“Kita membutuhkan alasan untuk hidup, agar suatu saat kita mati, kita tidak mendapatkan kematian yang tanpa alasan; mati asal-asalan.”
Ide revolusi mental yang disampaikan Presiden Jokowi, merupakan ide terbaik yang pernah disampaikan seorang pemimpin Indonesia, tatkala melihat kondisi saat ini dan perlunya mengambil ancang untuk mengarahkan haluan bangsa ini di masa depan. Jika ide ini ditindak lanjuti dengan sungguh-sungguh dan menjadi spirit dari semua program pemerintah, maka tidak tanggung-tanggung, Indonesia satu abad, akan menjadi Indonesia yang besar, penerus kepemimpinan peradaban dunia.
Mental menjadi penting bagi pembangunan bangsa, dan menentukan sekali bagaimana bangsa ini bisa menjadi besar. Segalanya dimulai dari pikiran, dari mentalitas. Jika mental bangsa ini masih seperti sekarang, kita akan terus menerus tertatih, bongkar pasang, dan selalu saja menggantungkan nasib kita kepada sosok setengah dewa.
Saat ini, watak korup telah ikut bertransformasi, telah ikut mengalami reformasi. Semua bentuk penyembunyian fakta dan informasi, perekayasaan berita, atau bahkan manipulasi kebenaran, yang berlandaskan kepentingan—bukan kebijaksanaan—adalah bentuk korup. Saat ini, korupsi tidak hanya soal pencurian uang negara, bahkan kasus yang direka demi tujuan politik pun adalah bentuk korup yang paling hakiki.
Mental korup, artinya program tidak terinstal secara sempurna. Suatu saat ada potensi untuk error atau bahkan nge-hang.
Mental semacam itu yang melahirkan watak pragmatis, hipokrit, permisif, reaktif, mudah pesimis, tidak menghargai proses, curang, culas, sengkuni dan akhirnya yang terpenting adalah kesan dan pencitraan. Bahkan dalam perwujudannya seringkali menghalalkan segala cara, dari yang paling halus sampai yang brutal, dari jalan yang nyata hingga jalan ghaib yang irrasonal.
Persoalan Mendasar
Pertama, bahwa Indonesia merupakan sebuah konsensus politik dan belum menjadi entitas kebudayaan, harus disadari semua pihak. Ide NKRI baru sebatas ikatan idealisme yang belum menjadi tubuh bangsa yang solid. Orang dengan mudah mengidentifikasi kebudayaan Jawa, Minang, Batak, Bugis, dan Papua. Akan tetapi, kita kesulitan untuk merujuk Indonesia, kecuali telunjuk kita pasti akan tertuju pada salah satu etnis dan suku di Indonesia. Proses kesatuan budaya sebagai totalitas bangsa, yakni budaya Indonesia, dapat dikatakan tidak ada. Saat ini, kebudayaan kita adalah percampuran amburadul, dari kebudayaan modern (yang hanya diambil permukaannya saja, bukan pemikiran dan intelektualitasnya, apalagi sains dan teknologinya) dengan budaya-budaya dunia seperti China, India, Korea, Jepang, dan Timur Tengah. Serak-serak kebudayaan daerah mencoba muncul akhir-akhir ini, itu pun masih sebatas produk budaya yang terlihat, belum sampai filosofi yang mendalam (kita memakai batik, asal pakai, tanpa tahu makna dan arti coraknya).
Anak-anak muda kita begitu ‘kenes’ dengan budaya-budaya luar; ada yang bergaya korea, ada yang kearab-araban (terkadang disertai sentimen religiositas), dan sekarang yang sedang marak, adalah ramai-ramai bergaya India. Apakah salah? Tentu hal ini bukan dalam domain benar dan salah. Namun, ketika kita ingin menjadikan kehidupan kita bermakna, kita harus menjadi diri kita sendiri. Modal kebermaknaan itulah yang diperlukan untuk membangun bangsa ini menjadi besar. Apakah menjadi besar itu penting? Jika kita masih gamang menjawab pertanyaan ini, maka menjadi terbukti bahwa memang mental kebangsaan kita sedang dalam kondisi kritis.
Kedua, Pancasila baru sebatas simbol, belum menjadi sebuah filsafat bangsa yang mengakar kuat. Pancasila baru bisa menjadi perekat dan identifikasi keindonesiaan, manakala ia berhasil menjadi isme, sebagaimana orang India dengan Hinduisme-nya, atau orang China dengan Konfusianisme. Pancasila harus dikaji dan dijabarkan dalamsistem pemikiran filsafat yang mandiri, bukan eklektisme atau percampuran kreatif dari ideologi-ideologi besar dunia.
