"Tongkat, kayu, dan batang jadi tanaman," sepenggal lirik lagu Kolam Susu milik Koes Plus berhasil menggambarkan betapa makmurnya Indonesia. Tak hanya itu, secarik pribahasa "Gemah Ripah Loh Jinawi" yang memiliki arti "tentram dan makmur serta sangat subur tanahnya" pun menjadi semboyan bangsa. Demikianlah potensi Sumber Daya Alam negara kita memang luar biasa melimpah, terdapat ratusan ribu ton hasil tambang, ratusan hektar terumbu karang beserta hasil laut yang berlimpah, bahkan hutan Indonesia menempati peringkat ke-3 terluas berdasarkan data dari Forest Watch Indonesia, sungguh aset yang sangat berharga bagi kehidupan generasi berikutnya. Berbicara mengenai hutan, Indonesia memiliki hutan hujan terluas di Asia yang terletak di Papua.Â
Hutan hujan ini termasuk hutan primer yang memiliki kematangan dari sisi ekologis dikarenakan usia yang cukup tua, sehingga dapat menjadi habitat satwa-satwa liar khususnya yang langka. Di Papua sendiri hutan ini dilindungi oleh masyarakat adat dan dimanfaatkan dengan seperlunya. Baru-baru ini, tercuat sebuah kasus  yang tampaknya menimbulkan sebuah polemik berkelanjutan bagi masyarakat adat maupun fungsi hutan.
      Hutan yang menjadi kesatuan dari hidup masyarakat adat Papua, malah menjadi wahana perluasan bagi perkebunan sawit. Dilansir dari BBC News Indonesia  (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54720759), Korindo Group perusahaan kelapa sawit asal Korea Selatan telah menguasai lebih banyak lahan dengan membuka hutan Papua lebih dari 57.000 hektar, bahkan dari bukti investigasi ditemukan pattern "pembakaran yang disengaja" secara konsisten pada konsesi Korindo tersebut.Â
Tak ayal, ini menimbulkan reaksi yang cukup hebat dari masyarakat adat Papua, hutan yang sebelumnya dijaga dan dilindungi olehnya, malah diusik untuk kepentingan perusahan. Awalnya, Korindo memberi harapan bagi para pemilik tanah ulayat dengan memberikan biaya pendidikan, ada rumah-rumah bantuan, sumur dan air bersih bahkan genset akan disediakan oleh perusahan, hal ini disampaikan ke Petrus Kinggo selaku koordinator 10 marga pemilik ulayat, bahkan diiming-imingi uang senilai 1 miliar rupiah yang dibagi ke 9 marga adat dikarenakan 1 marga mengundurkan diri. Akhirnya marga para pemilik ulayat diberikan kompensasi ganti rugi senilai Rp100.000 bagi setiap hektar hutan adat yang jadi hak miliki area PT Tunas Sawa Erma POP-E.
      Hutan primer yang menjadi habitat satwa-satwa langka dihargai hanya Rp100.000, sungguh menyayat hati bagi para pendengarnya. Jumlah tersebut bahkan masih kurang untuk membayar sebuah wifi rumahan yang terpasang di rumah-rumah kota besar setiap bulannya. Jika dikaitkan dengan jumlah yang dikeluarkan masyarakat Papua untuk membeli bahan bakar, Rp100.000 hanya mendapat 3 liter tak sampai 4 liter bahan bakar. Selain itu,  dibandingkan dengan kerugian alam yang ditanggung sungguh tidak ada apa-apanya, nominal tersebut terlihat tak masuk akal dikeluarkan oleh sekelas perusahan besar seperti Korindo yang banyak memiliki anak perusahan. Bahkan, jika dihitung secara kasar dalam upaya reforestation maka tidak akan sebanding dengan modal yang akan dikeluarkan. Terlebih, hutan sudah terbuka menjadi lahan, maka tanahya berubah tingkat kesuburannya. Nominal ganti rugi sekecil itu seharusnya segera diregulasi secara tegas oleh pihak Indonesia, khawatir perusahan lain akan mengikuti jejak tersebut dengan menyepelekan jumlah nominal yang dikeluarkan, yang seharusnya bisa lebih dari itu. Â
Hutan sebagai tempat konservasi alam malah dijadikan lahan kelapa sawit untuk memakmurkan perusahan. Bayangkan, ketika habitat satwa liar lama-kelamaan habis, hewan tidak akan survive, ujungnya pasti berupa kepunahaan spesies tertentu yang di alam jumlahnya cukup langka. Selain itu, Â manusia juga akan terdampak karena suhu bumi akan makin panas, efek rumah kaca makin menjadi-jadi, bahkan menyebabkan bencana alam yang tak terduga seperti longsor dan banjir karena berkurangnya daerah resapan air. Hal tesebut karena hutan merupakan kunci kehidupan mahluk hidup, meskipun bukan penghasil oksigen terbesar, namun keberadaan hutan dapat membuat kehidupan menjadi hidup.
Maka dari itu, marilah kita semua berintrospeksi diri untuk kehidupan kedepannya yang lebih baik. Masihkah kita melakukan sebuah konservasi terhadap alam yang kita miliki? Masihkah kita menjaga alam dengan tidak merusaknya? Masihkah kepedulian kita terhadapnya? Hidup kita, jiwa kita, tubuh kita, semua kehidupan mahluk hidup merupakan bagian dari alam tersebut. Kita bergantung kepada alam, alam menghidupi kita, tak ada pantasnya kita sebagai objek di dalam alam tersebut malah merusak alam yang kita tinggali bahkan menjadikan ladang investasi. Masyarakat bahkan bisa jadi tertipu dengan iming-iming perusahan dalam mensejahterakan, namun nyatanya tidak. Sungguh sebuah perenungan yang tak akan ada habis-habisnya jika terus saja mindset kita berpihak kepada kepentingan pribadi.
Semoga, masyarakat kapital yang memegang peranan sentral dalam ekonomi segara sadar akan bahayanya penyempitan wilayah hutan. Diri kita masing-masing juga perlu berupaya dalam menjaga keseimbangan ekosistem alam meskipun tak berdampak besar. Indonesia juga perlu menegaskan berbagai macam regulasi yang nampaknya dapat dimanipulasi oleh konglomerat kapitalis di luar sana, dengan cara meningkatkan komunikasi dan hubungan antar lembaga terkait lingkungan yang ada di negeri ini. Di Indonesia sendiri telah banyak lembaga pemerintah seperti Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Lingkungan Hidup, Badan Restorasi Gambut, Kementrian Pertanian dan lainnya. Bahkan telah banyak lembaga non-profit di bidang lingkungan Indonesia yang bergerak untuk kelestarian hutan dan lingkungan di indonesia. Jika semua lembaga tersebut bekerja sama dengan baik, maka akan meminimalisir masalah-masalah kehutanan sehingga dapat teratasi dengan baik. Maka dari itu, cintailah hutan kita, seperti kita mencintai diri dan bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H