[caption id="attachment_355044" align="aligncenter" width="162" caption="(Dulu berkoar tidak setuju dengan kenaikan harga BBM sekarang setelah berkuasa, Ingat partai wong cilik sumber foto suaranews.com)"][/caption]
Sepeda motor di Indonesia pertama kali dimiliki oleh seorang berkebangsaan Inggris bernama John C. Potter pada tahun 1893.   Sehari-hari J.C. Potter bekerja sebagai Masinis Pertama di pabrik gula Oemboel (baca: Umbul) Probolinggo, Jawa Timur.  J.C. Potter juga dikenal sebagai penjual mobil yang mendapat kepercayaan Sunan Solo untuk mengurusi pengiriman mobil pertamanya dari Eropa. Meski sudah ada sejak abad 18, tapi hingga sekarang belum ada motor made in Indonesia?
Saat itu, motor dan mobil hanya dimiliki oleh orang asing dan ningrat pribumi. Memang sejak kehadiran hingga kini pun kendaraan selain fungsi juga bisa berarti gengsi. Lihat saja, di jalan Jakarta yang macet, mobil-mobil pribadi ukuran besar seperti Hummer Rubicon juga tak sepi melintas. Sebagai symbol status, orang dinilai dari tunggangannya. Jadi kalau Anda mau pinjam uang di Bank, dengan mengendarai motor butut sulit untuk kemungkinan di Acc. Triknya, Anda harus rental dulu mobil mewah, untuk datang ke Bank.
Saat ini di jalan, terutama jalan ibukota, penuh oleh motor. Bahkan ibu-ibu di kompleks dan anak-anak sekolah sudah jamak menggunakan motor. kendaraan roda dua ini sudah menjadi sarana sehari-hari, yang urgen. Selain irit juga asik untuk selap-slip. Benar-benar milik wong cilik.
Makanya yang paling terpukul dengan rencana kenaikan BBM adalah wong cilik. Biasanya hukum latah berlaku, begitu dengar akan ada barang yang naik, spekulan pun beraksi menimbun. Di Cirebon ANgkot kesulitan mendapatkan bensin. Di Kuningan Jawa Barat harus antri 6 jam. Di Yogyakarta, di eceran dijual perbotol Rp8000 (perbotol kurang dari 1 liter).
Menurut pengamat BUMN Muhammad Said Didu, setidaknya 80% subsidi BBM dinikmati orang kaya, yang 50% tinggal di Jakarta. Mobil orang kaya itu memakai 20 liter bensin per hari, atau makan subsidi haram Rp 6 juta/bulan. Di kultwitnya dia menulis, Di depan publik, semua seakan2 akui bhw subsidi BBM salah sasaran, tapi kebijakan yg diambil sebaliknya. Adakah "penguasa" dibalik ini.
Padahal jika diagnosisnya jelas seperti itu, solusinya seharusnya jelas pula: tarik pajak energi Rp 72 juta/tahun dari setiap pemilik mobil pribadi, bukannya menaikkan harga bensin dan solar. Apa Pemerintah berani?
Pernyataan wapres terpilih, Jusuf Kalla (JK) untuk menaikkan harga BBM dinilai sesuai dengan 'JK style'. Pengamat politik Universitas Indonesia (UI), Agung Suprio menyatakan, JK dikenal dengan pernyataan khasnya. "Pemerintah adalah memerintah, memberi perintah. Risiko harus diambil, demikianlah 'JK style'," kata Agung saat dihubungi Republika, Sabtu (23/8) siang.
Menurut Agung, gagasan JK untuk menaikkan harga BBM sudah benar. Karena kebijakan itu membuat anggaran APBN menjadi timpang. Pemerintah, lanjutnya, harus berani menghapus subsidi BBM. Kemudian mengalokasikan kelebihannya untuk perbaikan infrastruktur dan pelayanan masyarakat.
Menurut dia, setiap kebijakan menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Karenanya, tergantung bagaimana strategi pemerintah untuk menjelaskan pentingnya menaikkan harga BBM demi kepentingan yang lebih luas. Agung menambahkan, JK sudah dikenal sebagai sosok yang berani mengambil risiko untuk suatu kebijakan yang tidak populis.
Sebelumnya, JK mengklaim tidak ada solusi lain untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi yang kian merosot selain menaikan harga BBM. Karena anggaran pemerintah dinilai terbebani biaya rutin. Termasuk tingginya subsidi BBM. Jusuf Kalla mengakui, anggaran negara tekor akibat terlalu banyak dipakai untuk subsidi BBM. Sebagian besar subsidi BBM dinikmati orang kaya. Dia usul menaikkan harga BBM.
Pertanyaannya, mengapa kok malah menghukum seluruh warga negara untuk kesalahan 10 juta pemilik mobil pribadi? Tanya seorang warga.
Tapi lain JK lain pula Jokowi, dia menilai kenaikan harga bahan bakar minyak sebaiknya juga dilakukan oleh jajaran pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut dia, lebih baik jika beban kenaikan tidak hanya dibebankan kepada pemerintah berikutnya.
"Lebih baik kalau beban itu ada yang diambil oleh pemerintah sekarang. Kalau memungkinkan ini tentu saja mengurangi beban kita ke depan," kata Jokowi di Balai Kota, Rabu, 20 Agustus 2014.
Jokowi tampaknya ingin berbagi beban dengan SBY. Dia mengatakan waktu yang tersisa sebelum pelantikan sebenarnya masih memungkinkan bagi jajaran pemerintahan SBY untuk menaikkan harga BBM. "Kenapa tidak? Waktunya masih dua bulan," kata dia.
Silakan saja mereka para elit berdebat, tapi kondisi lapangan sudah berbicara lain. Selain Premium sulit, warga pun jadi kebingungan untuk beraktifitas. Kalau pemerintah efektif sebenarnya subsidi bisa tepat sasaran, caranya yang dengan pengawasan lebih ketat ke SPBU. Lha, masak menangkapi pengikut  ISIS yang di bawah tanah bisa tapi mengawasi SPBU tidak bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H