Mohon tunggu...
muhammad sholihin
muhammad sholihin Mohon Tunggu... -

al-azhar- UIN pasca

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Resensi

4 April 2012   03:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:04 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

IMAJINASI AGAMA BORJUIS

Buku: Bayang-bayang Tuhan Agama dan Imajinasi

Karya: Yasraf Amir Piiang

Penerbit : Mizan

Tahun: 2011

Tebal: 371

Nieczsche: “ setelah Tuhan dibunuh oleh kaum borjuis, akibatnya timbul kekacauan, kehampaan, bahkan pemiskinan yang menakutkan”.

Pembacaan terhadap teks keagamaan mestinya plural, yaitu tanpa aturan pintu masuk: versi pertama pembacaan harus dapat menjadi yang terakhir. Roland Barthes, hal 191. Pernyataan barthes bisa dijadikan sebagai acuan, bahwasanya pemahamaan keagamaan tidak milik perorangan atau golongan tertentu, sehingga pesan agama yang universal bisa ditangkap oleh manusia dengan baik. Pemahaman keagamaan tidak menjadi eksklusif dan hanya milik kaum borjuis. Terkadang mereka mengunakan agama sebagai legalitas untuk melakukan kekerasan, penganiayaan bahkan kriminalisasi atas nama agama. Penolakan rakyat Kalimantan dan demo di Jakarta menolak ormas yang sering melakukan tindakan anarkis atas nama agama akhir-akhir ini merupakan bentuk kegelisahan masyarakat terhadap pemahaman agama secara borjuis yang telah menimbukan berbagai aksi kekerasan.

Teks dengan segala misteri dan kelebihanya menyimpan potensi dan rahasia yang begitu dahsyat. Sejarah mencatat bagaimana pengaruhnya, ia melahirkan sebuah peradaban manusia. Ketika teks ditarik pada studi kajian peradaban agama, maka tidak bisa lepas dari sepirit memahami teks. Islam, Yahudi dan Nasrani agama samawi yang tercermin dalam bingkaian teks kitab suci, sehingga Islam menurut Nasr Hamid merupakan bagian dariperadaban teks “hadᾱrah al-Nass”. Kitab suci dalam telaah semiotika dapat dilihat sebagai teks dengan ciri-cirinya yang khusus, berbeda dengan teks lain pada umunnya. Perbedaanya terletak pada sifat suci yang melekat pada teks tersebut, dan dihubungkan dengan sesuatu yang bersifat transenden, melampau dunia manusia, dan bersifat metafisik, khususnya terkait dengan wilayah ketuhanan. Hal, 157.

Karena itu, pemahaman kitab suci sebagai sebuah teks suci tentu akan berbeda dengan teks lain yang bukan suci. Meskipun kitab suci diturunkan pada manusia dengan mengunakan bahasa manusia (misal bahasa Arab), terdapat aspek-aspek tertentu dalam kitab suci tersebut (tanda, simbul, kode, atau makna) yang mempunyai ciri khusus sebagai bahasa ketuhanan, terutama ketika ia berkaitan dengan makna awal (original meaning). 157.

Al-Qur’an dapat diposiskan sebagai mitra dialog bagi para pembacanya. Perspektif ini mengasumsikan bahwa teks al-Qur’an merupakan sosok pribadi yang mandiri, otonom, dan secara obyektif memiliki kebenaran yang bisa dipahami secara rasional ketika bersentuhan dengan culture studies. Pemahaman teks kitab suci tidak bisa lepas dari pembacaancultural studies yang banyak dipengaruhi oleh struktrualisme, postsruktrualisme, dekontruksi, psikoanalisi. Culture studies melihat berbagai fenomena kebudayaan sebagai tanda sekaligus melakukan pembongkaran terhadap kode dan struktur yang membangunya serta melihat muatan-muatan idiologi dibalik tanda itu (struktrualisme).

