Mohon tunggu...
Muhamad Alayubi
Muhamad Alayubi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Letupan Demokrasi Kriminal dalam Sidang Gugatan Pilpres

15 Agustus 2014   18:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:28 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di dalam bukunya yang berjudul Democracy Kills: What's So Good About Having the Vote?, Humphrey Hawksley menulis sebuah ulasan menarik terkait perbandingan harapan hidup warga di negara demokratis dan Negara diktator yang ternyata di luar ekspektasi. Jurnalis senior BBC ini mencontohkan harapan hidup warga negara demokratis Haiti hanya mencapai 57 tahun dibandingkan dengan mereka yang hidup di bawah rezim diktator Kuba yang warganya memiliki harapan hidup 77 tahun atau 20 tahun lebih lama.

Dicekoki oleh propaganda bahwa demokrasi adalah sistem politk terbaik yang harus diikut oleh umat manusia, membuat pendewaan terhadap demorkasi tak terbedung sehingga dengan alasan menggiring demokratisasi di dunia, banyak konflik akhirnya terjadi seperti di Mesir, Libya dan Irak yang hingga hari ini justru menjadi Negara penuh darah dan kebencian, di ronrong oleh perang saudara dan perpecahan akut akibat pemaksaan demokrasi yang ternyata tak diikuti oleh kesiapan warga masyarakatnya untuk hidup berdemokrasi secara sehat dan fair.

Timbulnya perpecahan, konflik horizontal dan berbagai tindak kriminalitas yang berujung pada dekonstruksi bangunan demokrasi yang sudah sejak lama dirawat menjadi kekhawatiran yang terus membayangi perjalanan politik Indonesia yang sangat majemuk. Resiko dari keberagaman dan perbedaan kompleks bahkan pada beberapa sisi menjadi sangat ekstrim baik secara kultural, geografis dan juga stratifikasi ekonomi adalah potensi besar yang bisa menimbulkan letupan demokrasi kriminal. Karena itu, tanggungjawab kita bersama adalah meminimalisir potensi-potensi konfliktual tersebut dengan memfokuskan diri pada perjuangan mencapai tujuan bernegara untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

Namun, suhu politik yang memanas akhir-akhir ini nampaknya tak bisa dibendung untuk memancing timbulnya letupan kecil yang oleh beberapa pihak tak bertanggungjawab berusaha dikipas-kipasi agar membara dan membakar laiknya angkara murka. Salah satu yang sedang trending adalah serangan yang diderita oleh Novela Nawipa pasca memberikan kesaksian pada sidang perselisihan Pilpres di Mahkamah Konstitusi Jl Medan Merdeka Barat, Jakpus, pada Selasa (12/8/2014).

Perempuan berkulit hitam dan berambut keriting yang kemudian menjadi populer akibat keluguan dan kelucuannya di ruang sidang, mengalami teror dan kekerasan. Tak hanya kekerasan verbal dan bully di media sosial dan media massa, Novela bahkan telah mengalami serangan fisik yakni menurut keterangan Polda Papua, pagar rumahnya di hancurkan yang aksi vandalisme tersebut dikaitkan dengan kesaksian Novela di persidangan.

Kejadian yang dialami oleh Novela ini menjadi indikasi bila di tengah-tengah kita yang hampir mabuk berpesta demokrasi sehingga mengakibatkan masyarakat terpecah, ternyata ada benih konflik yyang bila dibiarkan bisa menimbulkan chaos sehingga meruntuhkan bangunan demokrasi yang telah coba kita tegakkan. Kekerasan yang dialami Novela tentu saja bukan satu—satunya terjadi akibat Pilpres ini. Banyak kekerasan lain, seperti pembakaran rumah politisi PKS, perampokan kotak suara, penyerangan kantor biro TV One di Jogjakarta dan aneka bentuk kekerasan lain. Yang sangat massif, tak terkontro dan liar adalah kekerasan verbal di media sosial. Caci maki karena perbedaan pandangan politik seolah menjadi hal biasa. Sungguh mengerikan.

Mengutip dari Yudi Latif, demokrasi Indonesia yang didarahi aneka bentuk kekerasan mengindikasikan, bahwa pelaksanaannya belum mampu mentransformasikan gerak sentripetal kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Pergeseran dari Orde Baru ke Orde Reformasi hanyalah peralihan dari situasi otoriter menuju situasi lemah otoritas (hukum) dengan risiko yang lebih mengerikan.

Kenyataan ini mestinya jadi renungan kita bersama. Bahwa ada pekerjaan rumah yang besar, yang melebihi sekadar perayaan kemenangan atas usainya pesta demokrasi di gelar. Yakni menginjeksi kedewasaan dalam perbedaan. Karena disinilah batin dari esensi demokrasi, yakni perbedaan. Perbedaan di alam demokrasi merupakan sebuah keniscayaan sehingga berupaya menyeragamkan perbedaan tersebut adalah melawan kehendak sunnnatullah dalam berdemorkasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun