Oleh: Muhammad Al Zaid dan Syamsul Yakin
(Mahasiswa dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Fenomena dakwah radikal masih menjadi sorotan dalam perkembangan sosial-keagamaan di Indonesia. Paradigma dakwah radikal umumnya ditandai dengan klaim kebenaran, sikap istimewa, serta kecenderungan mengkafirkan kelompok yang berbeda pandangan.
Dakwah radikal sering kali mempersempit ruang agama, menjadikan ibadah sunnah seolah menjadi wajib, serta menolak metode dakwah yang moderat dan penuh hikmah sebagaimana dicontohkan Nabi. Di media sosial, kelompok ini sering menyebarkan konten yang bersifat menghakimi dan menimbulkan ketakutan.
Menurut beberapa kajian, penyebab munculnya paham radikal antara lain kapasitas pengetahuan agama yang dangkal, pemahaman teks agama secara tekstual, serta lemahnya wawasan sejarah. Kelompok ini juga cenderung mudah berprasangka buruk dan emosional dalam berdakwah.
Secara paradigmatik, dakwah radikal terbagi dalam dua pendekatan: paradigma tradisionalisme dan paradigma fundamentalisme. Paradigma pertama cenderung tekstual dan literal, sementara paradigma kedua mencerminkan sikap keras terhadap Barat dan penolakan terhadap sistem sekuler.
Pemikiran Bernard Lewis yang dijelaskan dalam buku ilmu dakwah karya Dr. Syamsul Yakin. M.A juga menyoroti bagaimana gerakan radikal kerap dikaitkan dengan Islam oleh media Barat, meski kenyataannya tidak mewakili ajaran Islam yang damai. Ia membandingkan hal ini dengan tindakan ekstremisme dari agama lain yang tak mendapat label serupa.
Dalam konteks media sosial, ekspresi dakwah radikal juga menunjukkan gejala takfiri (mudah mengkafirkan) dan ekstremisme, serta mengabaikan pendekatan inklusif yang dibutuhkan dalam dakwah modern.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI