Siapapun pernah melakukannya saat hari raya, seperti saat Idul Adha di mana semua orang merasakan senang menyantap daging sate buatan sendiri tanpa kalimat menghujat, di mana orang tua, anak muda, bahkah remaja rela membuat bau asap pada tubuhnya setelah berjam-jam atau mungkin bermenit-menit yang lalu. Mereka terbungkam dalam canda dan tawa pesta makan besar. Â Tentunya dengan perasaan sepenuh hati.
Ya, nama resep itu adalah resep memasak sate sepenuh hati. Tapi Mulyadi bukankah sesosok amatiran yang membuat sate hanya dari pengalaman Idul Adha. Dahulu sekali saat ia masih sekolah, ruang dan waktunya tidak hanya tersita pada buku-buku dan alat tulus melulu melainkan juga kepada aktivitas mengolah bahan-bahan sate.Â
Aktivitas yang demikian berkelanjutan itu terjadi bukan karena keterpaksaan melainkan berbuatan budi dari seorang anak yang sepenuh hati meringankan perkerjaan orang tuanya untuk kehidupannya sendiri. Tentu saja Mulyadi kecil sama seperti anak-anak lain seusianya, mempunyai banyak cita-cita dan harapan. Â
Meskipun Mulyadi bangga dengan bapak yang sudah bekerja keras menafkahinya, namun tetap saja pada diri seorang remaja yang kala itu khatam melihat segala profesi terbaik, tidaklah sepesial menjadi anak pedagang sate dengan kesederhanaan demikian.Â
Jauh dalam diri seorang Mulyadi ingin sekali cepat-cepat merubah nasib keluarganya itu dengan profesi baru yang tidak banyak menghabiskan keringat dan waktu.Â
Sebelum Mulyadi benar-benar menjadi tukang sate, ia sudah pernah menjadi pegawai kantor tetapi bukan komputer dan dokumen-dokumen penting yang menjadi kawanannya, melainkan sapu dan rekannya yaitu pengki.Â
Atas ketidak cocokannya itu lantas ia kembali mencari pekerjaan yang sesuai dengan pelajaran di sekolahnya dahulu. Namun ijazah sekolah kejuruan dengan kemampuan akuntan itu tidak dapat memberikan apa-apa selain kembali menjadi seorang pegawai rendahan pada sebuah rumah makan.Â
Dari rumah makan tempatnya bekerja Mulyadi sempat menimbang-nimbang harapan baru dalam bertahan hidup sepanjang sejarah pedagang sate.Â
"Ketimbang memperbesar kantong uang rumah makan yang menjadikanku babu itu, kan lebih baik aku jadi bos sendiri di rumah makan sendiri saja" begitulah kira-kira tuturnya.Â
Tapi ia terus saja meyakinkan diri bahwa seorang Mulyadi tidak akan pernah memasak sate ataupun menjadi tukang sate seperti bapaknya. Sebab Mail sendiri yang mengatakan itu kepada anaknya "Tak pernah aku berharap kelak kau akan merasakan hal yang sama, menjadi tukang sate".
Semakin Mulyadi menolak sebuah bakat semakin sulit ia bertahan hidup dalam keniscayaan abadi. Bocah malang itu diujung kontraknya sebagai seorang pegawai mini market. Terhitung dua hari lagi atau sama dengan mengedipkan mata sebanyak dua kali, waktu yang cepat untuk mencari pekerjaan baru.Â