Mungkin hanya sedikit orang yang mengetahui bahwa di provinsi Jawa Barat, yakni di Kabupaten Cirebon, khususnya di Kecamatan Jamblang, Desa Sitiwinangun terdapat sebuah kerajinan gerabah unik yang sudah ada sejak zaman prasejarah hingga sekarang. Gerabah ini merupakan warisan dari leluhur Kerajaan Majapahit yang kini berkembang pesat di daerah Cirebon. Selain di Cirebon, gerabah juga terkenal di Yogyakarta, Pekalongan dan Bali. Motif dan keunikan gerabah khas Sitiwinangun banyak digandrungi pecinta seni di Indonesia dan negara di dunia. Maka tak heran jika gerabah ini banyak digemari para kolektor oleh-oleh antik dan artistik. Berkembangnya ekonomi mikro di Cirebon juga disebabkan oleh tingginya potensi usaha kerajinan gerabah. Walaupun hanya dibuat dengan tanah liat, kerajinan ini mempunyai nilai fungsional dan estetika yang tinggi.
Bapak Kadmiya merupakan Kepala Dusun Kebagusan sekaligus pengerajin gerabah di desa Sitiwinangun. Pak Kadmiya sendiri merupakan generasi ke-13 pengrajin gerabah di keluarganya yang meneruskan usaha gerabah secara turun temurun. Bermodalkan 500 ribu untuk membeli bahan dan alat, Pak Kadmiya beserta 3 karyawannya behasil membangun usahanya yang telah berjalan dari tahun 2009 hingga saat ini. Beliau bercerita pada jaman dahulu terdapat ritual dimana sebelum membuat gerabah harus terlebih dahulu mengelilingi kuburan ki jagabayan. Hal ini diperuntukan sebagai syarat sebelum membuat gerabah.
Pembuatan gerabah melibatkan proses yang sangat khusus tergantung pada jenis tanah yang digunakan. Tanah liat dari sawah bisa dimatangkan hingga suhu 800-900 derajat, sedangkan tanah yang diambil dari pegunungan memerlukan suhu yang lebih tinggi panasnya agar hasilnya maksimal. Perlu diketahui tanah yang berwarna putih, merah dan hitam akan mengalami perubahan warna saat dibakar, kecuali terdapat kaulin warna putih untuk menahan gerabah agar tetap kuat saat dibakar. Penggunaan tanah dari pegunungan seringkali dianggap lebih baik meskipun lebih mahal, namun penggunaan tanah dari sawah jauh lebih terjangkau dan kualitasnya juga tidak kalah bagus dari tanah pegunungan.
Pembuatan gerabah memerlukan konsentrasi, ketelitian dan kehati-hatian yang tinggi karena kualitas gerabah ditentukan oleh keahlian tangan yang membuatnya, bukan sekedar dari pikiran. Kerusakan atau retakan biasanya terjadi diawal proses pembuatan dikarenakan bahan atau proses pengeringan yang kurang maksimal. Oleh karena itu, dalam pengolahan bahan harus benar-benar tercampur dengan baik. Jika belum tercampur rata maka hasil yang didapat kurang maksimal.
Terdapat 2 proses pembakaran yaitu pembakaran tradisional yang memerlukan waktu 1 jam dan pembakaran modern memerlukan waktu selama 3 jam. Jika bahan baku pembakaran yang berbeda seperti kayu atau karet, pembakaran dapat menghasilkan lebih banyak asap. Oleh karena itu, Pak Kadmiya mencoba membuat pembakaran yang aman di masyarakat.
Oleh: Mahasiswa Manajemen 3G Universitas Swadaya Gunung Jati (TA 2023/2024)Â
Dosen Pengampu: Dr. Editya Nurdiana, SE., M.M.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H