Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tanda Tangan dan Mitos Identitas yang Autentik

15 Maret 2023   07:29 Diperbarui: 15 Maret 2023   14:20 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Era ini telah menunjukan bahwa tanda tangan sama sekali bukan benar-benar bagian dari diri kita, apa lagi sebagai tanda identitas. Selain mudah untuk ditiru dengan cepat, tanda tangan nyatanya hanya sebuah formalitas yang tidak terlalu penting. Tanda tangan hanya dapat dihafal oleh orang-orang yang sering melihatnya. 

Jadi untuk mengetahui suatu identitas melalui tanda tangan, maka kita harus sering melihat tanda tangan tersebut. Kemudian kita menggunakan ingatan kita tentang siapa yang membuatnya. Sementara Anda ataupun penulis, pasti sangat tidak mungkin dapat melihat tanda tangan seorang Jokowi. 

Baiklah jika tanda tangan dianggap sesuatu yang bersifat otentik, dan rahasia, lalu untuk apa pegawai bank, HRD di kantor, petugas pajak, dan lembaga lainnya kerap meminta tanda tangan kita semua sebagai bentuk perjanjian di atas kertas, atau bahkan di atas materai? Jadi tanda tangan bukanlah bentuk atau konsep yang rahasia.

Mitos tentang tanda tangan yang bernilai di mata sosial ini, salah satu sebabnya mungkin pernah pula kita dengarka di sekolah, oleh guru-guru kita atau oleh seseorang yang sedikit mengenal psikologi. Yang katanya dari sebuah goresan berupa tanda tangan, kita bisa membaca kepribadian seseorang. Lebih tepatnya adalah ilmu membaca tulisan tangan, atau yang disebut dengan grafologi. 

Di kalangan kaum urban yang intelek, konon katanya ilmu ini dipercaya dapat mengetahui kepribadian si pembuatnya. Satu goresan yang berbeda saja dapat mencirikan karakter seperti apa yang terdapat pada diri seseorang. Mereka yang mengetahui grafologi berspekulasi bahwa coretan tinta di atas kertas dipengaruhi oleh emosi dan perasaan si pembuatnya saat itu juga, sehingga dapat dibaca dan diartikan. Jadi kemungkinan mitos dan persepsi penggunaan dan pembuatan tanda tangan dipengaruhi oleh adanya pengetahuan ini. 

Padahal melalui grafologi kita bisa menemukan kesimpulan bahwa tanda tangan yang kita buat setiap harinya dapat berubah-ubah, karena saat kita menuliskan tanda tangan di baliknya ada emosi dan perasaan yang mempengaruhinya. Dengan demikian berarti tanda tangan yang kita buat bukanlah sebuah tanda yang otentik, karena dapat berubah, dan tidak benar-benar sama setiap waktunya. 

Sedangkan tanda berupa cap jempol, adalah salah satu dari bagian tubuh kita yang dapat menjadi bukti otentik. Karena setiap garis pada telapak tangan kita, tidak dapat dengan mudah ditiru oleh orang lain, kecuali jika sewaktu-waktu tergores atau mengalami kecelakaan.

Kita adalah penerima warisan peradaban, tanda tangan dan semua mitos tentangnya merupakan bagian dari nenek moyang manusia yang telah menjadi sebuah kebudayaan dan peradaban yang telah lalu. Meletakan jari yang telah dibasahi tinta ke atas kertas memang kegiatan yang mudah, tapi siapa sangka hal terebut justru paling tepat untuk menunjukan identitas kita. 

Berbeda dengan tanda tangan yang mengharuskan pembuatnya melakukan serangkaian uji coba asalan-asalan di atas kertas untuk mencorat-coret dan mencoba membuatnya berulang-ulang kali sampai menemukan sebuah tanda tangan yang cocok dan pas. Yang kemudian tanda tangan terlihar spesial karena di dalamnya terdapat usaha untuk membuatnya. 

Selain itu sebenarnya karena adanya spekulasi umum yang menyatakan bahwa tanda tangan memiliki nilai mitos di mata sosial. Sekarang apakah Anda akan menjadi penerus mitos si pembuat tanda tangan? Atau Anda memikirkannya sambil berlalu? Atau Anda benar-benar tidak ingin memikirkannya? Itu semua terserah Anda semuanya. Kita menerima kebudayaan, dan kita pula akan mewariskan sesuatu kepada kebudayaan. Jadi berfikirlah dan wariskanlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun