Mohon tunggu...
muhammad munadi
muhammad munadi Mohon Tunggu... -

Seorang yang ingin memberi manfaat pada semua orang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kartu Indonesia Pintar dan Problem Ideologi Welfare State

20 November 2014   04:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:21 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kebiasaan pejabat satu-satunya yang  mungkin suka obral "kartu" adalah Bapak Jokowi. Sejak menjadi gubernur sampai sekarang menjadi Presiden, dari Kartu Jakarta  Sehat sampai Kartu Jakarta Pintar kemudian berubah menjadi Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. Belum lagi ditambah Kartu Keluarga Sejahtera.  Program ini kalau tidak berbarengan dengan program pemerintah untuk menaikkan BBM sebenarnya bagus di tingkatan Pro Rakyat. Akan tetapi dengan alibi mengurangi subsidi BBM kemudian dialihkan ke tiga kartu tersebut sebenarnya tidak tepat.  Logikanya pemerintah juga akan mensubsidi juga kepada rakyat. Subsidi tersebut juga kurang bermakna karena daya beli masyarakat yang rendah karena terjadinya kenaikan BBM. Belum lagi sudah disoal tentang dasar hukum pemberlakuan tiga kartu tersebut, akan semakin ironis karena Presiden "menabrak" dan melanggar hukum/peraturan ataupun undang-undang. Ini menjadi contoh kurang baik dalam keteladanan seorang pemimpin untuk taat pada  hukum/peraturan ataupun undang-undang.

Berdasarkan  sebuah pendapat Futurolog yang menyatakan bahwa negara di  Asia sebenarnya tidak cocok memiliki ideologi welfare state? Apa itu welfare state? Menurut wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Welfare_state) A welfare state is a concept of government in which the state plays a key role in the protection and promotion of the economic and social well-being of its citizens. Mengapa? Karena negara di Asia, penduduknya memiliki sifat bisa menolong sendiri dan bekerja sama untuk saling menolong. Contoh kasus yang sedrhana bentuk pendidikan Pesantren. Tanpa hadirnya negara "membantu" pesantren di Indonesia, lembaga ini tetap bisa eksis dan survive. Bahkan lahirnya kebanyakan   sebelum negara ini berdiri. Bahkan rakyat bisa membantu pemerintah yang masih berusia kurang dari lima tahun. contoh yang paling terlihat bagaimana Penduduk Aceh membantu negara membeli pesawat "seulawah" di awal kemerdekaan. Begitupula pesantren dan orang-orang yang ada di dalamnya bisa membantu pemerintah menggerakkan 'tentara" dengan nama Hizbullah sebelum TNI bisa benar-benar lahir dan hadir. Walaupun mungkin  TNI secara kelembagaan dan personal tidak pernah mengakui ini. Belum lagi umat Islam dan para Ulamanya bisa membantu pemerintah mempertahankan daerahnya karena ada Resolusi jihad yang didengungkan para Kyai/Ulama sehingga umat Islam "manut' untuk mempertahankan sejengkal tanah Indonesai dari  kembalinya para penjajah.

Kasus yang lainnya lembaga pendidikan yang dinaungi oleh Kementerian Agama lebih banyak dimiliki swasta dan dibiayai hampir 85% lebih dari dana masyarakat  (dari RA atau TK naungan Kemenag, MI, MTs, MA, Madrasah Aliyah Kejuruan, Perguruan Tinggi, Madrasah Diniyah Awaliyah, Madrasah Diniyah Wustha, Madrasah Diniyah 'Ula, Pondok pesantren (tradisional - modern sampai Ma'had 'Ali (pesantern tinggi) belum lagi pendidikan non formal (seperti Taman Pendidikan Al Qur'an yang eksis di setiap masjid dan mushola/surau) dibandingkan milik pemerintah. Bahkan Pemerintah Daerah juga tidak peduli pada pendidikan di Kementerian Agama ketika ada progaram sekolah gratis dengan alasan urusan Agama adalah urusan pusat. Kalaupun ada "bantuan" berasal dari anggara "Bantuan Sosial" yang rawan "dikurangi" oleh para orang yagn merasa "mengusahakan turunnya"  bantuan tersebut. Ini berkebalikan dengan keadaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (yang sekarang  Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan serta Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi).

Pemerintah memang perlu menyadari bahwa kekuatan negara semakin melemah (karena terlilit hutang dan pejabat yang  korup) ketika tanpa bantuan dari masyarakat. Hal ini bercermin dari  partisipasi masyarakat yang selama ini ada di lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama. Mereka bisa mandiri dan bisa self help atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Masyarakat punya instrumen yang bisa membantu mereka sendiri melalui instrumen philantrophy berbasis keagamaan (dalam wujud zakat, infaq, shadaqah, wakaf dan hibah) sehingga memungkinkan diantaranya organisasi keagamaan bisa mendirikan lembaga pendidikan, lembaga kesehatan (klinik sampai rumah sakit besar), panti asuhan, panti jompo, dan yang lainnya.  Hal ini menjadi sangat besar dan kuat karena nyaris tidak ada penyimpangan seperti yang terjadi dalam pajak yang sering dan banyak dikorupsi dan dimanipulasi.

Persoalannya Pemerintah terutama Presiden menyadari atau tidak bahwa negara ini perlu reoreintasi ideologi welfare state? Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun