Sebelumnya, perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud politik di sini adalah “politik yang tengah dijalankan sebagian besar negeri-negeri di dunia saat ini yang berdasarkan asas demokrasi dengan sejumlah turunannya semisal partai politik, kampanye politik, parlemen, dan sebagainya”. Jadi, bukan dalam artian siyasah asy-syar’iyah yang merupakan politik berdasarkan petunjuk syariat Allah dan Rasul-Nya.
Tentu sudah bukan rahasia lagi, dewasa ini banyak kaum Muslimin di tanah air yang begitu gandrung dengan obrolan-obrolan bertemakan politik seiring dengan digelarnya Pilkadal, Pileg dan Pilpres berikut segala tetek bengek yang menyertai serta membumbuinya. Uniknya, kendati dua hajatan politik terbesar di negeri ini telah usai, obrolah seputar politik masih juga laris manis. Teranyar, topik politik yang tengah booming adalah tentang RUU Pilkada yang intinya mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah, dari dipilih langsung oleh rakyat menjadi dipilih oleh anggota DPRD.
Sungguh geli mendapati banyak orang dari level mahasiswa hingga ibu rumah tangga ikut-ikutan latah berkomentar seputar hal itu. Seolah-olah topik tersebut merupakan permasalahan yang teramat sangat penting yang kelak bakal menentukan seseorang masuk surga ataukah neraka. Sebagian dari mereka bahkan menjadikan sikap terhadap RUU Pilkada merupakan tolak ukur kebenaran. Misal dengan mengatakan “mendukung RUU Pilkada adalah mengkhianati rakyat” atau sebaliknya.
Sekiranya kelompok-kelompok fanatikus politik tersebut menyadari, sistem pepolitikan demokrasi ini berdiri di atas landasan yang teramat sangat batil, tentulah mereka enggan membuang waktu berjam-jam memelototi layar televisi demi up date berita politik. Untuk itulah, saya coba merangkumkan sejumlah dampak negatif dari ‘kecanduan politik’ dengan maksud mengetuk hati diri penulis dan juga pembaca agar terhindar dari fitnah politik tersebut.
Pertama, ‘kecanduan politik’ menyebabkan seseorang menyia-nyiakan waktu. Ia rela menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV demi mengikuti perkembangan politik. Padahal tak jarang ia tidak mendapat apa-apa, selain rasa jengkel yang menggumpal lantaran apa yang terjadi dari dinamika politik tak sebagaimana yang dikehendakinya.
Kedua, ‘kecanduan politik’ menyebabkan seseorang menyimpan rasa benci dan dengki berlebih-lebihan tehadap tokoh atau partai politik yang menjadi lawan politik idolanya. Bahkan acapkali kebencian tersebut menjerumuskannya ke dalam perbuatan ghibah dan fitnah berkelanjutan yang ditujukan terhadap lawan politik.
Ketiga, ‘kecanduan politik’ menyebabkan seseorang gemar berdebat yang mana perdebatan kusir tersebut akan mengeraskan hati dan menjadikan pelakunya susah menerima kebenaran.
Keempat, ‘kecanduan politik’ menyebabkan seseorang membabi buta membela tokoh politik idolanya. Bahkan kadar pembelaan tersebut melebihi kadar pembelaan terhadap agamanya. Tak jarang manakala sang idola dihina ia marah bukan kepalang. Sebaliknya tatkala agamanya dilecehkan, ia bersikap masa bodoh, acuh tak acauh.
Kelima, ‘kecanduan politik’ bisa membunuh rasa malu. Tengoklah bagaimana para analis politik di layar kaca yang saling berseberangan tanpa risih memamerkan kelihaian bersilat lidah, saling mencaci, dengan ditonton jutaan orang.
Keenam, ‘kecanduan politik’ bisa menurunkan muru’ah seseorang. Renungkanlah! Bagaimana seorang da’i yang terjebak dalam jeratan politik, maka akan terjatuh wibawanya dan orang-orang akan memberikan stigma kepadanya ‘da’i politik’.
Ketujuh, ‘kecanduan politik’ menyebabkan seseorang lalai dari mengkaji pokok-pokok akidah, akhlak, fikih, dan ilmu-ilmu syar’i lainnya yang mana hal terebut jauh lebih bermanfaat baginya. Para pecandu politik akan menghabiskan energi untuk menelaah bagaimana kira-kira yang terjadi, mereka-reka, menduga-duga hanya berdasar kepingan-kepingan berita politik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan validitasnya.
Kedelapan, ‘kecanduan politik’ menyebabkan seseorang gemar berbohong atau melebih-lebihkan dari realita. Misal, ia mengatakan tokoh politik A telah berbuat begini begitu, meskipun faktanya tidak demikian.
Kesembilan, ‘kecanduan politik’ tak jarang menyeret seseorang pada akidah batil, misal dengan menghubung-hubungkan rentetan peristiwa politik saat ini dengan primbon Jayabaya. Maka alangkah ruginya jika hobi bergosip politik justru menjerumuskan pada keyakinan yang merupakan akidah kufur.
Tentu masih banyak poin-poin lain dari bahaya ‘kecanduan politik' yang sekiranya dikupas satu demi satu mungkin bakal menghabiskan berbotol-botol tinta. Tetapi apa yang sedikit ini semoga dapat menjelaskan, alangkah buruknya sistem politik demokrasi yang bahkan ketika seseorang hanya berperan sebagai pendengar atau penonton setia saja ternyata bisa terkena getah keburukan berlipat-lipat. Apalah lagi mereka yang terjun langsung ke dalamnya.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H