Pulau ini merupakan salah satu daerah dengan sumber daya alam yang melimpah ruah. Lautan yang menyimpan berbagai jenis ikan dan terumbuh karang yang begitu memanjakan mata, daratan yang memiliki pepohonan serta mineral-mineral (emas,tembaga, besi, nikel, minyak bumi dan juga uranium), begitu pula kekayaan budaya yang dimiliki dengan sekitar tiga ratus suku bangsa yang ada. Semuanya menunjukan bagaimana pulau Papua sebagai surga bagi masyarakat Papua yang juga sering disebut sebagai Mother Of Land.
Bertemu seorang bocah di daerah pedalaman Tanah Papua yang fasih berbicara bahasa Melayu mungkin tidak lagi langka seperti di tahun 1950-1970-an. Saat itu anak-anak pedalaman Papua, bahkan orang dewasa sekalipun belum terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Melayu atau yang sekarang dikenal luas sebagai bahasa Indonesia. Di Tanah Papua kita kenal dengan bahasa Melayu-Papua. Suara mereka terbata-bata bila mengeja kata demi kata atau kalimat dalam bahasa Indonesia. Layaknya orang asing atau balita yang mulai belajar bertutur. Sebab penggunaan bahasa daerah masih kental kala itu.(Julian Howay,2013).
Tapi itu dulu. Bagi orang luar yang saat ini menetap di ujung timur wilayah Nusantara yang kaya sumber daya alam ini, kesan yang muncul adalah bahasa Indonesia sudah menggema di hampir seantero negeri ini. Mulai dari wilayah pesisir, dataran rendah, dataran tinggi maupun wilayah yang terisolasi oleh luasnya hutan belantara, hingga kawasan Pegunungan Tengah Papua. Tak hanya itu, sebagai ‘lingua franca’ bahasa Indonesia kini menjadi bahasa pergaulan yang efektif diantara berbagai suku di wilayah ini. Bahkan pengaruhnya hampir menggeser penggunaan bahasa-bahasa lokal di Papua.
Hal ini dikarenakan di beberapa bagian wilayah di Papua, jika ada suku dan “fam”(marga) yang berbeda maka mereka memiliki bahasa yang berbeda pula. Awalnya saya tidak percaya dengan hal ini, tetapi ketika saya pergi beberapa kali ke daerah Ayamaru di Papua Barat, dan menayakan hal ini kepada penduduk asli di sana, mereka membenarkan hal itu. Mereka menjelaskan itu karena faktor wilayah di Papua yang bergunung-gunung dan dulu masih terisolasi oleh luasnya hutan belantara. Itu membuat banyak sekali bahasa daerah yang berkembang dan membuat Papua termasuk daerah yang memiliki “bahasa ibu” terbanyak di Indonesia.
Mengenai keragaman bahasa lokal di tanah Papua, lembaga misi dan penelitian bahasa AS, Summer Institute of Linguistic International (SIL) mencatat sedikitnya ada 312 suku asli dengan bahasa lokalnya. Keberagaman suku asli ini ternyata tak hanya dimiliki Papua Barat. Di wilayah timur pulau Papua yang saat ini menjadi negara tetangga Papua New Guinea (PNG), juga memiliki sekitar 875 suku asli dengan bahasa lokalnya. Tak heran jika Papua New Guinea dikenal sebagai negara dengan penduduk paling beragam di dunia. Rakyat PNG dipersatukan oleh bahasa pengantar ‘Inggris Pidjin (tok pidjin)’. Bahasa ini telah menjadi bahasa resmi negara ini sejak merdeka dari Inggris tahun 1978.
Kekawatiran mengenai bakal punahnya beberapa bahasa orang Papua bukan tanpa alasan. Menyusul temuan para peneliti bahwa ada sejumlah bahasa lokal kini makin jarang digunakan, bahkan ada yang telah memasuki fase kepunahan. Beberapa diantaranya dapat disebutkan seperti bahasa Tandinia, Dusner dan Mansin yang berasal dari wilayah pesisir Teluk Cenderawasih. Sayangnya, satu-dua bahasa lokal di wilayah Tabi pun dikabarkan telah memasuki fase yang sangat mengkawatirkan. (Julian Howay,2013).
Hal itu selain disebabkan oleh interaksi sosial yang menekankan penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat kita yang heterogen, juga disebabkan faktor perkawinan campur hingga tuntutan pembangunan yang mendorong migrasi spontan dari luar sehingga menyebabkan pergeseran penduduk lokal dan identitasnya. Dampak globalisasi dan modernisme yang mengarah pada peniruan budaya luar, terlebih budaya barat. Pada sisi lain, ini telah menjadi ‘wabah’ yang menyebabkan generasi muda Papua merasa minder menggunakan bahasa ibunya sendiri.
