Mohon tunggu...
Muhammad Fauzan
Muhammad Fauzan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Blogger Pemula

Mahasiswa KPI IAIN Pekalongan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Teks Ujaran Kebencian (Hate Speech) di Media Sosial Pada Kalangan Mahasiswa

24 Desember 2021   20:02 Diperbarui: 24 Desember 2021   20:09 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam menghadapi era globalisasi informasi dan perkembangan teknologi akhir-akhir ini, dunia dihadapkan kepada cepatnya perkembangan arus informasi. Pemanfaatan alat-alat teknologi sebagai media penyampai kepada khalayak, sepertinya tidak dapat terbendung seperti halnya internet, yang menciptakan ruang public media sosial. Keberadaan ruang public di media sosial saat ini tidak hanya mampu mengubah pola komunikasi antar warga (netizen). Pada versi tertentu media sosial menjadi ruang public yang bersifat demokrasi siber (cyber democracy). Kebebasan mendapatkan informasi, dan ruang dialogis membuat setiap indvidu mampu mengambil keputusan. 

Selama ini dipahami banyak pihak, bahwa setiap kasus fenomenal yang menjadi viral dimedia sosial, ada pihak -- pihak tertentu yang diuntungkan dan dirugikan tergantung sudut pandang dari cara melihatnya. Idealnya semua media didudukan sebagai sebuah institusi independen dan demokratis. Dimana setiap kinerja operasionalnya selalu mengutamakan asas keseimbangan, praduga tak bersalah serta kebebasan berekspresi. Artinya kebebasan media bukan berarti absolute, tetapi berpijak pada kebebasan yang bertanggung jawab sesuai kode etiknya. Penyelenggara flatform media sosial umumnya tidak berdomisili di Indonesia, implikasinya ketika terjadi pelanggaran penggunaan ruang public seperti kasus teks ujaran kebencian ( hate speech ) yang bertautan dengan individu/kelompok/organisasi di Indonesia, menjadi sulit ditangani secara hukum.

Seharusnya jika tindakan pelanggaran hukum dilakukan di wilayah Indoenesia mereka yang melakukan wanprestasi, termasuk tindakan penyebar teks ujaran kebencian ( hate speech ) bisa dijerat dengan pasal dan ayat dalam perangkat hukum yang berlaku di Indonesia sebagai berikut ini:

"Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah" (KUHP, Pasal 156).

Seorang "memposting" teks ujaran kebencian (hate speech) di ruang public media sosial bukan tanpa makna. Sementara teks ujaran kebencian itu sendiri keberadaaannya tergantung dari jenis kalimat, tujuan, dan konteksnya. Ujaran kebencian (hate speech) sendiri adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual kewarganegaraan, agama dan lain-lain. Berbagai kajian teks ujaran kebencian (hate speech) di media sosial lebih dominan dimaknai untuk menyerang lawan, ketika terjadi perbedaan ideology, pandangan, dan kesenjangan sosial budaya di lingkup kelompok sosial tertentu, yang salah satu contohnya adalah pada mahasiswa.

Semakin besar tingkat pemposting mengekpose ujaran kebencian, semakin besar pula potensi mereka untuk menjatuhkan lawannya. Misi pembuat teks ujaran kebencian (hate speech) adalah penyampaian pesan (negative dan provokatif) kepada lawannya. Motifnya bisa berupa balas dendam terhadap objek tertentu yang dianggap sebagai lawannya. Di samping itu, fakta menyebutkan bahwa factor yang menyebabkan seorang mahasiswa melakukan ujaran kebencian (hate speech) dalam menyampaikan pendapatnya di dalam media sosial adalah diantaranya mahasiswa merasa ketidakadilan dalam berpendapat, tidak suka terhadap salah satu lawannya, tidak senang terhadap apa yang disampaikan atau dilakukan oleh lawan, konsep diri individu yang negative, pernah menjadi korban kemudian balas dendam atau justru kritisan pelaku terlalu berlebihan sehingga tidak berhati-hati dalam menyampaikan kritisannya yang menimbulkan perasaan menyinggung lawan.

Hampir semua aturan yang ada tidak membatasi setiap ungkapan kata yang keluar dari ujaran kebencian (hate speech) itu. Artinya variable yang digunakan untuk mengategorikan teks ujaran kebencian (hate speech) masih bisa diperdebatkan. Teks ujaran kebencian (hate speech) tidak semuanya bertendensi atas perasaan dendam yang dibuat oleh individu atau kelompok mahasiswa tertentu, tetapi juga banyak dipengaruhi oleh "rasa ketidaksukaan sesaat" dari individu terhadap objek tertentu, sehingga berujung pada penulisan teks ujaran kebencian (hate speech) diberbagai media, termasuk media sosial yang berdampak luas di masyarakat.

Contohnya kasus teks ujaran kebencian (hate speech) yang berdampak luas ketika aksi demonstrasi mahasiswa menolak RUU KUHP pada September 2019. Aksi itu muncul atas kebijakan pemerintah untuk merevisi UU KUHP yang isinya dirasa oleh mahasiswa dan masyarakat konyol dan tidak masuk akal. Hal ini menyulut mahasiswa untuk tegerak menolak RUU KUHP tersebut. Namun, ketika aksi tersebut berlangsung ada oknum tertentu yang memperkeruh keadaan dengan menyebarkan teks ujaran kebencian (hate speech) yang mengatasnamakan mahasiswa terhadap pemerintah. Padahal mahasiswa hanya ingin menyampaikan kritisannya terhadap kebijakan pemerintah tersebut dengan cara demokratis. Sayangnya aksi tersbut tercoreng oleh perbuatan oknum yang tak bertanggung jawab. 

Postingan isu bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech) di ruang public media sosial tersebut memicu aksi bentrok yang berujung pada penyerangan terhadap aparat keamanan. Kasus ini dapat dimaknai bahwa secara kualitatif hampir semua teks ujaran kebencian (hate speech) baik disengaja atau tidak, oleh pembuatnya lebih cenderung digunakan sebagai amunisi untuk menyerang kelemahan lawannya, daripada dikonstruksi sebagai wahana kritik di ruang public media sosial untuk memberikan pandangan positif terhadap pihak yang berselisih paham. Dampak yang ditimbulkan dalam penggunaan teks ujaran kebencian (hate speech) dikalangan mereka (mahasiswa) adalah diantaranya berpengaruh terhadap psikologi korban, menimbulkan perasaan menyinggung kepada lawan, tersebarnya virus kebencian, bahkan dapat menimbulkan konflik yang berdampak luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun