Pemilu itu layaknya suatu pesta yang selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia. Tidak lain dan bukan pemilu merupakan pesta demokrasi. Setiap lima tahun sekali, kita semua menyaksikan beragam kampanye dari para calon pemimpin yang berusaha menarik perhatian masyarakat di Indonesia. Namun, di balik kemeriahan pesta demokrasi, ada satu fenomena yang selalu datang seperti tamu tak diundang, ya benar, yaitu penyebaran berita palsu atau yang sering disebut hoax. Berita-berita ini, seringkali menyebar cepat di dunia maya dan sulit dibendung. Fenomena ini tentu sangat berbahaya, terutama ketika pemilu sedang berlangsung. Banyak pihak menggunakan hoax sebagai senjata untuk memengaruhi hasil pemilu.
Penyebaran berita palsu biasanya dilakukan oleh sekelompok orang yang disebut "buzzer". Buzzer ini biasanya dibayar oleh pihak tertentu untuk menyebarkan informasi, baik itu yang benar maupun yang palsu, dengan tujuan memengaruhi persepsi publik. Mengapa berita palsu ini bisa sangat marak di masa pemilu? Salah satu alasannya adalah karena banyak orang mudah terbawa suasana dan tidak melakukan verifikasi terhadap informasi yang mereka terima. Selain itu, di tengah sengitnya persaingan politik, ada banyak pihak yang ingin menang dengan segala cara, termasuk dengan menyebarkan hoax.
Buzzer memainkan peran penting dalam hal ini. Mereka tidak hanya menyebarkan berita palsu, tetapi juga secara aktif membentuk opini publik dengan tujuan untuk menjatuhkan lawan politik atau meningkatkan elektabilitas calon yang mereka dukung. Elektabilitas, atau tingkat popularitas pasangan calon di mata publik, menjadi target utama dari kampanye hoax yang dilakukan oleh para buzzer ini.
Apa itu hoax? Hoax adalah informasi yang salah atau menyesatkan yang sengaja disebarkan dengan tujuan menipu atau mengelabui publik. Sering kali, hoax terlihat sangat meyakinkan karena disajikan dalam bentuk yang seolah-olah benar, misalnya dengan menggunakan data yang dipalsukan atau gambar yang telah dimanipulasi atau  diedit. Dalam konteks pemilu, hoax sering kali berkaitan dengan isu-isu sensitif yang mudah memancing emosi publik, seperti agama, ras, atau kebijakan politik.
Namun, hoax hanyalah salah satu bagian dari fenomena yang lebih besar, yaitu gangguan informasi. Ada dua bentuk lain dari gangguan informasi yang tidak kalah berbahaya, yaitu misinformasi dan disinformasi. Misinformasi adalah informasi yang salah, tetapi disebarkan tanpa niat jahat. Misalnya, seseorang bisa saja tanpa sadar menyebarkan berita palsu karena mereka percaya berita itu benar. Di sisi lain, disinformasi adalah informasi palsu yang sengaja dibuat dan disebarkan dengan tujuan menipu atau memengaruhi publik, dan inilah yang sering kali dilakukan oleh buzzer.
Lalu, siapa itu buzzer? Buzzer adalah individu atau kelompok yang dibayar untuk menyebarkan informasi, baik yang benar maupun yang palsu, di media sosial. Mereka bekerja dengan cepat dan efektif, terutama di platform seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan WhatsApp. Mereka tahu bahwa di era digital ini, informasi menyebar dengan sangat cepat, dan siapa yang bisa menguasai narasi pertama, sering kali bisa memenangkan opini publik. Buzzer biasanya bekerja dengan menyebarkan hoax yang dirancang untuk merusak reputasi salah satu pasangan calon atau memuji-muji calon lainnya.
Elektabilitas pasangan calon menjadi target utama dari kampanye hoax yang disebarkan oleh buzzer. Elektabilitas merujuk pada seberapa besar dukungan atau popularitas seorang calon di mata publik. Ketika buzzer menyebarkan hoax, tujuan utama mereka adalah untuk merusak citra pasangan calon tertentu dan meningkatkan elektabilitas calon yang mereka dukung. Misalnya, mereka bisa saja menyebarkan berita palsu bahwa seorang calon terlibat dalam skandal korupsi, meskipun kenyataannya tidak demikian. Berita seperti ini sering kali dipercaya oleh sebagian masyarakat yang tidak sempat memeriksa kebenarannya, dan pada akhirnya bisa memengaruhi pilihan mereka di bilik suara.
Salah satu contoh nyata penyebaran hoax oleh buzzer terjadi pada pemilu sebelumnya. Banyak berita palsu yang beredar tentang calon tertentu, yang bertujuan untuk menurunkan elektabilitas calon tersebut di mata publik. Misalnya, ada hoax yang mengatakan bahwa seorang calon presiden adalah keturunan komunis, padahal tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut. Berita ini menyebar luas di media sosial, dan banyak orang yang percaya tanpa melakukan verifikasi. Akibatnya, citra calon tersebut di mata publik menjadi buruk, dan elektabilitasnya pun menurun.
Namun, tidak semua orang mudah terpengaruh oleh hoax. Ada juga masyarakat yang lebih kritis dan melakukan verifikasi terhadap berita yang mereka terima. Di sinilah peran media menjadi sangat penting. Media yang kredibel seharusnya berfungsi sebagai penjaga kebenaran, yang memastikan bahwa informasi yang mereka sampaikan kepada publik sudah terverifikasi dan benar. Sayangnya, tidak semua media mampu menjalankan peran ini dengan baik. Beberapa media bahkan ikut terlibat dalam penyebaran hoax, baik karena kesalahan verifikasi atau karena memang memiliki kepentingan politik tertentu.
Namun, ada juga upaya dari berbagai pihak untuk melawan penyebaran hoax ini. Beberapa media mulai lebih serius dalam melakukan cek fakta dan memberikan klarifikasi terhadap berita-berita yang beredar di masyarakat. Selain itu, muncul juga gerakan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan literasi digital dan membantu orang-orang untuk lebih kritis dalam menyaring informasi. Ini semua adalah langkah-langkah positif yang bisa membantu mengurangi dampak buruk hoax dalam pemilu.
Tapi tetap saja, buzzer dan hoax masih menjadi ancaman besar bagi demokrasi kita. Pemilu yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan dan program sering kali berubah menjadi ajang saling serang dengan menggunakan berita palsu. Ini tentu sangat merugikan, bukan hanya bagi pasangan calon yang menjadi korban hoax, tetapi juga bagi masyarakat yang terpaksa harus memilih berdasarkan informasi yang salah.