Memang segala upaya telah banyak dibuat oleh perangkan pendidikan untuk membuat penilaian yang objek. Dengan menggunakan istilah indikator ketercapaian, rupik dibuat sedemikian rupa agar terlihat semakin objektif dalam menentukan nilai seorang siswa. Seperti jika Ia kurang memahami berbedaan buah nangka dan apel dari segi warna, maka dia akan mendapatkan nilai 1 (satu) kurang baik, lalu jika Ia ternyata mengetahui perbedaan nangka dan apel dari segi warna akan tetapi tidak mengetahui rasanya maka akan mendapatkan nilai 2 (dua) atau cukup baik, dan jika seorang siswa dapat membedakan warna dan rasa dari buah nangka dengan apel maka mendapatkan nilai 3 (tiga) baik sekali.
Akan tetapi jika seorang siswa tersebut dapat membedakan nangka dengan apel dari berbagai aspek, dan sekaligus dapat membedakan dari nilai gizinya makanya Ia mendapatkan nilai 4 (empat) sangat baik. Padahal ukuran untuk mendapat nilai 1, 2, 3, dan 4 adalah pengaruh konsep nilai pada kepala seorang pendidik yang mana tidak memiliki akar. Dari mana angka-angka itu muncul dan kenapa menggunakan angka?Â
Dalam kehidupan sehari-hari kita memang selalu bergantung kepada sebuah nilai. Contohnya seperti nilai mata uang yang dapat mengubah kehidupan seseorang. Seperti saat kita membeli seperempat gula di warung Madura, jika kita membawa uang dengan nilai melebihi harga gula maka kita akan mendapatkan kembalian, padahal setiap uang memiliki harga.
Harga yang terdapat pada sebuah mata uang bukan hanya ditentukan oleh nilai, akan tetapi juga cara mendapatkannya. Seperti seorang pengamen yang telah berkeliling seharian mencari rupiah, seberapa pun uang receh yang diberikan orang lain sangat bernilai dan berharga untuknya.
Atau nilai juga terdapat pada aktivitas kita yang lain selain peredaran uang, seperti usaha seorang atlet nasional dalam mendapatkan prestasi. Mungkin Ia kalah saat itu, namun perjuangannya memberikan nilai tersendiri bagi penggemarnya, tentang betapa berharganya arti dari sebuah perjuangan, semangat bertarung, dan rasa nasionalisme. Padahal nilai tidak hanya seputar angka bukan? Tapi kenapa nilai angka menjadi sangat berharga melebihi proses untuk mendapatkannya. Padahal seseorang bisa salah sekarang, namun dengan kesalahan itu Ia dapat berubah. Sehingga Ia mendapat nilai dari pengalaman yang berharga.Â
Bisa jadi pertanyaan itu dapat kita temukan melalui cara yang lebih kritis. Dengan uraian yang dibahas di atas maka dunia pendidikan juga memiliki andil yang besar untuk mempengaruhi arti dari sebuah nilai secara angka. Ada berbagai negara yang tidak menggunakan nilai pada rapor mereka, seperti siswa-siswa di Irlandia, dan Australia. Nilai rapornya berupa deskripsi bukan angka. Dari deskripsi itu orang tahu dapat memahami apa yang dialami, dirasakan, dibutuhkan, dan sekaligus dapat digunakan untuk menentukan tindakan yang baik bagi masa depan anaknya.
Tidak seperti di negeri kita, dimana seorang bapak kerap melucuti anaknya dengan kalimat-kalimat pedas saat si anak tidak sanggup mencapai nilai standar kompetensi. Sungguh sangat disayangkan.
Maka nilai proses dalam pembelajaran perlu diadakan sebagai bentuk bantuan kepada orangtua. Sehingga kita dan orangtua lainnya sebagai warga negara berhak dan turut andil dalam membangun pendidikan yang merdeka sesuai cita-cita bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H