Tulisan ini merupakan bentuk kritik atas dokumen "Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035" yang dikeluarkan oleh Kemendikbud pada medio Mei 2020 yang lalu. Jika diamati dengan serius, isi draft Peta Jalan Pendidikan tersebut, masih perlu adanya berbagai catatan kritis serta masukan terkait rancangan kebijakan tersebut.
Bias kelas menengah hanya sebagian kecil dari banyaknya kejanggalan "Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035" yang menunjukkan kegagapan para pengambil kebijakan dalam membaca keadaan hari ini bersama berbagai problem pendidikan yang dihadapi serta merespon berbagai perubahan yang sedang terjadi. Hingga muncul pertanyaan fundamental yang sekiranya perlu dijawab, yakni tujuan pendidikan ini sebenarnya untuk apa dan untuk siapa?
Integrasi revolusi teknologi informasi dan bioteknologi akan menyebabkan banyak pekerjaan saat ini menjadi tidak relevan dan sebagian besar manusia akan kehilangan pekerjaan. Lantas apa yang mesti diajarkan di sekolah?Â
Untuk menghadapi dunia pada tahun 2050 tidak hanya butuh kemampuan untuk berurusan dengan perubahan, mempelajari hal-hal baru, dan menjaga keseimbangan mental untuk menghadapi situasi yang tidak kita kenal. Selain kemampuan menemukan ide dan produk baru, kita perlu menemukan diri kita kembali.
Jika dunia akan dibentuk dengan integrasi revolusi teknologi informasi dan bioteknologi, haruskah pendidikan diarahkan ke sana? Â Haruskah anak-anak kita tanpa terkecuali belajar bahasa program? Tentu kita bisa mengambil tindakan dengan misalnya menggenjot pengembangan pendidikan teknologi informasi, mengembangkan berbagai pusat teknologi informasi, kita juga bisa mengembangkan lingkungan kondusif untuk pengembangan start-up, ataupun memberikan insentif untuk tumbuhnya unicorn, decacorn, dan lain sebagainya. Namun kenyataannya model bisnis pada prinsipnya tidak pernah berubah, pada akhirnya tetap saja "modal" dan "hukum pasar" juga yang menentukan.
Semestinya pendidikan merupakan sebuah proses "pencerahan", proses menemukan jati diri, serta upaya mempersiapkan manusia agar selamat hidupnya dan tentu supaya bisa bekerja di kemudian hari. Pendidikan sebagai proses "pencerahan" tersebut sudah pernah dirumuskan Tan Malaka sebagai jalan menuju tajamnya pikiran dan halusnya perasaan. Ki Hadjar Dewantara memandang pendidikan sebagai proses memerdekakan manusia.
Pendidikan sebagai proses pencerahan tidak  hanya untuk mengantarkan anak memperoleh  pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk kehidupannya. Tiga fungsi utama pendidikan yaitu kualifikasi, sosialisasi, dan subjektifikasi. Kualifikasi berlangsung dengan proses memberikan pengetahuan, ketrampilan, pemahaman, dan juga watak atau kemampuan memutuskan bertindak berlandaskan nilai-nilai sosialisasi.
Dengan sosialisasi seorang individu bisa hidup dalam tatanan sosial, melalui subjektivikasi dapat tumbuh menjadi manusia otonom yang memiliki, mampu dan berani berpikir sendiri menantang tataban sosial yang ada. Dengan demikian pendidikan tidak hanya menjadi instrumen status quo tetapi bersifat emansipatoris.
Dalam Draft "Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035" keluarkan Kemendikbud (hal 30) disebutkan visi pendidikan Indonesia 2035 yakni "membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila. Visi seperti itu tidak membuat kita terang benderang tapi justru mengaburkan pandangan.Â
Begitu moralisnya rumusan visi tersebut sehingga "akhlak mulia", "nilai-nilai budaya bangsa", dan "Pancasila" semua diborong. Perlu diwaspadai bahwa dibalik bahasa moralis tersebut jangan-jangan justru merupakan cerminan ketidakberdayaan kita menghadapi realitas masyarakat yang konsumeristik, timpang, abai pada etik, permisif terhadap hal-hal koruptif, dan sektarian.