Oleh: Muhammad Nurul Ulya Hasan*)
*) Penulis adalah Mahasiswa Program Magister Pascasarjana, Konsentrasi Filantropi Kebencanaan Dan Pembangunan Berkelanjutan, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Contact Person: +628562757730; Correspondense Email: hasanulya87@gmail.com
***
Natuna, sebuah pulau yang tenang yang kaya akan sumber daya alam dan terletak di perbatasan antara Laut China Selatan dan Laut Natuna Utara, telah menjadi subjek sengketa yang kompleks selama beberapa dekade terakhir. Pertanyaan mendasar yang terus menggema adalah, "Natuna sebenarnya milik siapa?"
Persoalan ini tentu saja tidak hanya terkait dengan klaim geografis, namun juga konflik geopolitik yang melibatkan negara-negara di kawasan tersebut. Pada intinya, klaim atas Natuna berkaitan dengan konsep yang dikenal sebagai "nine dash line" atau sembilan garis putus-putus yang merupakan garis pemisah yang digunakan Tiongkok untuk mengklaim wilayah Laut China Selatan yang dikeluarkan pada 2014 yang lalu dan digunakan oleh Republik Rakyat Tiongkok sebagai acuan untuk mengambil wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) negara Malaysia, Indonesia, Brunei, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.Â
Aksi saling klaim inilah yang memicu konflik berkepanjangan antara Tiongkok dengan negara-negara yang merasa memiliki hak atas wilayahnya berdasarkan penghitungan ZEE. Klaim Tiongkok tersebut tentu saja dilakukan untuk mendapatkan wilayah seluas-luasnya dan keuntungan sebesar-besarnya, karena Laut China Selatan sendiri adalah jalur perdagangan aktif dengan nilai US$5 triliun atau senilai 5x GDP (Gross Domestic Product) Indonesia. Selain itu, 50% lalu lintas kapal tanker minyak dunia juga melalui Laut China Selatan dengn muatan 3x lebih besar dari jumlah yang melewati Terusan Suez, juga 15x lebih besar dari jumlah yang transit di terusan Panama. Sangat menggiurkan, bukan?Â
Meskipun demikian, klaim Tiongkok tersebut jelas bertentangan dengan hukum internasional, terutama Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang menyatakan bahwa negara-negara memiliki hak-hak tertentu atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) berdasarkan jarak dari garis pantai mereka. Menurut UNCLOS, salah satu pulau yang diklaim Tiongkok, yaitu Pulau Natuna, secara jelas berada dalam ZEE Indonesia, yang secara resmi diakui oleh komunitas internasional, termasuk Tiongkok pada zamannya.Â
Namun, Tiongkok tetap bersikeras mengklaim bahwa sebagian besar Laut China Selatan, yang juga mencakup Natuna, tetap dianggap sebagai wilayahnya. Tiongkok telah menggunakan berbagai cara untuk menegakkan klaimnya, termasuk penempatan instalasi militer di pulau-pulau yang diklaimnya dan menegaskan kontrolnya melalui kegiatan kapal patroli dan eksploitasi sumber daya alam di wilayah tersebut.Â
Bagi Indonesia, mempertahankan Natuna bukan hanya masalah kedaulatan, tetapi juga tentang keamanan nasional dan ekonomi. Pulau ini merupakan bagian penting dari jalur pelayaran internasional yang vital dan memiliki potensi sumber daya alam yang besar, terutama dalam hal perikanan dan gas alam yang menjadi sumber penting bagi perekonomian Indonesia. Diperkirakan ada 0,3 miliar barel cadangan minyak ada di Natuna. Selain itu, juga ada 50 triliun Tcf cadangan gas alam dan 16 blok Migas di Natuna.
Untuk memperkuat kedaulatannya di Natuna, Indonesia telah meningkatkan kehadiran militer dan infrastruktur di pulau tersebut, dengan melaksanakan latihan perang gabungan bersama USA dan membangun pangkalan militer dengan dana Rp. 196 miliar untuk memperkuat keamanan militer disana, serta membeli teknologi dan peralatan militer dari Jepang. Indonesia juga menambah 2.000 personil prajurit dari Angkatan Darat, tambahan pesawat tempur untuk Angkatan Udara, meningkatkan tipe pengamanan, serta mengerahkan radar di pulau Natuna selama 24 jam. Langkah-langkah tersebut tentu saja bertujuan untuk menegaskan klaim Indonesia atas wilayah tersebut, menjaga kedaulatannya, dan untuk melindungi kepentingan nasionalnya di Laut China Selatan.Â
Selain langkah-langkah tersebut di atas, Indonesia juga telah memperjuangkan hak-haknya di forum internasional, termasuk ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) dan UNCLOS, untuk menegaskan klaim kedaulatannya atas Natuna secara diplomatik. Upaya ini dimaksudkan untuk membangun konsensus di antara negara-negara anggota dan memperoleh dukungan internasional dalam menyelesaikan sengketa wilayah di Laut China Selatan. Dengan demikian, Natuna tetap menjadi simbol penting dari kedaulatan Indonesia di tengah kompleksitas geopolitik di kawasan Laut China Selatan.