Tendensi pergeseran bahasa lokal orang Papua memang patut diwaspadai dengan terus dilestarikan penggunaannya oleh penutur aslinya. Disamping perlu ada pendokumentasian tertulis dalam bentuk kamus, tata bahasa (grammar) atau karya ilmiah lainnya. Pemerintah Daerah juga perlu mendorong pengajaran bahasa daerah melalui kurikulum muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah. Sebab bahasa daerah merupakan karunia Tuhan. Hilangnya bahasa daerah berarti hilangnya identitas budaya dan jati diri sebagai bangsa.
Secara umum, keberagaman suku asli dan bahasa di pulau Papua sangat ditentukan oleh perbedaan topografi wilayah. Hal ini ikut membentuk keragaman tipe kebudayaan dan identitas masyarakat lokal yang di dalamnya termasuk bahasa. Soal Papua Barat, heterogenitas suku di wilayah ini juga makin kompleks lewat kehadiran berbagai suku dari daerah lain. Dimulai sejak proses pengintegrasian wilayah Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia pada 1963 silam.
Kehadiran suku-suku bukan Papua (non Papua) dalam terminologi polarisasi etnis, oleh orang Papua dipandang sebagai masyarakat pendatang. Atau sebutan “amber atau orang amberi,” istilah serapan dalam bahasa Biak (Byak) yang sering digunakan orang Papua untuk menyebut mereka yang bukan orang asli Papua.
Dalam hal persebaran penduduk, suku-suku non Papua ikut mendiami wilayah perkotaan hingga pelosok-pelosok terpencil Tanah Papua. Keberagaman ini lantas mengistimewakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam berbagai aspek. Ini dimulai dari pendidikan formal, interaksi sosial-politik, ekonomi-bisnis, perdagangan, pariwisata, budaya, keagamaan dan sebagainya.
Tingginya intensitas penggunaan bahasa Indonesia pada masyarakat Papua dan potensinya yang bisa menggeser penggunaan bahasa-bahasa lokal memang sudah tak terbendung lagi. Namun perlu di perhatikan pula, dampak positif dari penggunaan bahasa Melayu-Indonesia yang juga patut diapresiasi. Misalnya, bahasa Indonesia telah membantu proses adaptasi dan interaksi antar suku-suku di Papua maupun antara orang Papua dengan suku-suku yang berasal dari luar.
Uniknya, penggunaan bahasa Indonesia di daerah ini lambat laun diperkaya dengan beragam kosakata bahasa Melayu Papua dan nuansa logat khasnya. Inilah yang menjadi semacam ‘tanda pengenal’ untuk mendeteksi mereka yang baru menginjakan kaki di Papua dengan mereka yang sudah lama menetap. Yang terpenting lagi, penggunaan bahasa Indonesia telah menjadi media transfer ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan peradaban penduduk asli Papua.
Hasilnya sulit dibantah bahwa orang Papua kini menjadi satu entitas masyarakat yang paling aktif bertutur bahasa Indonesia sehari-hari ketimbang penduduk di provinsi lain di negara ini. Sebagai contoh, jika kita mengunjungi daerah-daerah pedalaman di pulau Sulawesi, Jawa, Sumatera, Kalimantan, pulau Timor, pulau Bali, dan lain-lain, mayoritas masyarakat aslinya masih aktif bertutur bahasa daerahnya dalam percakapan sehari-hari.
Hal itu menyebabkan banyak dari mereka yang tidak fasih, atau bahkan sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia. Sebagai masyarakat pencinta bahasa Melayu-Indonesia, realita demikian tentu sangat disayangkan. Sebab hal ini akan menyulitkan penduduk dari daerah lain yang hendak berinteraksi dengan mereka. Lagipula Pemerintah sejak jaman orde baru sudah mengkampanyekan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar disamping pelestarian bahasa daerah.
Kenyataan tersebut malah terbalik jika kita berada di Tanah Papua. Di kampung-kampung terjauh yang dihuni masyarakat asli sekalipun, bisa dijumpai bocah-bocah kecil dengan riang bermain sambil bertutur bahasa lokal bercampur bahasa Indonesia. Demikian pula orang dewasa. Dalam percakapan sehar-hari, mereka tetap menggunakan bahasa Indonesia meski aktif bertutur bahasa ibu (bahasa daerah). Jika mereka beretemu orang luar yang menjadi lawan bicara, mereka pasti akan gampang menyesuaikan penggunaan bahasa Indonesia dalam percakapan.
