Tepat hari ini, saya sudah mengganti laptop untuk yang ketiga kalinya. Pertama, laptop saya berbentuk besar dan berat. Itu kemaren banyak saya gunakan untuk pekerjaan di bangku kuliah S1. Kenangan, serta jerih payah penyusunan skripsi semua ada di sana. Dan yang jelas, laptop gemuk itu merupakan saksi pertama saya menulis karya tulis fiksi dan diterbitkan secara mandiri.Â
Kemudian, laptop itu juga sempat saya gunakan untuk di satu semester Pascasarjana. Tapi karena saya mulai merasa agak berat saat meggendongnya ke mana-mana, akhirnya saya memutuskan untuk membeli laptop baru. Maka terpilihlah netbok kecil bermerek Acer. Dari barang kecil dan ringan itulah banyak penulisan makalah dan beberapa penelitian mini yang saya buat sebagai bentuk respon dari tugas kuliah.Â
Tapi akhir-akhir ini, netbok yang lumayan banyak membantu saya itu tiba-tiba mengalami kendala pada performa baterai yang sudah tidak normal, yang bisa habis sendiri dayanya. Kembali aku mulai risi dengan keadaan yang menganggu ini. Padahal jika merujuk ke rencana awal, saya ingin sekali menyelesaikan tesis di netbok kecil itu. Tapi bak bertepuk sebelah tangan, akhirnnya aku terpaksa beralih ke PC yang sudah dulu aku beli satu tahun yang lalu.
Oleh karena keterbatasan PC untuk diangkut ke mana-mana, akhirnya saya memutuskan untuk kembali ingin membeli laptop baru saja, tapi  yang seken. Karena kehendak itu amat menggebu, dengan modal yang tak seberapa (namum bagi saya jumlahnya lumayan banyak), alhasil terbelilah netbok baru (tidak jadi seken karena milih produk asli Indonesia), dengan harga yang terjangkau dan kualitas tampilan standar.Â
Saya kira keyboard netbok ini sama enaknya dengan netbok terdahulu yang harganya agak mahalan sedikit ketimbang yang baru, namun ternyata netbok yang sedang aku gunakan untuk menulis saat ini, tak selentur netbok yang lalu. Tetapi tak mengapa, nanti juga terbiasa. Setidaknya saya bisa menggunakannya untuk mengetak-ngetik tulisan bebas di sini. Meski harus diakui, dalam proses penulisannya, saya merasa sedikit agak capek ketimbang biasanya.
Di antara sebab saya kembali membeli netbok adalah dorongan diri ingin melazimkan kegiatan menulis. Motivasi itu muncul ketika membaca buku-buku tentang kegiatan membaca dan kepenulisan. Buku-buku tersebut dibaca karena judul tesis yang saya usung berkaitan dengan literasi sekolah. Banyak insprasi yang saya dapatkan dari buku-buku tersebut. Oleh karena suntikan motiv itu, tiba-tiba rasa ingin menulis saya menjadi menggebu-gebu. "Saya ingin banyak berkarya, selagi saya masih bisa." Bisik saya dalam hati. But, Hingga saat ini saya masih merasa punya penyesalan yang lumayan mendalam. sebab dari tiga laptop dan satu buah PC yang saya miliki, saya cuman menghasilkan dua karya tulis yang resmi, yakni fiksi dan skripsi.Â
Maka dari itu, meski sarana menulis yang ada di depan mata tak sesempurna yang diharapkan imaji, saya akan tetap buktikan, bahwa dengan adanya netbok baru ini, produktifitas mencipta dan menghasilkan banyak karya tetap terpupuk dalam diri. Hari ini 'azzam itu sudah saya dawam-kan, Sebab saya tidak ingin tersulut kerugian lagi. Telah saya relakan uang jutaan rupiah untuk merealisaskian keinginan agar dapat tetap menulis di mana dan kapan saja.
Sungguh benar-benar rugi dan bangkrut jika seseorang membeli suatu barang, namun ia tak mampu menghasilkan keuntungan dari apa yang ia beli tersebut. Begitu juga dengan perkara laptop. Jika kamu memilikinya, jangan sampai kamu sia-siakan keberadaannya.Â
Coba kita lihat kaum intelktual masa lalu, sungguh sulit sekali upaya mendapat alat/sarana untuk menulis ide, gagasan, curahan hati mereka. Dahulu ada yang megukir di atas batu, mencelup pena ke air tinta, ada yang menggunakan pensil, bolpoin dan spidol. Semua itu masih murni dilakukan mereka dengan tulisan tangan saja.
Dibandingkan dengan beberapa abad belakangan. Tepatnya di sekitaran tahun  1868, seorang pria yang bernama Christopher Sholes akhirnya menemukan mesin ketik untuk memudahkan para penulis berkarya. Namun setelah berjalan berpuluh-puluh tahun, hadirlah alat berupa komputer yang gagasan awalnya dicetus oleh seorang ahli matematis yang bernama Charles Babbage, kemudian penemuan ini dikembangkan ditahun 1946, setahun pasca kemerdekaan yang bentuknya menyerupai tabung vakum. Nah, dari sini kegiatan menulis  nampaknya sudah mulai terasa lebih mudah.Â