Salah satu hasil perubahan UUD 1945 adalah adanya ketentuan mengenai pemilihan umu (pemilu) dalam Undang-Undang Dasar 1945 ketentuan ini diberikan untuk memberi landasan hukum yang lebih kuat bagi pemilu sebagai salah satu wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dapat kita liat selain pemilu ialah adanya pemilihan kepala daerah atau pilkada yang merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang ada di daearah. Hal ini merupakan adanya perkembagan sistim pemerintah daearah dalam hal pelaksanaan otonomi atau keleluasaan mengatur daearanhya sendiri. Sebelum adanya amandemen UUD 1945 pelaksanaaan pemerintah daerah begitu sentralistis, terpusat oleh pemerintah pusat. Sekarang kewenagan-kewenagan telah di berikan kepada pemerintah daerah untuk mengatur wilayah pemerintahanya.
Dinamika demokrasi di Indonesia begitu cepat dan pembahsan mengenai pelaksanaan pemilu, pilkada menjadi hal yang tidak pernah berhenti untuk di perbincangkan mulai dari Undang-Undang, penyelengaranya, peserta dan lembaga penyelesaian sengketa di bidang ini menjadi topik pilihan dan yang terus mengalami perubahan. Sebut saja Undang-Undang Pilkada yang dalam kurun waktu setahun terakhir telah mengalami perubahan sebanyak dua kali terhitung sejak tahun 2015 sampai 2016. Dinamika- dinamika ini tentunya menuai berbagai pro dan kontra karna sejatinya Undang-Undang tersebut akan banyak bersinggungan dengan berbagai pihak yang terkait di dalamnya. Tak terkecuali komisi pemilihan umum
Komisi pemilihan umum adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai penyelenggara pemilihan umum yang di berikan tugas dan wewenang dalam penyelenggaraan pemilihan berdasarkan ketentuan yang di atur dalam undang-undang. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota KPU. Pada pasal 9 di sebutkan tugas dan wewenang KPU diantanya (a) menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusanya bersifat mengikat; (b) mengoordinasi dan memantau tahapan pemilihan; (c) melakukan evaluasi penyelenggaraan pemilihan; (d) menerima laporan hasil pemilihan dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota; (e) memfasilitasi pelaksanaan tugas KPU Provinsi dan KPU Kabupaten / Kota dalam melanjudkan tahapan pelaksanaan pemilihan jika provinsi, kabupaten, dan kota tidak dapat melanjudkan tahapan pemilihan secara berjenjang dan ; (f) melaksanakan tugas dan wewenang lain yang di berikan oleh peraturan perundang-undangan.
Yang kemudian KPU mempersoalkan kewajiban KPU untuk berkonsultasi pada DPR dan Pemerintah dalam hal penyusunan peraturan KPU yang berujung pada pengajuan permohonan uji materi Undang-Undang No 10 Tahun 2016 oleh KPU. Permohonan tersebut di ajukan pada tanggal 11 Oktober 2016 dengan nomor registrasi 92/PUU-XIV/2016 pada kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Pemohon menyatakan norma pasal 9 huruf a UU Pilkada, khususnya sepanjang frasa “menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusanya bersifat mengikat” secara potensial meruntuhkan kemadirian lembaga penyelengara pemilu, sebagaimana di amanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini bertentangan dengan agenda reformasi terbentuknya lembaga penyelenggara pemilihan yang mandiri, selain itu menurut pemohon dengan adanya forum konsultasi KPU dengan DPR dan Pemerintah akan membuka ruang pengaturan yang memihak sangat rawan conflict of interest dan tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
Mengacu dari permohonan yang telah di ajukan oleh KPU penulis beranggapan bahwa apa yang di khawatirkan KPU sangatlah berlebihan, dan tidak menilai bahwa upaya yang di lakukan oleh DPR dan Pemerintah merupakan bentuk pengawalan terhadap produk-produk hukum agar tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang ada di atasya selain itu forum konsultasi ini jika di kaji dari fungsi DPR akan cukup beralasan. Jika di lihat dari fungsi DPR dapat di golongkan menjadi tiga bagian yaitu : fungsi pengaturan (legislasi), fungsi pengawasan (control), fungsi perwakilan (representasi). Pembedaan ini, misalnya, dapat di lihat dalam UU MD3. Dalam praktik di Indonesia, fungsi legislasilah yang di anggap utama, sedangkan fungsi pengawasan dan penggangaran adalah fungsi kedua dan ketiga sesuai dengan uruta penyebutan dalam undang-undang. Padahal ketiga-tiganya, sama-sama penting. Bahkan dewasa ini, di seluruh penjuru dunia, yang lebih di utamakan justru adalah fungsi pengawasan.
Parlemen pertama-tama haruslah terlibat dalam mengawasi proses perumusan dan penentuan kebijakan pemerintah maupun lembaga-lembaga yang memiliki fungsi eksekutif lainya, jangan sampai bertentangan dengan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama oleh parlemen bersama pemerintah. Pada pokoknya, undang-undang dasar dan undang-undang serta peraturan perundang-undangan pelaksana lainya mencerminkan norma-norma hukum yang berisi kebijakan atau state policy yang dituangkan dalam bentuk hukum tertentu yang tidak boleh bertentangan dengan state policy yang tertuang dalam bentuk hukum yang lebih tinggi. Setiap kebijakan dimaksud, baik menyangkut bentuk penuanganya, isinya, maupun pelaksanaanya haruslah di kontrol dengan saksama oleh lembaga perwakilan rakyat. Dalam praktik, sebenarnya fungsi kontrol ataupun pengawasan inilah yang harusnya di utamakan. Apalagi, pada hakikatnya, asal mula munculnya konsep parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat itu sendiri dalam sejarah berkaitan erat dengan kata le parle yang berarti to speak yang berarti “berbicara”. Artinya wakil rakyat itu adalah juru bicara rakya.
Dengan demikian menurut penulis forum rapat dengar pendapat dengan DPR dan Pemerintah untuk menyusun dan menetapkan PKPU oleh KPU yang keputusanya bersifat mengikat adalah hal yang wajar serta tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Jika di lihat dari fungsi pengawasan yang di miliki DPR dan fungsi pengawasan ini bisa di jalankan oleh DPR dan pemerintah mengigat penyusunan dan penetapan PKPU oleh KPU berisi kebijakan yang mencerminkan undang-undang yang telah di sepakati bersama DPR dan Pemerintah. Keterlibatan DPR dengan adanya hak untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan ataupun pertimbagan ini dapat di sebut juga sebagai hak untuk konfirmasi (right to confirm). Bahkan dalam hal yang lebih tegas menurut penulis dengan berdarkan pasal 74 UU MD3 tindakan KPU yang tidak melakukan rapat dengar pendapat dapat di berikan sanksi. Oleh karena itu secara a priori pendapat penulis sangatlah beralasan sepanjang hal ini tidak berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang akan di putus nantinya.
Oleh : Muhamad Saleh
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam
Kabid Kaderisasi Komunitas Debat Konstitusi FH UAD
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H