Mohon tunggu...
Muhammad Masrur Islami
Muhammad Masrur Islami Mohon Tunggu... -

seorang yang mendamparkan diri di pulau rempah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merantau, Setelah Itu Mudik

11 Mei 2011   09:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:50 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berbahagialah bagi orang yang dalam kesehariannya bisa bersama dengan keluarga besarnya, bersama ibu, ayah, kakak, adik dan saudara-saudara tercinta lainnya. Karena dengan begitu, mereka bisa senantiasa berinteraksi setiap hari, bercengkerama, tertawa, gembira bahkan menangis dan lain sebagainya. Sudah semestinya semua itu patut disyukuri karena tidak semua orang bisa merasakannya. Dan hidup memang demikian adanya, entah karena tuntutan profesi atau sebagai salah satu tuntutan dalam mengejar impian, maka ada banyak pula orang yang harus merantau.

Banyak diantara kita merantau ke wilayah yang lain, yang kadangkala memaksa kita untuk menjadi pribadi yang harus peka dan adaptif terhadap kondisi baru dimanapun kita merantau, baik di dalam negeri maupun di negeri orang. Di Indonesia sendiri misalnya, wilayah negeri ini yang sangat luas dari ujung Sabang hingga Merauke, menjadikan merantau menjadi hal yang sudah semestinya atau hal yang biasa di negeri ini. #Paling Indonesia.

Bila kita bandingkan istilah merantau beberapa dekade yang lalu dengan saat ini, maka sekarang para perantau akan lebih dimudahkan, terlebih semakin majunya teknologi informasi. Jika dulu kita harus mengirim surat via pos untuk mengabarkan kondisi kita di perantauan, maka sungguh berbeda dengan fenomena saat ini dimana kabar akan langsung sampai kepada keluarga kita up to date via handphone, email maupun media online lainnya. Sinyal-sinyal jaringan telekomunikasi seluler telah merambah ke pelosok-pelosok negeri. Jadi pada intinya perkembangan dunia teknologi informasi sungguh menjadikan jarak bukan lagi sebagai penghalang untuk mengirimkan suatu pesan maupun berita kepada orang-orang tercinta.

Namun tak dapat dipungkiri bahwa merantau ibarat rangkaian dari sebuah lingkaran perjalanan. Sama halnya seperti burung-burung bangau yang terbang jauh entah kemana, suatu saat mereka akan kembali ke sarangnya. Demikian pula para perantau, setelah sekian lama melanglang buana mencari apa-apa yang diimpikan, entah berhasil atau gagal dalam pengembaraan itu, ia akan berusaha untuk pulang ke kampung halamannya, terutama pada hari-hari istimewa. Saat pulang itulah kita kenal dengan istilah "mudik". Lagi-lagi.. #Paling Indonesia.

"Mudik" sebuah kata yang sangat bermakna dan paling dinanti bagi para perantau. Kata yang terbingkai rasa haru, rasa bahagia, rasa kangen, rasa rindu akan kampung halaman dan orang-orang tersayang, yang teraduk-aduk dalam jiwa para perantau. "Mudik" ibarat setetes air yang menghilangkan rasa dahaga kita dalam perjalanan di tengah padang gersang. Pada akhirnya "mudik" pula yang akan menjadi simpul dari lingkaran perantauan kita.

Merantau dan Mudik, dua kata yang sepertinya tak dapat dipisahkan dan memiliki sensasi yang luar biasa. #Paling Indonesia.. Dua hal itu merupakan budaya yang sepertinya telah menjadi salah satu corak dari masyarakat Indonesia. Secara sosial, merantau memberi efek positif berupa menyebarnya penduduk ke daerah-daerah yang baru terutama di wilayah yang belum berkembang pesat seperti kawasan Indonesia Timur. Selain itu tentunya akan terjadi interaksi sosial budaya dari penduduk pribumi dan para pendatang dalam kehidupan sehari-hari meraka. Efek lainnya adalah adanya peluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah.

Sedangkan mudik secara sosial menandakan bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki rasa keterikatan yang kuat dengan keluarga dan saudara-saudara mereka. Budaya mudik tersebut menjadikan jalinan persaudaraan itu senantiasa terjaga dengan baik. Mudik dapat pula diartikan sebagai waktu untuk istirahat mengumpulkan kembali energi yang habis terpakai selama perantauan.

Merantau, setelah itu mudik, masing-masing orang memiliki ceritanya sendiri di antara keduanya. Bagaimana apabila dia merantau dan bagaimana pula ketika mudik. Tentunya kita berharap semuanya akan berjalan lancar sesuai keinginan kita. Dan satu hal yang perlu diingat bahwa kehidupan ini juga ibarat sebuah perantauan, hanya saja kita tidak tahu kapan waktunya untuk mudik, bisa saja esok hari, lusa, minggu depan, bulan depan, atau bahkan detik ini, tugas kita hanyalah mempersiapkannya sebaik mungkin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun