Tahun baru dan kemacetan jalan raya adalah bentuk dari seberapa laparnya manusia kita dalam mencari kebahagiaan. Seolah-olah mereka tidak pernah bahagia sepanjang hidupnya. Adanya resolusi yang diucapkan, ditulis, dan diunggah ke media sosial merupakan sebuah gambaran bahwa masyarakat kita seperti instalasi listrik. Jika ada satu orang yang melakukannya kemudian Ia memamerkannya di media sosial, maka boleh jadi orang lain akan melakukan hal yang serupa. Seperti yang terjadi pada orang-orang yang memadati jalanan. Mungkin beberapa hari sebelum tahun baru seseorang bertanya kepada kerabatnya "malam tahun baru nanti mau kemana nih?" Kalimat semacam itu memberikan kejut listrik di dalam sel otaknya untuk berpikir "kemana tahun baru nanti ya?", sekaligus menjadikan magis yang entah siapa orang pertama yang merapalkan mantra "malam tahu baru nanti mau kemana?" Itu. Yang jelas kata "mau kemana" identik dengan pertanyaan "ke tempat apa dan lewat jalan mana". Tahu-tahu jalanan menjadi masalah kesekian yang dipikirkan.
Jalanan menjadi salah satu gerbang pengantar kebahagiaan utopis itu, meskipun mereka harus mengeluarkan banyak biaya untuk membeli bahan bakar. Â Jalanan dan tahun baru adalah semacam media untuk menciptakan kebahagian yang tidak terpisah. Jalanan yang bagus di kelilingi fasilitas hiburan dengan gedung-gedung megah menjadi daya tarik kaum urban sepenjuru negeri ini. Apa jadinya tahun baru tanpa jalanan? Meskipun setiap hari jalanan Ciputat tetap ramai padat tanpa tahun baru. Jalanan menjadi gerbang pengantar yang masif untuk merayakannya. Jutaan orang yang tinggal di pinggiran kota secara mendadak berbondong-bondong ke Monas, atau ke Ancol untuk merayakannya. Mereka membawa petasan dari rumah masing-masing untuk diledakan di langit. Seketika jalanan menjadi tempat terbakarnya jutaan rupiah uang yang telah mereka dapatkan dari tempat kerja, dari uang tunjangan hari raya, dan mungkin dari hasil perniagaan mereka masing-masing. Tanpa mereka menyadari, bahwa tahun baru dan jalanan yang sedang dicor ulang oleh pemerintah untuk menyambut tahun berikutnya adalah pengulangan waktu.
Jalanan terilihat ramai di tahun baru, meskipun hari-hari sebelumnya juga tidak kalah ramai. Menambah jumlah emisi karbon di udara dari hasil pembakaran fosil, asap kembang api, dan asap dari orang-orang yang membakar jagung dan sosis. Jalanan menjadi tempat yang justru menakutkan bagi seorang pemerhati lingkungan. Saat malam menjelang seluruh penduduk berpesta riang, dan ketika pagi menjelang sampah berserakan memenuhi jalan. Akan tetapi sebaliknya bagi orang pemerhati ekonomi, jalanan di tahun baru menjadi suatu pemandangan yang positif. Di mana pedagang arang, jagung bakar, frozen food, tusuk sate, trompet, petasan, dan pedagang bumbu dapat melanjutkan hidupnya dari hasil penjualan barang dagangan. Mereka tidak perduli dengan orang yang berbondong-bodong pergi ke Monas, Senayan, HI, atau Ancol. Mereka lebih perduli dengan bagaimana memanfaatkan situasi, dan hilir mudik wajah-wajah malang yang lapar akan kebahagiaan.
Ada yang lebih berbahagia dari keburukan kaum urban dalam membuang sampah. Mereka adalah para pemulung botol plastik, dan barang-barang lain yang dapat dijual kembali. Setiap sampah yang di pungutnya menjadi nilai Rupiah. Bagi mereka sampah adalah uang yang dibuang oleh pemiliknya. Mereka merayakan tahun baru dengan bekerja, bukan dengan membuang uang. Akan tetapi itu semua tidak lantas membuat mereka kaya, kecuali tengkulang dan pengepul. Namun cukup untuk merayakan tahun baru dengan membeli dua atau tiga bungkus nasi warteg. Bagi mereka harapan di tahun baru bukanlah sesuatu yang diucapkan, akan tetapi dipungut dari orang-orang yang malas bersyukur.
Ada jalan yang sepi di tahun baru. Jalanan itu mungkin tidak mendapatkan perhatian oleh pencari kebahagiaan, lantaran keadaannya yang sempit, rusak, atau mungkin sepi dari gedung-gedung hiburan. Jalanan semacam ini tidak menjadi target kaum urban untuk meluapkan ekspresi tahun baru. Juga mungkin luput dari perhatian pemerintah, sehingga tidak ada pembangunin di kanan dan kirinya. Jalanan semacam ini biasanya tidak disertai lampu penerangan, tidak juga disertai trotoar dan gorong-gorong. Jalanan ini menjadi contoh betapa jauhnya harapan semua orang kepada pemimpinnya untuk hal-hal yang sepi. Orang lebih suka membahas hal-hal yang ramai dan diketahui oleh kebanyakan publik. Ketimbang hal-hal yang sepi akan tetapi menentukan nasib jutaan penduduk. Jalanan yang sepi ini mungkin dilalui oleh truk-truk pengangkut beras, gula, dan bahan-bahan pokok penunjang hidup lainnya. Mungkin juga jalanan yang sepi ini setiap harinya dilalui oleh bapak-ibu petani dan pengembala. Orang-orang yang menghasilkan bahan pangan untuk kehidupan orang-orang di desa hingga kota.
Ada pula jalanan lain yang sepi oleh masa tahun baru. Jalanan ini berbentuk agak sempit, mungkin cukup untuk satu kendaraan roda dua. Ia mungkin tidak berpengaruh dan tidak mendapatkan perhatian saat tahun baru tiba. Akan tetapi justru sebaliknya, karena orang-orang yang datang ke Monas atau Ancol bisa jadi melewati jalanan sempit ini. Beruntunglah jalanan kota atau perkampungan di negeri ini tidak seperti di Negeri Paman Sam sana. Setiap kampung memiliki gang yang berbeda-beda, tidak hanya namanya gangnya saja yang berbeda tetapi juga bentuk dan kondisinya. Sehingga kita dengan mudah menghafal jalan. Berbeda dengan keadaan seperti di negara-genara maju. Kota yang tertata rapih disertai dengan pengadaan invastruktur jalan yang sama bagusnya di setiap sudut, justru membuat para pengguna jalan kebingungan lantaran setiap persimpangan jalan terlihat sama, baik bentuk maupun situasi dan keadaan jalannya. Jalanan kita mungkin tidak dipertimbangkan dengan masak saat membangunnya, karena rumah sudah lebih dahulu dibangun ketimbang jalanannya. Namun selalu ada hikmah dibalik semuanya itu, terutama gang sempit saat tahun baru.
Tempat teramai di tahun baru biasanya memiliki acara khusus. Atau jika tidak ada acara, para pengunjunglah yang menciptakannya sendiri. Dari semenjak di rumah mungkin mereka telah merencanakan untuk pergi ke suatu tempat. Di dalam pikirannya memunculkan sebuah imajinasi yang membahagiakan tatkala Ia dan keluarga berkunjung ke sana, meskipun sebenarnya tempat itu tidak menjual apa-apa, tidak pula ada suatu kebahagiaan. Mereka sendiri yang membangun sugesti kebahagiaan itu semenjak dari rumah. Ketika mereka sampai di lokasi tujuan, suasana begitu ramai dan penuh kebahagiaan. Banyak orang membawa kembang api dan meletuskannya. Banyak pula pedagang yang mangkal di bahu jalan. Seketika mereka saling melihat di wajah anak-anak serta istri penuh dengan riang, karena mereka berkumpul dengan orang-orang satu sugesti yang sama. Bukan karena tempat dan situasi yang memberikan Ia kebahagiaan itu.
Kira-kira seperti itulah bagaimana jalanan dan tahun baru saling memberikan sinergi untuk kebahagiaan kaum urban yang utopis. Jalanan yang setiap waktu mengantarkan kebahagian selama ini sering kita abaikan. Jalanan yang mungkin pula selama ini memberikan kita gambaran akan wajah kita sendiri tidak pernah menjadi bahan introfeksi. Kita sibuk mengoreksi kekurangan yang dinilai oleh diri kita sendiri, ketimbang mengintrofeksi kekurangan kita yang dinilai orang lain. Seperti ketika kita melakukan kesalahan saat berkendara di jalan raya. Pada tahun baru kali ini kembali kita mengulanginya dengan mengintrofeksi dan membuat harapan baru untuk diri kita sendiri. Sekalipun pesan itu diunggah ke maya, Ia akan mewakili diri kita sendiri. Dan sebenarnya kita sedang memikirkan diri kita sendiri, karena pada maya kita menitipkan citra.
Jadi jalan raya kita dan tahun baru adalah barang yang sama. Yaitu sama-sama memunculkan sifat asli kita sebagai manusia. Kebahagiaan yang tidak berujung, pengulangan momen, sugesti, kebahagiaan utopis, semua itu ada dalam cara yang lama, yaitu perayaan tahun baru menujut tempat dan melalui jalan yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H