Penulis manapun perlu membaca banyak hal, guna mengasah hati dan pikirannya. Tapi menulis tentang hujan yang bermakna sendu dan bersimbol kepedihan adalah gambaran bahwa penulis-penulis kita hanya sekedar bermain dengan kata-kata. Tidak ada yang sanggup dibaca olehnya tentang hujan selain makna, dan simbol yang teleh membudaya.
Sejak kapan hujan dimaknai sebagai sesuatu yang sendu, dan penuh lara? Dan siapa yang mencetuskannya?
Kita tidak perlu menjadi paham akan makna, dan simbol untuk memahami bacaan tentang hujan yang populer itu.Â
Kita sebagai pembaca tentu memiliki hak sendiri untuk menganalisa apa yang terjadi saat hujan tiba, seperti tanah yang basah, jalanannya yang tiba-tiba sepi dari lalu lalang kendaraan, jalanan batako yang menghambat air untuk meresap ke dalam tanah, gorong-gorong yang tiba-tiba mampet lalu meluap, berita banjir di mana-mana, pejabat sibuk berpidato, pedangan kaki limo melongo di depan televisi, dan belum lagi para jurnalis sibuk membahas jani-janji manis pejabat yang katanya akan merevitalisasi sungai dan ekosistem kita. Tapi banjir sudah lebih dahulu menenggelamkan kota, dan mimpi para warganya.
Penulis kita hanya menulis kata-kata dengan makna, dan simbol utopis tentang kepedihan dibalik hujan dibalut dengan romantisa percintaan dan pengelaman pribadi penulisnya saja.
Sementara buku-buku mereka laku di tangan para pembaca yang umumnya remaja. Tidak ada yang bener-benar memiliki tujuan idealis.
Di tangan penulis seperti mereka yang senang dengan kegalauan perasaan, ditinggal mati oleh kekasih yang sangat disayangi, cinta yang bertepuk sebelah tangan, atau cinta yang tak pernah sejalanan, fenomena hujan tidak lebih dan tidak bukan hanyalah sebuah inspirasi. Belum atau mungkin tidak ada yang sanggup membaca hujan lebih dari itu.
Hujan tidak dijadikan sebagai perunungan, hujan seharusnya menjadi sahabat yang membahagiakan, karena dibalik hujan kita bisa melihat cacing-cacing hidup di dalam tanah, biji-biji mulai mengeluarkan tunas, dan sawah-sawah petani yang basah.Â
Akan tetapi, dari hujan pula kita bisa membaca kalau selama ini pengetahuan kita tentang geografi tidak berguna sama sekali. Seperti yang terjadi di Jakarta timur sana, setiap tahun tanah turun lima belas sentimeter, dan bibir pantai semakin dengan dekat masjid-masjid mereka.Â
Semuanya itu diakibatkan karena hujan tidak sanggup melewati tanah yang telah tercampur dengan pasir, semen, batako, dan aspal. Padahal yang mengaspal, mengecor, dan yang menghalangi hujan untuk masuk ke dalam tanah tidak lain dan tidak bukan adalah manusia yang katanya mempunyai pengetahuan. Di sana berdiri sebuah stadion sepak bolah terbesar di negeri ini, mungkin juga di asia.Â
Entah imajinasi utopis apa yang ada di dalam pikiran pencetus untuk membangunnya. Stadion yang dibangun dengan begitu megah menghadap pantai Jakarta, mengandalkan kemampuan arsitektur yang mempuni, dan jasa pengiklanan stadion yang terus meng-update postingan mereka semua adalah orang-orang berpengetahuan yang gagal membaca hujan.