Kemudian, ia harus berhasil menjadi ajaran dasar, dari keseluruhan tata nilai dan norma dalam setiap sendi kehidupan bangsa dan masyarakatnya. Ini membutuhkan waktu, dan tidak ada kata terlambat untuk memulainya dari sekarang. Penataran P4 pada jaman orde baru, meskipun sangat tidak ideal, dan politis, masih jauh lebih baik daripada tidak sama sekali. Dengan Pancasila sebagai isme, kita akan mewariskan spirit yang kuat bagi generasi penerus. Betapapun gempuran hebat yang kita terima, kita akan tetap bisa bertahan dengan adanya spirit tersebut. Sebagaimana seseorang yang memiliki karakter dan spirit yang kuat dalam dirinya, ia akan bertahan dalam kondisi apa pun. Karena ia memiliki alasan, kenapa ia harus ada, kenapa ia mesti hidup. Kita membutuhkan alasan untuk hidup, agar suatu saat kita mati, kita tidak mendapatkan kematian yang tanpa alasan; mati asal-asalan.
Bangsa ini juga harus memiliki alasan untuk keberadaannya. Dan alasan itu berdasar pada spirit serta falsafahnya, yakni pancasila. Kita akan kesulitan merumuskan kebudayaan nasional, jika yang kita lihat adalah ragam budayanya, bukan spiritnya. Sementara gempuran kebudayaan dari luar, sangat kencang, dan menjadikan generasi muda kita terkoyak, hilang keindonesiaannya. Orang-orang tua kita masih larut dalam kenangan kedaerahan, yang mencoba tetap tegar mesti terengah.
Dengan memberikan perhatian kepada terwujudnya kesatuan budaya, bernama Indonesia, kita akan menyelesaikan tahap pertama untuk menjadi bangsa yang besar. Setelah alasan kita temukan, makna kita peroleh, kita akan mampu bergerak dengan tepat ke sasaran. Perahu keindonesiaan kita akan melaju dengan mantap mengarungi samudra dan memimpin peradaban dunia selanjutnya.
Agenda
Kita memerlukan agenda kebudayaan yang segera dilakukan, dan dirumuskan secara canggih, dalam rangka tajuk besar revolusi mental. Kita memerlukan lembaga kebudayaan, yang bertugas menginvetarisir semua kekayaan kebudayaan. Kita juga perlu membentuk dewan budayawan yang secara aktif mengorganisasikan para budayawan dalam melakukan kerja-kerja kebudayaan yang lebih masif, terarah, dan berkelanjutan. Lembaga dan dewan tersebut bisa dikatakan semacam KPK, untuk melakukan pencegahan, dan pemberantasan korupsi mental, atau korupsi karakter, sekaligus melakukan pembinaan kebudayaan menuju kesatuan budaya nasional Indonesia.
Sasaran agenda kebudayaan adalah pembinaan generasi muda, pembinaan wanita, pembinaan masyarakat desa, pembinaan masyarakat profesi, serta kerjasama pelaku media masa.
Generasi muda kita mesti kita instal dengan pancasila. Dari sejak pendidikan dasar, pancasila mesti menjadi ruh dari setiap pengajaran. Generasi muda kita mesti fasih menjabarkan makna pancasila sebagai filsafat kehidupan, dengan bahasa Indonesia yang baik, benar, dan bercita rasa sastra. Tidak hanya fasih menjabarkan makna, mereka juga benar-benar mengamalkan dalam kehidupan keseharian, dan menjadikannya rujukan dalam setiap ucapan, tindakan, dan keputusannya. Begitulah, maka tawuran, kenakalan, miras oplosan, geng motor, gen alay, dan wujud-wujud rendah lainnya akan secara bertahap berkurang. Semua ilmu dan kurikulum yang ada dalam sistem pendidikan kita, mesti berangkat dari Pancasilaisme. Bukan tidak mungkin, kita membuat tradisi keilmuan dan intelektual yang khas Indonesia—yang berangkat dari Pancasilaisme.
Ketika mereka akan mendapatkan KTP, maka mereka mesti lulus Pendidikan Wajib Militer selama satu tahun yang bertujuan membentuk dan menguji watak ksatria serta seberapa sukses pancasila telah terinstal dalam jiwa mereka. Mereka harus lebih fasih berbahasa Indonesia, daripada bahasa yang lainnya. Mereka mesti paham dan hafal, tokoh-tokoh kesusastraan Indonesia dan karya-karyanya. Bacaan-bacaan mereka harus didominasi karya-karya penulis Indonesia yang telah terstandarisasi oleh Pusat Bahasa, yakni bahasa yang baik, benar, dan bercita rasa sastra.
