Mohon tunggu...
Muhammad Arif Rahman
Muhammad Arif Rahman Mohon Tunggu... -

I am a freeman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan Disunat, Haruskah?

22 November 2010   16:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:23 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sunat bagi perempuan mengundang kontroversi karena hal itu oleh sebagian
kalangan dinilai melanggar hak reproduksi wanita. Namun tidak sedikit yang
mendukung sepanjang dilakukan dengan benar dan aman.

Praktik sunat perempuan sudah begitu berakar pada sekelompok masyarakat
tertentu di Indonesia yang tujuan utamanya untuk mengontrol dorongan
seksual. Dengan cara memotong sebagian atau seluruh klitoris dan labia minor
alat kelamin wanita.

Jika boleh dikata, sunat pada perempuan sangat tidak jelas tentang apa yang
harus dikerjakan, sehingga mengundang berbagai interpretasi mulai dari
tindakan yang radikal sampai tindakan yang hanya simbolis seperti mengusap
dengan kunyit alat kelamin wanita atau disebut memotong jengger ayam.

Memang ada anggapan, kotoran yang menempel pada klitoris dapat membuat
libido seks perempuan tidak terkendali. Padahal, praktik sunat tersebut
tidak hanya membahayakan kesehatan perempuan tetapi juga merupakan
'penyiksaan' secara fisik dan psikis seksual pada mereka.

Kebanyakan kaum feminis menolak sunat perempuan, pasalnya hukum pijakan
dalam Al-Quran, menurut mereka, tidak jelas. Mereka juga berpedoman bahwa
sunat perempuan seperti di Afrika, yang dilakukan dengan cara memotong atau
menggunting seluruh klitoris, bahkan menjahit bibir besarnya dan hanya
menyisakan sedikit lubang untuk buang air kecil, merupakan bentuk
'penyiksaan'.

Dengan demikian akibat sunat tersebut sering membuat mereka kehabisan darah,
infeksi, infertil, terkena penyakit pembengkakan, sakit saat melahirkan dan
tidak bisa mengontrol buang air kecil.

Proses sunat seperti ini, menurut kaum feminis, akan menghilangkan
rangsangan seksual pada perempuan atau bahkan perempuan tersebut tidak dapat
menikmati kehidupan seksualnya. Karena itu kaum feminis memvonis bahwa sunat
perempuan melanggar hak reproduksi kaum perempuan.

Karena itu konferensi dunia tentang Hak Azasi Manusia (HAM) pada 1993,
Konferensi Internasional Penduduk dan Pembangunan (ICPD) pada 1994 dan
Konferensi Dunia untuk Perempuan di Beijing pada 1995 secara tegas menolak
adanya Female Genital Mutilation (FGM) atau sunat perempuan.

Menurut perkiraan PBB, sekitar 28 juta perempuan Nigeria, 24 juta perempuan
Mesir, 23 juta perempuan Ethiopia, dan 12 juta perempuan Sudan, dengan
sangat terpaksa telah menjalani sunat ini.

Namun, dari sekian banyak kaum feminis yang menolak, ada juga dari golongan
feminis yang bergerak dalam badan PBB kantor Representatif Jakarta untuk
wilayah Asia dan Pasifik, Erna Witoelar yang setuju dengan adanya sunat
perempuan.

"Saya setuju dengan adanya sunat perempuan asalkan itu dilakukan dengan baik
dan tidak membahayakan perempuan yang disunat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun