Mohon tunggu...
Muhamad Alayubi
Muhamad Alayubi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jangan Ada Dusta di Antara Capres

18 Agustus 2014   15:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:15 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408326060779393714

[caption id="attachment_353548" align="aligncenter" width="284" caption="(Sumber Foto porosnews.com)"][/caption]

Banyak orang beranggapan, dari dulu memang pemilu curang. Ketika Pemilu Orde Baru terjadi penggiringan massa untuk memilih partai penguasa. Tujuannya untuk melanggengkan penguasa Orba. Terjadilah apa yang disebut sebagai Terstruktur, Sistemik dan Massif (TSM). Jauh sebelum masa kampanye sudah ada Penataran, santiaji atau pembekalan. Penataran diadakan, bahkan dari pemilih pemula atau pelajar SMA (Sekolah Menengah Atas) atau SMU sekarang. Sebagaimana penataran alias intimidasi juga dilakukan di birokrat Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia). Pembaca tentu masih ingat Luber diplesetkan menjadi ‘Lubangi Beringin’.

Jurdil dan Luber, serta seabrek istilah pemilu lainnya hanya jargon, bedak pemanis muka penguasa. Padahal aslinya pemilu penuh bopeng di sana-sini. Saat itu pemilu benar-benar pesta untuk penguasa. Kebohongan yang terus- menerus sudah diterima menjadi sebuah kebenaran. Kalau pemilu curang memang sudah dari sononya!

Jadi masyarakat sudah maklum, untuk apa dipermasalahkan. Apalagi masyarakat sudah letih, kita harus segera membangun. Segera mempersatukan apa yang terserak selama pemilu (Pilpres) kemarin. Kira-kira begitu anggapan yang ingin disebarkan sekarang ini.

Tapi, tentu saja lain dulu lain sekarang. Sekarang era Refromasi, tak ada tekanan penguasa. Tak ada intimidasi tentara. Sekarang tinggal mau atau tidak kita memperbaiki diri. Kejujuran dipertaruhkan. Apalagi fasilitas untuk menerapkan kejujuran bagi pemilu bersih memang tersedia, ada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Di luar itu ada Polisi dan Tentara yang netral. Ada saksi-saksi di TPS yang bisa diandalkan. Ada pihak kampus, mahasiswa dan dosen yang mengawal. Ada juga pihak asing yang memantau. Sekali lagi semua bekerja tanpa tekanan. Karena memang tak ada partai dominan. Iklim Demokrasi sangat menunjang untuk pemilu bersih.

Tinggal terpulang kepada bangsa ini sendiri maukah di era Reformasi ini kita memperbaiki diri. Mari kita manfaatkan fasilitas ini, iklim yang kondusif ini. Jadi jargon luber dan jurdil bukan hanya idealisme di kampus-kampus atau pidato-pidato penataran saja. Tapi benar-benar bisa dilaksanakan, tak hanya merdu kedengaran di tataran filosofis belaka.

Penyimpangan inilah yang disoal Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis. Menurutnya, daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) yakni pemilih yang menggunakan KTP tidak sesuaikonstitusi. DPKTb tidak diatur dalam undang-undang.

"Pemilu itu dilaksanakan dalam negara hukum dan demokratis. Maka tidak ada pelanggaran pemilu yang tidak didasarkan pada hukum. Dalam konteks itu saya ingin menyatakan bahwa khusus mengenai apa DPKTb tidak sah karena tidak diatur dalam undang-undang," ujar Margarito saat menyampaikan pendapatnya di ruang sidang utama MK, Jakarta, Jumat (15/8/2014).

Margarito mengatakan memilih merupakan hak warga negara. Namun, kata dia, jika jalan pikirannya adalah demi tergunakannya hak-hak warga negara tanpa landasan undang-undang, maka pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak perlu ada. Jadi, asal berusia 17 tahun atau sudah menikah masyarakat bisa menggunakan hak pilihnya tanpa harus terdaftar sebagai pemilih.

"Saya berpendapat DPKTb bertentangan dengan hukum tidak punya dasar hukum dan harus dikualifikasi sebagai pelanggaran konstitusi," kata Margarito.

Dengan adanya pelanggaran tersebut, lanjut Margarito, Pemilu yang telah dilaksanakan menyebabkan hilangnya keabsahan konstitusional Pemilu itu sendiri. Sebab kata dia, Pemilu adalah peristiwa hukum konstitusi.

"Pelanggaran terhadap prosedur berakibat tertangguhkan bahkan menyebabkan hilangnya keabsahan konstitusional Pemilu presiden itu. Ketidakabsahaan Pilpres tidak didasarkan sifat pelanggaran atas prosedurnya atau jangkauan pelanggaran itu dalam hal ini TSM (terstruktur, sistematis, dan masif)," tukas Margarito.

Sebelumnya penambahan jumlah pemilih dalam DPKTb menjadi dalil permohonan Prabowo-Hatta dalam sengketa Pemilu di Mahkamah konstitusi (MK).

Selain Margarito, ahli yang dihadirkan Tim Advokasi Prabowo-Hatta Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin. Senada dengan pendapat Margarito Kamis diatas, Irman juga mengatakan Kecurangan Pemilu dalam bentuk apa pun atau skala apapun merupakan Pelanggaran Hak Konstitusional.

“Yang pasti pelanggaran apa saja, apakah itu terstruktur, sistematis dan masif atau tidak, sesungguhnya sudah bisa jadi inkonstitusional, kalau hasilnya tidak sempurna dalam memenuhi hak,” kata Irman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun