Mohon tunggu...
Muhammad RikiSadad
Muhammad RikiSadad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional

Mahasiswa Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kato Nan Ampek : Filsafah, Budaya, dan Kepunahan

14 Desember 2021   14:08 Diperbarui: 14 Desember 2021   14:16 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang terkenal dengan budaya dan adat istiadat yang kental. Msayarakat Minangkabau memiliki pepatah yang mengatakan alam takambang jadi guru yang bermakna jika alam yang terkembang dapat dijadikan sebagai unsur untuk dipelajari. Namun, hal tersebut juga diiringi dengan filosofi adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Yang mana hal tersebut bermakna jika adat yang ada harus selaras dengan ajaran agama Islam. Adat dan syari'at agama tersebut yang kemudian bercampur dan melahirkan aturan-aturan tata krama didalam Minangkabau yang biasa dikenal dengan kato nan ampek.

            Kato nan ampek merupakan aturan-aturan yang mengatur mengenai cara bersikap dan bertutur kata didalam masyarakat. Kato nan ampek mengatur bagaimana masyarakat Minangkabau bersikap terhadap seseorang yang lebih muda, tua, dan sepantaran. Didalam kato nan ampek  terdapat aturan yang disebut mandaki, mandata, malereang,, dan manurun. Kato mandaki merupakan bentuk aturan berkomunikasi dengan seseorang yang memiliki umur yang lebih tinggi dari kita, contohnya seperti berbicara kepada orang tua, guru, kakak, dan sebagainya. Kato malereang merupakan aturan berkomunikasi dengan orang yang dipandang lebih tua secara adat atau orang-orang yang dihormati, contohnya adalah seperti berbicara dengan datuak, meskipun memiliki umur yang lebih muda seorang datuak tetap lebih diutamakan dan ditinggikan satu ranting.  Kato mandata merupakan aturan Ketika akan berkomunikasi dengan seseorang yang sebaya, meskipun memiliki umur yang sebaya, masyarakat Minangkabau tetap melarang kata-kata yang dianggap merendahkan. Yang terakhir merupakan kato manurun, adalah aturan yang digunakan ketika akan berbicara kepada seseorang yang memiliki umur yang lebih muda, meskipun memiliki umur yang lebih muda, masyarakat Minangkabau tetap melarang penggunaan kata-kata yang dianggap menggurui dan merasa menjadi yang paling benar.

            Dengan aturan seperti ini, masyarakat Minangkabau diharapkan menjadi masyarakat yang beradab dan dipandang sebagai masyarakat dengan adab dan tata krama yang tinggi.  Seperti pepatah Minangkabau yang mengatakan anak nalayan mambaok cangkua, mananam ubi ditanah darek, baban saloyan dapek dipikua, budi saketek taraso barek. Hal ini bermakna jika beban berat masih dapat dipikul namun budi pekerti yang ringan akan sangat terasa berat. Hal tersebut menandakan jika masyarakat Minangkabau sangat menekankan budi pekerti baik. Hal inilah yang selalu dipegang oleh masyarakat Minangkabau dan menjadikan masyarakat Minangkabau sebagai salah satu suku yang terkenal dengan diplomasinya.

            Namun, pegangan kuat didalam kato nan ampek ini lama kelamaan mulai tergerus dengan perkembangan zaman. Perkembangan teknologi komunikasi menciptakan keadaan dimana komunikasi dapat diakukan tanpa batas dan tidak mengenal ruang dan waktu. Di satu sisi hal ini menjadi suatu hal yang positif karena komunikasi dapat terjadi lintas batas ruang dan waktu. Namun, di sisi lain hal ini akan menimbulkan distorsi budaya karena komunikasi yang luas juga bermakna tercampurnya budaya yang luas. Hal inilah yang kemudian menggerus budaya-budaya asli yang ada seperti salah satunya kato nan ampek. Masyarakat muda Minangkabau pada hari ini dapat dikatakan minim didalam menggunakan Bahasa yang sesuai dengan aturan kato nan ampek. Hal ini dikarenakan aturan-aturan tersebut menyebabkan Bahasa yang dipakai terkesan kaku dan tidak modern. Kehadiran aplikasi-aplikasi sosial media juga menyebabkan tergerusnya budaya-budaya tersebut dan diganntikan oleh hal-hal yang berbau kebarat-baratan dan dianggap lebih modern. Masyarakat muda pada masa sekarang tidak lagi takut untuk menggunakan kata-kata yang dianggap kurang pantas kepada sesama teman bahkan kepada orang yang lebih tua. Gaul menjadi salah satu bentuk pembenaran dari hilangnya tata krama dan kesopanan didalam cara berkomunikasi di Indonesia khususnya didalam masyarakat Minangkabau pada saat ini. Hal ini yang penting untuk diperhatikan oleh orang-orang Minangkabau termasuk pemerintah. Jika hal ini tidak mendapatkan perhatian, maka didalam beberapa waktu kedepan bukan menjadi hal yang mustahil jika budaya-budaya tata krama sopan santun akan menghilang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun