Model pembuktian perdata ini bersandar pada prinsip prepondance of evidence, di mana kebenaran ditentukan oleh bukti yang lebih meyakinkan atau berbobot lebih berat, dan pihak yang mengklaim hak harus membuktikannya. Dalam konteks perampasan aset perdata ini, keyakinan hakim tidak diperlukan untuk menetapkan apakah suatu harta merupakan hasil tindak pidana, karena standar pembuktian telah digeser dari ranah pidana ke perdata.
Namun perlu diingat bahwa perampasan in rem ini tidak bertujuan menggantikan proses peradilan pidana terhadap pelaku kejahatan. Meskipun perampasan in rem dianggap lebih efektif, tidak disarankan untuk mengabaikan tuntutan pidana jika penegak hukum memiliki cukup bukti untuk itu. Terlebih lagi, upaya menanggulangi kejahatan harus tetap memanfaatkan sanksi hukum pidana serta perampasan aset hasil kejahatan.
Tantangan terbesar dalam mengenalkan hukum perampasan aset in rem melalui RUU Perampasan Aset adalah bagaimana menjelaskan pendekatan ini yang memisahkan aset hasil kejahatan dari pelaku kejahatan. Walaupun tidak dimaksudkan untuk mengabaikan proses pidana, perampasan in rem secara tegas memprioritaskan pengejaran harta kekayaan hasil kejahatan tanpa memedulikan identitas pelaku.Â
Ini bertujuan untuk mengembalikan kerugian akibat kejahatan dan meminimalkan pelanggaran hak asasi manusia, terutama dalam kasus korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), yang sering kali sulit dilacak dan dibuktikan bahwa harta tersebut berasal dari tindakan kriminal.
Referensi :
Nasional, B. P. H. (2012). Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana. Kementrian Hukum dan Hak Asasi manusia Republik Indonesia.
Cassella, S. D. (2008). The case for civil forfeiture: Why in Rem proceedings are an essential tool for recovering the proceeds of crime. Journal of Money Laundering Control, 11(1), 8-14.
Saputra, R. (2017). Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam RUU Perampasan Aset di Indonesia. Integritas: Jurnal Antikorupsi, 3(1), 115-130.
https://www.transparency.org/en/cpi/2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H