Prostitusi merupakan fenomena yang sudah ada sejak lama di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Prostitusi di Indonesia bermula sejak zaman kerajaan-kerajaan Jawa yang menggunakan wanita sebagai bagian dari komoditas sistem feodal. Fenomena prostitusi hingga saat ini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan (Kartono, 2005: 266).
Bentuk dari prostitusi pada zaman kerajaan-kerajaan Jawa lebih bersifat soft, tidak seperti sekarang yang sudah menjadi rahasia umum, dimana setiap masyarakat dapat mempunyai akses ke dalam dunia prostitusi. Salah satu contoh praktik prostitusi pada zaman kerajaan dulu ialah ketika raja berkehendak, tidak ada yang bisa menghalangi, termasuk saat dia ingin mempersunting seorang istri di luar permaisuri atau selir.
Bahkan, banyak bangsawan yang ingin puterinya yang cantik dan memikat dijadikan selir seorang raja, karena dianggap sebagai penghormatan. Sistem praktik prostitusi ini dapat terjadi karena dalam pandangan budaya jawa, raja dianggap yang mempunyai tanah, hukum, dan keadilan.
Selain itu raja juga menjalin hubungan dengan perempuan lain di luar permaisuri dan selir yang biasa disebut dengan gundik. Pergundikan telah menjadi adat yang dianggap biasa oleh masyarakat pada masa itu.
Bahkan ketika Belanda datang dan menjadikan Indonesia sebagai daerah koloninya, sistem pergundikan pun masih berjalan. Hanya yang berbeda dari pergundikan ini ialah bukan raja melainkan tuan tanah yang biasanya direpresentasikan sebagai orang asli Belanda (Eropa) dengan perempuan Inlander (Harnawan, 2018).
Dengan riwayat prostitusi yang telah berlangsung selama berabad-abad dari periode sistem kerajaan sampai kolonial Belanda, maka ketika Indonesia telah merdeka dan berjalan hingga sejauh ini, prostitusi juga masih belum dapat dihapuskan dari kehidupan masyarakat.
Dewasa ini praktik prostitusi semakin terang-terangan, buktinya ialah adanya sebuah lokalisasi. Di Indonesia banyak sekali lokalisasi yang dikenal, mulai dari Sarkem di Yogyakarta, Sunan Kuning (Semarang), Saritem (Bandung), dan lokalisasi yang baru saja ditutup yaitu Dolly (Surabaya).
Sejarah Dan Perkembangan Dolly
Menurut Purnomo (1983), semula kawasan Dolly adalah pekuburan Tionghoa. Pada tahun 1967, Dolly Khavit, seorang perempuan yang konon bekas PSK membuka usaha pelacuran. Ia mengangkat mucikari dari Kampung Cemoro Sewu dan membangun wisma bernama Barbara. Setelah itu, muncul wisma lain dan akhirnya di awal tahun 1970-an perkampungan itu berubah nama menjadi Gang Dolly.
Semakin lama Gang Dolly semakin dikenal masyarakat. Kondisi tersebut kemudian berpengaruh pada kuantitas pengunjung dan jumlah PSK serta Dolly juga menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi penduduk di sana.
Ada lebih dari 800 wisma esek-esek, kafe dangdut, dan panti pijat plus. Setidaknya setiap malam sekitar 9.000 lebih penjaja cinta, pelacur di bawah umur, germo, dan ahli pijat siap menawarkan layanan kenikmatan kepada pengunjung. Bahkan seorang PSK dapat melayani 10 hingga 13 pelanggan dalam semalam (Retnaningsih. 2014).