Yahudi di Eropa dan Amerika, dan istilah ini mengingatkan kita pada penyebaran orang Yahudi di dua benua ini. Ciri-ciri Semit yang sering disebut-sebut tidak ada hubungannya dengan bangsa Semit. Karakteristik tersebut adalah ciri-ciri yang memisahkan orang Yahudi dari garis keturunan Semit lainnya dan jelas merupakan hasil dari perkawinan antara orang Hitti-Hurrian* dan Ibrani.
Alasan mengapa orang-orang berbahasa Arab dianggap sebagai representasi biologis, psikologis, sosiologis, dan linguistik terbaik dari rumpun Semit dapat ditelusuri kembali ke isolasi geografis mereka dan kehidupan gurun yang monoton.
Lingkungan yang keras dan terpencil membentuk kualitas spesifiknya. Orang Arab menyebut tanah airnya Jazirah al-Arab, yang berarti pulau Arab, wilayah yang dikelilingi laut di tiga sisi dan gurun di satu sisi.
Pulau ini menyajikan contoh unik dari hubungan tak terputus antara manusia dan lingkungannya. Sejarah tidak pernah mencatat sekelompok penjajah yang berhasil menerobos penghalang pasir dan membangun fondasi yang kokoh di tanah Arab.
Semit berasal dari kata syem yang muncul dalam Perjanjian Lama (Kejadian 10:1) melalui bahasa Latin dalam Vulgate – Alkitab Latin yang ditulis oleh St. Jerome pada abad ke-4. Cerita tradisional bahkan menyebutkan bahwa bangsa Semit merupakan keturunan dari putra sulung Nuh. Lantas, siapakah sebenarnya rumpun Semit itu?
Jika kita mengacu pada peta perkembangan bahasa Asia Barat, kita akan menemukan bahwa Suriah, Palestina, Arab Saudi, dan Irak saat ini dihuni oleh masyarakat berbahasa Arab.
Jika kita kembali ke sejarah kuno, kita akan mengingat bahwa sejak pertengahan milenium keempat SM, bangsa Babilonia (awalnya disebut bangsa Akadia), Assyiria, dan kemudian bangsa Kaldea menduduki lembah Tigris-Efrat; setelah 2500 SM, bangsa Amarik dan Kana – termasuk bangsa Phoenisia menduduki wilayah Suriah; sedangkan orang Ibrani menetap di Palestina.