Istilah toleransi memang berasal dari Barat yang digunakan untuk menghormati dan menghargai segala perbedaan, sehingga yang berbeda-beda tetap dapat bertemu secara harmonis. Toleransi juga selalu digaungkan untuk mengikis perilaku sosial yang diskriminatif (pembedaan berdasarkan status sosial).Â
Dengan toleransi, perbedaan dan keragaman dapat menjadi sesuatu yang indah, atau kalau terjadi konflik menjadi dapat terselesaikan. Konsep seperti ini dalam kehidupan sosial harus ada dan dimiliki oleh setiap orang. Jika tidak, perbedaan dan keragaman di masyarakat akan menyebabkan pertengkaran/ konflik sosial, sehingga membuat hidup kurang rukun/harmonis.
Toleransi bukan ada dengan sendirinya di dalam jiwa setiap manusia, tetapi toleransi menjadi satu kata kerja atau kata sifat yang harus diupayakan. Kesadaran untuk menghormati dan menghargai orang lain dapat menjadi awal terbangunnya toleransi. Toleransi juga dapat dimulai dari tidak merendahkan pihak lain dan tidak mengunggulkan diri sendiri. KH. Mustofa Bisri pernah mengatakan bahwa, "merendahkan orang lain hanya mempertegas kerendahan diri sendiri Pernyataan ini dapat mempertegas bahwa sikap menghargai, menghormati, dan bertoleransi sama dengan menghormati diri sediri.Â
Kalau kita tidak ingin diremehkan orang lain, maka jangan merendahkan orang lain. Sementara setiap orang pasti tidak ingin direndahkan oleh siapa pun. Artinya, melakukan penghormatan, penghargaan, dan toleransi terhadap orang lain adalah suatu keharusan, hukumnya wajib.
Di Indonesia, konsep toleransi sebenarnya sudah dimiliki dan menjadi tradisi dengan adanya istilah tenggang rasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknainya sebagai sikap dapat atau ikut menghormati dan menghargai perasaan orang lain. Istilah bahasa Jawa yang menunjukkan makna yang sama dengan tenggang rasa adalah teposeliro. Kedua istilah ini sudah mengakar dan barangkali setiap daerah di Indonesia memiliki bahasa sendiri dengan arti yang senada. Ini menunjukkan bahwa dalam tradisi bangsa Indonesia, toleransi sudah terbentuk dan menjadi kebiasaan hidup di masyarakat Maka tidak heran jika masyarakat Indonesia yang beragam dan majemuk dapat hidup berdampingan dan harmonis. Memang terkadang teradi konflik sosial karena adanya perbedaan-perbedaan di masyarakat, namun skalanya relatif kecil dan mudah teratasi.
Ada satu kearifan atau kebijaksanaan lokal yang dapat digambarkan untuk menunjukkan adanya sikap tenggang rasa atau teposeliro. Misalnya masyarakat Kudus yang hingga sekarang memiliki kebiasaan untuk memilih kambing atau kerbau ketika menyembelih hewan kurban. Menyembelih sapi hampir tidak ditemukan di Kudus, meski saat ini ada beberapa. Dulu malah tidak ditemukan sama sekali. Tradisi ini bukan terjadi tanpa sebab yang melatarbelakanginya. Di beberapa daerah sekitarnya; Pati, Rembang, Jepara, Demak, Semarang, sapi sudah biasa menjadi hewan kurban, tapi di Kudus tidak demikian.
Tradisi ini memiliki latar belakang dari kehidupan para pendahulu, khususnya Sunan Kudus. Kudus sebelum men- jadi kota santri, masyarakatnya banyak yang menganut agama Hindu-Buddha. Masyarakat yang beragama Hindu mengaggap sapi adalah hewan yang disucikan dan disakralkan. Sapi bagi penganut Hindu harus dihormati dan dilindungi sebagai simbol kehidupan yang bersih dan suci. Sunan Kudus sebagai tokoh Islam waktu itu menyarankan warganya untuk tidak menyembelih sapi ketika hari kurban.
Jelas sekali Sunan Kudus melarang atau menganjurkan kepada orang muslim untuk tidak menyembelih sapi bukan karena ada larangan ajaran Islam, namun maksudnya adalah agar tidak menyakiti hati tetangga yang beragama Hindu. Orang Islam dalam menjalankan syariatnya diminta tetap memperhatikan hal-hal yang bersifat sosial, seperti menghargai perasaan umat lain. Sunan Kudus menekankan tenggang rasa/teposeliro untuk menghargai perasaan penganut agama lain.