Dalam arah yang berbeda, culture studies mencoba membentangkan berbagai relasi kekuasaan, dominasi, hegemoni, ketidakadilan, represi. Culture studies mencari format bagi kemungkinan perlawanan, subversi, dan penentangan cultural: ia mencari berbagai kemungkinan baru pemaknaan dan pembacaan yang dinamis, prospektif, dan produktif (poststruktrualisme).

Pembacaan cultural studies dalam memahami pembacaan masyarakat terhadap teks al-Qur’an tentunya mempunyai problem epistimologisnya sendiri. Salah satunya adalah culture studies bukanlah sebuah pendekatan tunggal, melainkan sebuah pendekataan plural dan multidimensi dengan berbagai idiologi-nya. Paling tidak ada dua cara pembacaan yang saling bertentangan yang digunakan dalam culture studies yaitu struktrualisme dan postsruktrualisme.

Teks merupakan warisan yang tidak bisa lepas dari proses signifikasi, di dalamnya terdapat sebuah entitas fisik diubah menjadi materialitas penanda (signifier), dengan mengaitkanya dengan sebuah konsep atau makna tertentu (signified), yang diatur berdasarkan kode-kode tertentu secara sosial, cultural, dan membentuk apa yang disebut tanda (sign). Tetapi, ada fenomena yang di dalamnya entitas yang mempunyai status penanda justru ditinggalkan fungsi signifikasinya, dengan kata lain peran pertandaanya diputus dan memberinya peran yang lain. Proses ini disebut sebagai proses designifikasi.

Fetitisme merupakan salah satu bentuk designifikasi, yang melaluinya sebuah tanda (atau teks) ditanggalkan rantai dan relasi pertandaanya, kemudian dimuati dengan relasi-relasi lain, khususnya relasi kekuatan, pesona, atau mistifikasi tertentu. Sebuah tanda yang sebelumnya mempunyai fungsi sebagai kendaraan untuk menyampaikan pesan tertentu, dijadikan sebagai kendaraan bagi sebuah kekuatan yang khas. Tanda yang sebelumnya berfungsi untuk merepresentasikan sesuatu (pepresentation), menjadi hal, yang digunakan untuk menghadirkan sesuatu (presentation).

Gadamer mengembangkan pemahaman tanda (atau teks) kedalam kata “lenguistik” dengan pernyataanya ada ‘being” yang dapat dipahami adalah bahasa, tanda (atau teks) adalah pertemuan dengan ada being melalui bahasa. Inti tanda terletak pada alam pikir sehingga tinggi rendahnya nilai sebuah tanda terletak pada alam pikir sang pengarang, sehingga sebuah pemahamanteks bukan wajah seutuhnya dari ajaran.. Hal yang fundamental bagi Gadamer adalah penolakan terhadap teori “tanda”dalam hakekat bahasa, bagi Gadamer bahasa adalah situasi, ekspresi dan modus eksistensi manusia.

Bagi Gadamer ada empat komponen yang tidak bsa dilepaskan dari interpretasi terhadap tanda (atau teks) yaitu: Bildung (pra pemehaman), sensus communis (aspek-aspek sosial, kultural), perimbangan dan selera (keseimbangan insting pancaindara dengan kebebasan intelektual.

Buku Bayang-bayang Tuhan Agama dan Imajinasi karya Yasraf Amir Piliang memberikan berbagai inspirasi, bagaimana kita bersentuhan dengan ajaran agama yang tersimpan dalam gumulan teks kitab suci. Ia berhasil memaparkan berbagai dimensi pembacaanya dari berbagai sudut pandang, terutama degan pendekatan culture studies. Teks tidak berdiri sendiri tetapi selalu diwarnai berbagai variable baik sisi simiotika, sejarah dan tradisi lokal. Pemahaman agama tidak hanya milik orang atau golongan yang menjadikan agama terasa milik kaum borjuis yang memliki wewenang doktrinasi yang berarti pemahamanya merupakan bagian the mind of God (keinginan Tuhan). Yasraf berhasil mengulas dengan baik bagaimana kita mendekati teks yang penuh dengan multi tafsir.

M.Sholihin. Alumni Al-azhar kairo dan mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun