Wanita, selalu menarik dikaji dari segala sisi dan setiap sudut. Tidak terkecuali melihat kehidupan keluarga dan sosialnya dari sudut pandang Islam dan budaya. Jika berbicara dari aspek keagamaan, kajian seputar Wanita tidak akan terlepas dari kajian tentang mana yang wajib (atau mandub atau mubah) dan mana yang haram (atau makruh) untuk dilakukannya. Dewasa ini, banyak polemik seputar wanita yang seakan tidak ada habisnya untuk didiskusikan. Salah satunya adalah kebolehan atau batasan wanita untuk bekerja atau berkarir. Hal ini tentunya menyinggung banyak teks ayat atau hadis seperti larangan bepergian tanpa mahram, aturan berpakaian wanita ketika keluar rumah, bersalaman atau bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram-nya, hingga kapabilitas wanita sebagai pemimpin dalam suatu instansi kerja.
Beberapa negara seperti Iran, Arab Saudi, dan Afghanistan (Taliban) termasuk yang cukup ketat mengatur wanita saat keluar rumah. Penggunaan cadar, larangan menyetir mobil sendiri, atau larangan bepergian tanpa mahram, di beberapa daerahnya menjadi gambaran ketatnya aturan bagi wanita. Meskipun di beberapa kota di Arab Saudi seperti Riyadh dan Jeddah sudah diterapkan kelonggaran aturan berpakaian dan berinteraksi di luar rumah, namun citra Arab Saudi masih tetap tergambar sebagai daerah yang cukup ketat memegang prinsip aturan berpakaian dan interaksi bagi Wanita. Sebagian mereka beralasan bahwa pengetatan tersebut tak ubahnya seperti menjadikan para wanitanya layaknya Ratu, namun realitanya, tidak sedikit kasus KDRT yang terjadi di daerah-daerah tersebut.
Ketatnya aturan pakaian dan interaksi bagi Wanita, ketika disalah pahami, tidak jarang memberikan dampak negatif bagi Wanita. Mungkin kebanyakan kita pernah melihat berita yang diviralkan di beberapa media sosial tentang dua remaja putri di Aghanistan yang ketika berbelanja di sebuah toko, diminta untuk melepaskan cadarnya oleh penjual toko dengan iming-iming belanja gratis. Ketika dua remaja putri tersebut melakukannya, si penjual kemudian mengabadikannya dan menyeberluaskannya melalui internet. Ketika sampai berita ini kepada si Ayah dua putri tersebut, dikabarkan keduanya ditembak mati karena dianggap mencemari kesucian dan menjadi aib keluarga. Sedangkan si penjual, dipenggal kepalanya oleh masyarakat. Mungkin sebagian kita ada yang mengutuk penembakan sang ayah dan ada juga yang menyesali perbuatan si penjual. Namun di balik itu, hal ini, ketatnya aturan berpakaian, seakan menjadi permainan dan bahan olok-olok bagi sebagaian kalangan. Kita tidak dapat menghakimi prinsip setiap orang, tetapi ada baiknya jika kita melihat kembali aturan berpakaian wanita secara holistik dan tidak sekedar mengandalkan potongan-potongan teks Hadis atau bahkan Ijtihad beberapa kalangan.
 Begitu juga di beberapa negara mayoritas Islam yang melonggarkan para wanitanya untuk berkarir, kasus-kasus kekerasan terhadap wanita baik di lingkungan rumah tangga atau di luar rumah juga banyak terjadi. Hal ini menandakan bahwa pengetatan atau pelonggaran aturan untuk wanita bukanlah sebuah hal yang esensial. Tetapi membangun kesadaran menjaga diri dan menghormati sesama yang lebih urgent untuk diterapkan.
Wanita karir, atau wanita yang bekerja, sebenarnya bukanlah hal baru dalam ajaran Islam. Kalau bukan karena kepiawaiannya dalam berbisnis, tidak mungkin seorang Khadijah RA. bisa menjadi salah satu saudagar di Mekkah. Selain itu, salah satu Istri Rasulullah yang terkenal dermawan adalah Zainab binti Jahsy, janda Zaid bin Haritsah yang kemudian dinikahi Rasulullah. Zainab binti Jahsy terkenal dermawan dan suka barbagi bukan dari hasil sumbangan atau memanfaatkan posisinya sebagai Ummul Mukminin, tetapi beliau dikenal sebagai pengusaha yang dapat dikatakan bergerak di bidang tekstil, yaitu mengolah kulit untuk dijadikan bahan pakaian. Bahkan setidaknya ada dua Istri Nabi yang merupakan mompreneur. Â
Beberapa riwayat hadis ataupun atsar juga merekam situasi wanita pada masa Nabi Muhammad. Tidak sedikit dari mereka yang bekerja baik untuk membantu meringankan beban nafkah suami, seperti yang dilakukan Fatimah RA untuk suaminya Ali bin Abi Thalib RA, atau yang dilakukan Zainab istri dari Abdullah bin Mas'ud. Untuk kasus Zainab, dia bekerja sebagai penenun kain. Faktanya, dialah yang lebih banyak menanggung nafkah keluarga dari pada suaminya. Suatu ketika, Zainab pernah mangadukan kondisi rumah tangganya kepada Nabi Muhammad perihal dirinya yang lebih banyak menafkahi. Nabi menjawab bahwa baginya dua pahala; pahala sebagai istri dan pahala menafkahi. Tidak ditemukan satupun hadis yang justru melarang wanita untuk bekerja. Jelas sekali hal ini menandakan bahwa secara umum, sama sekali tidak ada larangan Wanita untuk bekerja membantu atau bahkan lebih berkesempatan mencari nafkah. Terkait ayat-ayat Alquran yang lebih memerintahkan laki-laki untuk bertanggung jawab, hal tersebut adalah perintah untuk para lelaki agar mampu menafkahi keluarganya, bukan larangan wanita untuk bekerja atau mencari nafkah. Sejatinya, tidak ada larangan dalam Islam terkait wanita untuk bekerja atau berkarir. Baik dalam bidang bisnis maupun Pendidikan seperti halnya Aisyah sebagai salah satu tenaga mengajar para Shahabat.
Kemudian, polemik lain muncul ketika zaman sekarang beberapa kalangan mencoba membatasi karir wanita. Seperti larangan keluar tanpa mahram, atau berinteraksi dengan lawan jenis, berdandan berlebihan, atau meninggalkan kewajiban keluarga karena kesibukannya. Redaksi-redaksi ayat dan hadis terkait permasalahan tersebut, sebaiknya tidak secara mutlak digunakan untuk membatasi gerak wanita di luar rumah karena di zaman Nabi pun wanita dibolehkan keluar rumah untuk keperluan tertentu seperti bekerja.
Di antara pisau analisa yang bisa digunakan untuk mengkompromikan larangan-larangan tertentu tersebut adalah Maqashid Syariah (filsafat hukum Islam). Maqashid Syariah yang berarti tujuan-tujuan atau nilai-nilai esensial pada syariat Islam, selalu berbicara pada dua hal besar; Maslahah (Kemasalahatan) dan Mafsadah (Kerusakan). Selain itu Maqashid Syariah menerapkan 5 prinsip dasar penjagaan yaitu; Hifzh al-Din (menjaga agama); Hifzh al-'Aql (menjaga akal); Hifzh al-Nafs (menjaga diri); Hifzh al-Nasl (menjaga keturunan), dan Hifzh al-Maal (menjaga harta).
Untuk kasus membolehkan wanita bekerja, selain adanya kebolehan teks syariat, berkarirnya seorang wanita apalagi istri atau ibu rumah tangga juga sebaiknya ditimbang dengan 5 prinsip Maqashid Syariah. Bekerja, selain menghasilkan harta untuk kelangsungan hidup dan keutuhan rumah tangga (Hifzh al-Nasl dan Hifzh al-Maal), pastinya dibutuhkan skill dalam bekerja sehingga membuat pikiran terus berguna (Hifzh al-'Aql). Namun, suasana kerja harus dipastikan kondusif guna keamanan semua orang (Hifzh al-Nafs) dan jenis pekerjaan juga harus dipertimbangkan kehalalan dan keharamannya guna menjaga keimanan (Hifzh al-Din).
Selain itu, ketika memang harus keluar rumah tanpa mahram, guna menjaga diri (Hifzh al-Nafs) dan kepatuhan terhadap syariat (Hifzh al-Din), maka dipersyaratkan khususnya bagi wanita, untuk memilih rute dan moda transportasi yang dapat menjamin prinsip tersebut. Begitu juga dalam hal berinteraksi dengan lawan jenis, baik pria maupun wanita, di tempat kerja atau di manapun di luar rumah, harus mampu menjaga prinsip Hifzh al-Nafs dengan saling menjaga diri dari segala bentuk kejahatan, Hifzh al-Nasl untuk tidak berhubungan sex di luar nikah, dan Hifzh al-Din untuk senantiasa bertakwa kepada Allah.
Selain itu, bekerjanya Wanita, jangan sampai melanggar prinsip Hifzh al-Nasl dengan menelantarkan keluarga baik anak maupun suami. Karena keutuhan rumah tangga, sebaiknya menjadi prioritas. Meskipun bekerja mencari nafkah juga dapat dikategorikan ke dalam prinsip Hifzh al-Nasl sekaligus Hifzh al-Maal, namun keutuhan rumah tangga harus menjadi tujuan terbesar (the greatest purpose) karena sejatinya kita bekerja demi keluarga. Namun, wanita dengan segala pertimbangan prinsip Maqashid Syariah tidak akan mampu berjalan lancar kalau tidak didukung oleh pasangannya (suami) yang juga menerapkan prinsip Maqashid Syariah secara bersama.