Menggemanya bahasa Indonesia di seantero Tanah Papua mungkin saja menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang Papua. Saya pribadi sebelum datang ke Papua berfikir akan menemui kendala dalam berkomunikasi dengan orang Papua, karena masyarakat Papua umumnya belum biasa berbahasa Indonesia. Tetapi semua pemikiran itu berubah ketika saya menginjakan kaki pertama kali di tanah Papua. Saya menyadari bahwa masyarakat asli di sini sudah sangat akrab dengan Bahasa Indonesia bahkan sampai di daerah yang terpencil.
Tidak hanya itu. Keterbatasan informasi tentang Papua membuat saya dulu masih berfikir bahwa orang Papua masih sangat terbelakang seperti di era 1960-an. Kini anggapan itu telah sirna diterpa pengalaman dan perjalanan waktu. Setelah beberapa tahun berada di Tanah Papua, saya justru kagum melihat anak-anak hingga kaum lanjut usia di daerah pedalaman Papua fasih berbahasa Indonesia, meski disertai logat yang kental. Yang membuat Papua memiliki logat bahasa Indonesia yang menjadi ciri khas. Seperti kalimat “sa pi main bola” memiliki makna saya mau pergi main sepak bola bukan hewan sapi sedang main bola. Memang akan terdengar agak aneh bagi yang pertama kali mendengar logat papua, tetapi dengan sedikit adaptasi kita akan mudah untuk memahaminya.
Lantas, apakah ini suatu cerminan umum bahwa masyarakat kita telah ‘terjebak’ diantara tuntutan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu atau pelestarian bahasa daerah? Entahlah, Masalah seperti ini kembali lagi pada prespektif masing-masing dalam menyikapinya. Marilah kita kembaikan pada definisi bahwa Bahasa adalah media komunikasi lisan antar manusia melalui bunyi suara yang terucap dari mulut. Bahasa merupakan hasil pemaknaan atas kondisi alam sekitar (lingkungan alam), relasi sosial manusia, keadaan metafisis dan dalam kaitan dengan sang pencipta (Tuhan). Dengan begitu, kedudukan setiap bahasa di muka bumi adalah sama. Tidak ada bahasa manapun yang kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Walaupun dalam relasi antar manusia yang terdiri dari berbagai ras dan suku-bangsa, penggunaan satu bahasa dengan yang lain memiliki keistimewaan tersendiri.
Jadi pada dasarnya kedudukan semua bahasa itu sama. Bahasa ibu di tanah Papua yang sangat beragam adalah peninggalan budaya yang tidak ternilai harganya dan wajib di lestarikan, jangan sampai punah, begitu pula bahasa ibu di daerah lainnya di Indonesia. Di sinilah bahasa Indonesia memiliki peranan sebagai bahasa perantara, penghubung, dan pemersatu seluruh suku bangsa di Indonesia. Kitalah sebagai orang Indonesia yang memiliki kewajiban untuk melestarikan harta karun nasionalisme di Negara kita yang tercinta ini, baik di tanah Papua atau di daerah lainya. Seperti semboyan Bhineka Tunggal Ika yang dicengkram dengan kuat oleh burung Garuda lambang kebesaran Negara kita.
BIODATA:
Muhammad Faizal Indra Saputra, lahir pada tanggal 03 Januari 1990 di Sleman, Yogyakarta. Ayahnya berasal Pinrang, Bugis, Sulawesi Selatan, sedangkan Ibunya berasal dari Bantul, Yogyakarta. Pendidikan dari sekolah dasar hingga Sekolah Menengah Atas di tempuh di Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 Semester VII di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Muhammadiyah Sorong, Papua Barat.
Banyak kegiatan yang telah digeluti, mulai dari kegiatan di lingkungan sekolah dan kampus hingga kegiatan di luar kampus, beberapa di antaranya yakni mengikuti kegiatan OSIS tahun 2002-2004. Aktif dalam kegiatan pramuka Dari tingkat siaga (2000)-Laksana (2008).
Saat ini ia sedang fokus untuk menyelesaikan Gelar S1. Ia sangat tertarik untuk belajar bahasa asing dan bercita-cita untuk menjadikan hidupnya bermanfaat untuk keluarga, orang-orang disekitarnya, masyarakat, Bangsa dan Negara.
Motto Hidupnya adalah “Berani karena benar, takut karena salah”.
Email: faizz.faizal@gmail.com atau faizz_faizal@yahoo.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H