Para wanita mesti mendapatkan pembinaan mengenai peran dan kodratnya sebagai wanita Indonesia yang akan menjadi tulang punggung pendidikan anak-anak. Merekalah yang akan mengajarkan pancasila sejak dari dalam kandungan. Dan dari merekalah akan lahir ksatria dan pemimpin bangsa. Mereka harus dikaryakan sedemikian rupa sehingga mampu menjadi pendidik anak-anak muda, aktivis sosial, pemandu para lansia, penyuluh di pedesaan dan daerah tertinggal. Mereka adalah ibu-ibu terbaik, perempuan-perempuan terbaik yang pernah ada di suatu bangsa di dunia. Sehingga, mereka tidak perlu menyeka air mata batin mereka di lokalisasi pelacuran, dan peluhnya tidak akan menetes di tempat yang merendahkan kemuliaan mereka.
Masyarakat di pedesaan mesti mendapatkan akses terhadap buku bacaan, informasi, dan pengetahuan. Perpustakaan dan warnet seharusnya bisa dibangun di setiap desa. Lembaga seperti PKK, Karang Taruna, dan Perkumpulan Rukun Tetangga, mesti dihidupkan dengan aktivitas yang lebih berkualitas dan bermanfaat, tidak melulu seremonial dan sekedar pengisi waktu. Kesadaran intelektual, kegiatan bersastra seperti malam pembacaan puisi dan pertunjukkan drama, serta budaya bedah buku, bisa menjadi agenda yang menjadi prioritas. Dengan intelektual yang mulai terbangun, masyarakat di pedesaan akan memiliki pola pikir yang maju, tidak mudah terhasut, tidak mudah terpengaruh, dan mampu membimbing generasi mudanya dengan lebih baik. Dengan kegiatan kebudayaan yang massif di desa-desa, akan membangun kesadaran generasi mudanya dalam membangun desa, terjun ke sawah dan ladang, membudi dayakan peternakan, dan berkreasi dengan membangun usaha kerajinan khas daerah. Anak-anak muda tidak akan ‘kabur’ ke kota, yang mengakibatkan krisis generasi petani dan peladang.
Masyarakat profesi, yang merupakan kelas menengah, memegang peranan yang paling signifikan dalam pembentukan kebudayaan nasional. Merekalah penggerak pertama dari berputarnya roda sebuah bangsa. Oleh karena itu, pembinaan masyarakat profesi menjadi pelaku dan promotor kebudayaan yang aktif, menjadi prioritas yang utama. Para guru, dosen, polisi, tentara, dokter, pengacara, pebisnis, jurnalis, aktivis LSM, pegawai negeri, karyawan swasta, artis dan pekerja profesi lainnya merupakan agen-agen kebudayaan yang akan memengaruhi kelas bawah, sekaligus mengguncang gerak kelas di atasnya. Kesadaran budaya di kelas ini akan mengembangkan kesadaran budaya pada kelas yang lainnya.
Di atas semua itu, peranan media, baik cetak maupun siar, harus selalu mendukung sepenuhnya terhadap gerakan kebudayaan. Film-film tentang sejarah nusantara, program talkshow budaya, bincang budayawan, acara show pembacaan puisi oleh para sastrawan Indonesia, kolom sastra dan budaya yang terbit setiap hari, dan segala hal yang mendukung kemajuan budaya Indonesia semestinya bisa dilakukan oleh para pelaku media. Tayangan, publikasi dan bacaan yang memberikan nutrisi bagi tumbuhnya kualitas akal sehat dan terasahnya nurani harus mengepung masyarakat, pada pagi, siang, sore, hingga malam. Semua pihak harus ikut andil dalam revolusi mental.
Pemerintah mampu melakukan itu semua. Kekuasaan dan anggaran yang ada lebih dari cukup untuk mengagendakan itu semua selama lima tahun. Dalam tiga tahun, akan ada perubahan yang cukup mengagumkan pada pola pikir, mentalitas, cita rasa dan selera masyarakat. Dan program-program yang lain seperti kartu pintar dan kartu sehat, ekonomi kreatif, dan sebagainya akan berjalan dengan lancar dan menunjukkan kemanfaatan yang berlipat ganda.
Dengan demikian, revolusi mental akan benar-benar terjadi di Indonesia. Pemerintah yang sekarang akan mencatatkan namanya dalam sejarah Indonesia yang gemilang, sebagai peletak pertama kebijakan yang mendukung peradaban Indonesia yang besar di masa depan. Saatnya membuat torehan yang berbeda. Kerja, kerja, kerja. Kerja kebudayaan, kerja peradaban, dan kerja sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H