Mohon tunggu...
Muhammad UlinNuha
Muhammad UlinNuha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Olahragawan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesalahpahaman terhadap Eksploitasi Anak

5 Januari 2024   20:50 Diperbarui: 5 Januari 2024   20:54 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Eksploitasi anak merupakan penggunaan, penyalahgunaan, atau pemanfaatan anak-anak untuk keuntungan pribadi atau tujuan tertentu, yang dapat melibatkan eksploitasi seksual, ekonomi, atau bentuk lain yang merugikan kesejahteraan anak. Menurut Rahman, 2007 eksploitasi anak adalah sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Eksploitasi anak dapat dinyatakan ketika seseorang memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis, dan status sosialnya. Suatu permasalahan serius yang merugikan generasi muda di berbagai belahan dunia. Fenomena ini mencakup berbagai bentuk pelecehan fisik, psikologis, dan ekonomi terhadap anak-anak yang rentan. Tulisan ini bertujuan untuk mengajak masyarakat melihat kebenaran berdasarkan fakta yang ada.

Permasalahan yang saya bahas adalah sebuah kontroversi muncul dimedia sosial tentang kesalahpahaman saat beranggapan terhadap eksploitasi anak. Di era modern saat ini kesalahpahaman sangat banyak dan juga gampang muncul saat kita bermedia sosial. Kesalahpahaman dalam media sosial pada era saat ini sangat mudah terjadi karena berbagai faktor. contohnya, karena banyaknya informasi yang tersebar dengan cepat tanpa validasi yang memadai, banyak berita palsu atau disinformasi dapat menyebar luas sebelum kebenarannya dapat diverifikasi, serta banyak pengguna media sosial cenderung membaca hanya judul tanpa membaca seluruh konten, hal tersebut menyebabkan pemahaman yang dangkal dan salah. Selain itu, komunikasi sering kali terbatas pada karakter-karakter singkat, meninggalkan ruang untuk penafsiran yang keliru. Tidak adanya ekspresi wajah atau nada suara dalam komunikasi online juga dapat memicu kesalahpahaman.

Warga indonesia sebagai pengguna media sosial yang cukup tinggi mulai umur rata-rata 18-24 sebanyak 59%, usia 34-45 sebanyak 30%, 49% adalah wanita dan 51% dari pria (WeAreSosial 2019). Hal tersebut membuat tingkat kesalahpahaman dalam bermedia sosial sangatlah mudah dan banyak. Penyebaran informasi yang cepat mengakibatkan mudahnya suatu informasi disalahartikan yang membuat kesalahpahaman di antara pengguna. Terlebih lagi dengan adanya Filter Bubble dan algoritma personalitas juga mengakibatkan pengguna hanya terpapar pada sudut pandang yang belum tentu kebenarannya.

Kesalahpahaman yang sedang banyak dibicarakan saat ini adalah ketika seorang dokter yang mempunyai sebuah acara podcast kemudian mengundang seorang bocah yang viral karena bekerja sebagai pembuat sepatu bersama kakaknya. Dokter tersebut mengutarakan keprihatinan dan kekhawatiran terhadap situasi tersebut, merasa bahwa keterlibatan anak dalam pekerjaan tersebut dapat dianggap sebagai bentuk eksploitasi. Menurut sang dokter, seorang anak yang masih belia seharusnya memiliki hak untuk masa kanak-kanak yang dilindungi, dan keterlibatan dalam pekerjaan seharusnya lebih berorientasi pada pendidikan dan perkembangan mereka. Diskusi ini menciptakan perdebatan di kalangan pendengar podcast, dengan beberapa mendukung pandangan dokter sementara yang lain mencoba memahami dinamika keluarga dan konteks sosial yang mungkin memengaruhi keputusan tersebut.

Berbagai kesalahpahaman yang ada dalam konten media sosial dapat diatasi melalui beberapa solusi. Pertama, sangatlah penting untuk peningkatan literasi digital bagi masyarakat. Memberi edukasi secara berulang perlu dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang sumber informasi, verifikasi fakta, dan deteksi berita palsu. Kedua, platform media sosial harus menerapkan algoritma pemfilteran konten yang lebih canggih untuk mengurangi penyebaran informasi yang tidak benar atau menyesatkan. Pihak platform juga perlu memperketat kebijakan moderasi dan memberikan sanksi yang tegas bagi akun yang menyebarkan konten palsu. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, platform media sosial dapat memperkuat upaya bersama dalam menanggulangi kesalahpahaman. Akhirnya, mendukung budaya diskusi yang sehat di media sosial, mengedepankan dialog konstruktif dan empati, juga dapat membantu mengurangi kesalahpahaman serta membangun pemahaman yang lebih baik di antara pengguna media sosial.

Selanjtutnya, sebagai masyarakat kita harus dapat memilih, menentukan, dan menyaring konten mana yang baik kita tonton karena semakin berkembangnya teknologi semakin mudah juga seseorang dapat mengatur jalan pikiran orang lain. Kembali pada permasalan diatas, kita tidak bisa langsung menyalahkan kakak dari anak yang viral tersebut melainkan kita harus mencari tahu apa yang dimaksud dari eksploitasi anak apa saja contohnya, sebab mengapa anak tersebut ikut sang kakak bekerja, apakah dengan bekerja anak tersebut tidak ada waktu bermain seperti anak-anak pada umumnya bahkan kehilangan waktu belajar, apakah keputusan dari anak tersebut untuk ikut bekerja adalah pemaksaan dari sang kakak. Sebagai masyarakat kita tidak bisa langsung menelan mentah-mentah berita atau konten di media sosial, kita harus menjadi penonton yang aktif bahkan dapat berkontribusi untuk membenarkan permasalahan yang ada pada media sosial pada saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim, M. M., & Irawan, R. E. (2021). Pengaruh Konten Media Sosial terhadap Sumber Informasi Pandemi Covid-19. Jurnal Representamen, 7(2), 75-90.

M, S. (2018). Eksploitasi Anak Jalanan di Pantai Amahami Kota Bima. Jurnal Komunikasi dan Kebudayaan, 5(1), 88-100.

Mahdia, A. (2018). Pengaruh Konten Influencer di Media Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Remaja Akhir. Jurnal Ilmiah Psikologi, 11(2), 172-179.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun