Mohon tunggu...
Muhamat Arif
Muhamat Arif Mohon Tunggu... -

You can share to me everything

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teriring Doa dalam Syahdunya Rindu

20 Juni 2015   11:10 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:43 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam ruku’ku terlukis wajahmu. Kenangan yang dulu ada, namun bukan seperti kenangan yang sudah-sudah. Ini ialah kisah sukaku pada seorang gadis. Gadis yang ku kenal namun tak seperti gadis-gadis sebelumnya. Inilah arti mengagumi bagiku.

Mengaguminya ialah ketidaksengajaan bagiku. Iya, karena kekaguman ini muncul lewat kekaguman temanku terhadapnya. Ingat betul saat itu, temanku menyebutnya 3 kali di depanku bahwa ia sangat menawan. Awalnya biasa saja bagiku. Kedua kali. Ketiga kali, hati ini tergugah ingin mengenalnya. Siapakah sosok ini? Ku tanya temanku yang merupakan temannya. Ku tahu karena mereka satu kelas. Usaha perkenalanku pertama, ku lewatkan temanku itu, yang merupakan temannya. Kutitipkan salam saja bahwa aku ingin mengenalnya. Namun tertolak mentah. Namun tak apalah bagiku. Sikap seperti itu merupakan ketegasan. Yaa sudah, ku lupakan saja dia.

Seiring bergantinya waktu, ku beranikan diri untuk mengenalnya lagi. Namun dengan cara yang berbeda. Melalui salah satu dari yang ia sukai. Responnya positif, ia menerima. Usut punya usut, ia sebenarnya mau menerima perkenalanku yang pertama. Namun kondisinya berbeda karena ia memiliki kekasih. Dari sinilah pertemanan kami mulai terjalin. Seringnya kami bercerita satu sama lain membuat, tentunya aku lebih mengenalnya. Tak sedikit pula ceritanya tercurah padaku. Sebagai pendengar yang baik, aku hanya bisa menjawab semampunya otakku berfikir. Tidak sebentar kami terjalin seperti ini meskipun tanpa pernah bertatap langsung.

Perlahan kekaguman itu muncul. Kekaguman yang tertular dari temanku. Mungkin temanku mengagumi tanpa mengenalnya, namun aku mengenalnya. Pastilah pernah terlintas bahwa akulah yang akan menjadi kekasihnya nanti. Namun tidak mudah, kesetiannya tulus pada kekasihnya. Sungguh ini yang harus aku batasi bagi diriku. Pernah pula ku ungkapkan bahwa aku mengaguminya. Hanya sekedar memberi tahu bahwa ada hati ini dariku untuknya. Namun ku tahu posisinya. Sungguh sadar-sesadarnya. Pada suatu waktu, kami benar-benar kehilangan komunikasi. Tidak sebentar, satu tahun kurang lebih. Selama itu pula hati ini menunggunya. Singkat cerita, ku mulai beranikan diri menyapanya. Dengan sedikit percakapan hangat, komunikasi ini mulai terjalin lagi. Dan lebih banyak lagi kita saling bercerita. Hingga suatu waktu, kita dapat bercakap bersama dalam hadapan dua kepala nyata. Di situlah mulai ada semangat untuk memberanikan diri, memberanikan untuk menawarkan hati ini. Namun kenyataan berbeda dengan harapan. Ada hati lain yang lebih menariknya. Dan ku rasa hanya ia yang memang berhak memutuskan. Tak apalah, setidaknya ia memberikan ketegasan kedua kali di hadapanku. Tanpa ia tahu, banyak sisiku yang ku rubah. Hanya berusaha menyetarakan, namun tetap menjadi diri sendiri. Namun kembali lagi pada kenyataan. Bukan rejekiku.

Seiring berjalannya waktu, ku lupakan sedikit demi sedikit ia. Biarlah ini menjadi kenangan indah saja untuk disimpan. Kenangan yang mungkin sangat membahagiakan diriku. Namun ada kalanya pula, kenangan itu muncul. Seperti saat ini. Saat menulis cerita ini. Saat ruku’ku tadi dalam tirakatku. Dalam doaku, kusampaikan syahdunya rinduku pada-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun