Bunga di Taman Hati
Hari itu, langit Jakarta terlihat biru nan cerah, semakin memancarkan kehangatan pada musim panas. Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, hiduplah seorang perempuan tua berusia enam puluh tahun bernama Ibu Siti. Ia adalah sosok ibu yang memiliki senyum lembut dan mata yang selalu penuh kasih sayang. Baginya, keluarga adalah segalanya. Meskipun rumahnya sederhana, namun cinta yang tumbuh di dalamnya melampaui batas dinding-dinding kayu yang menyekat.
Ibu Siti telah menjalani hidupnya dengan sederhana namun penuh makna. Suaminya, almarhum Bapak Rahman, telah meninggal beberapa tahun yang lalu, meninggalkan Ibu Siti dengan tanggung jawab besar merawat keluarga. Empat orang anak yang sudah dewasa, tiga laki-laki dan satu perempuan, merupakan buah hati mereka yang menjadi pilar kebahagiaan ibu tersebut.
Pagi itu, seperti biasa, Ibu Siti sudah bangun sejak matahari terbit. Dapur kecilnya dipenuhi dengan aroma kopi yang menyedapkan. Suara gemerisik daun pintu yang terbuka menandakan bahwa anak-anaknya mulai berdatangan satu per satu. Mereka datang membawa senyum, pelukan, dan sejuta cerita.
Duduk di sekitar meja makan kayu yang usang, suasana di rumah itu menjadi semakin hangat. Cahaya mentari pagi menyoroti wajah-wajah anak-anak Ibu Siti, menyatukan mereka dalam kerinduan yang tumbuh seiring waktu. Setiap pagi menjadi waktu yang berharga bagi mereka untuk saling berbagi kisah, tawa, dan kasih sayang yang tumbuh kuat seperti akar pohon yang merajut tanah.
Nia, anak perempuan Ibu Siti, duduk di sebelah ibunya. Matanya berbinar-binar seperti bintang di langit malam. Ia adalah kebahagiaan bagi Ibu Siti. Nia bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah dasar, dan kecintaannya pada anak-anak menjadi cermin dari kasih sayang Ibu Siti pada keluarganya.
"Bagaimana hari ini, Ibu?" tanya Nia dengan senyum hangat.
Ibu Siti tersenyum lembut, "Alhamdulillah, Nak. Hari ini adalah hari yang indah, seperti setiap hari kita bersama."
Anak-anak Ibu Siti tertawa riang. Mereka setuju bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal-hal besar, tetapi terkadang muncul dari momen-momen kecil seperti sarapan bersama di pagi hari.
Hari itu, keluarga Ibu Siti merencanakan pergi ke taman bermain, tempat yang menjadi saksi bisu pertumbuhan anak-anak mereka. Meskipun tempat itu sederhana, namun penuh kenangan yang membentuk jalinan kebersamaan mereka. Ibu Siti duduk di kursi goyang di tepi taman, melihat anak-anaknya tertawa riang seperti anak-anak kecil.
Nia mendekati ibunya, memandanginya dengan mata lembut. "Terima kasih, Ibu, karena selalu menjaga kami dengan penuh kasih sayang. Kami berutang banyak pada Ibu."