Islam Nusantara, satu frase yang tiba-tiba populer belakangan ini begitu memantik perhatian banyak pihak. Mereka yang pro terhadap pencetusan istilah ini berargumen, "Islam Nusantara adalah satu model keislaman yang sesuai dengan karakter budaya bangsa yang berasaskan falsafah Bhineka Tunggal Ika. Dengan Islam Nusantara, bangsa Indonesia dapat membumikan Islam. Dengan kata lain, Islam Nusantara adalah satu mazhab dalam memahami Islam berdasarkan perspektif kultur tanah air. Kalau sudah begitu, tak diragukan lagi bahwa Islam Nusantara adalah Islam damai, Islam toleran, Islam yang ramah, Islam yang akomodatif terhadap budaya-budaya lokal sehingga sangat cocoklah diamalkan di indonesia."
Lebih lugas lagi, para pencetus dan penyokong Islam Nusantara membeberkan 'manfaat besar' sekiranya ideologi tersebut dibahbiskan sebagai mazhab resmi di Indonesia, yakni sebagai resep jitu menghadang paham radikal semacam ISIS. Benarkah demikian? Ada Baiknya kita telaah hal ini secara lebih detail!
Antara JIL dan JIN
Sebelum terbentuknya jaringan Islam Nusantara (JIN), di negeri ini jauh-jauh hari sudah muncul terlebih dahulu jaringan Islam Liberal (JIL). Misi JIL ini, tak lain tak bukan adalah menafsirkan teks-teks Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan sebebaas-bebasnya berdasarkan konteks moderenitas. Contoh gampangnya, menurut kalangan JILÂ makna "Innad diina 'indallaahil Islam" bukan "agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam", akan tetapi "agama apa saja diterima di sisi Allah, asalkan pemeluknya berserah diri kepada Allah dengan mengamalkan ajaran agamanya masing-masing." Dengan demikian, hakikat JIL adalah merobohkan bangunan Islam dari pondasinya (tauhid), hingga tak ada yang tersisa dari agama yang haq ini. Maka tak usah diragukan lagi, JIL hakikatnya merupakan agama warisan para orientalis yang menghendaki padamnya cahaya Allah di negeri tercinta.
Market utama dari ideologi JIL adalah kalangan mahasiswa maupun intelektual-cendekiawan berbagai perguruan tinggi Islam baik negeri atau swasta di Indonesia. Target JIL adalah agar perguruan tinggi Islam mampu melahirkan kaum cendekiawan Muslim yang berpemikiran inklusif, berkiblat ke barat dan berakidah pluralisme.
Nah, jika JIL marketnya adalah kalangan intelektual perguruan tinggi maka jaringan Islam Nusantara (JIN) menggarap kalangan umat Islam lebih luas lagi, termasuk kalangan pesantren tradisionalis.... Jika JIL, sumber ideologinya adalah falsafah Barat, maka JIN sumber ideologinya adalah falsafah lokal. Namun demikian, meski beda sumber dan beda market, hakikatnya misi JIL dan JIN adalah sama, yakni menolak Islam yang murni, Islam yang diajarkan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam kepada para sahabatnya... Mereka hendak mengganti ajaran Islam yang murni dengan ajaran Islam yang sudah terkontaminasi oleh isme-isme di luar Islam.
Demi tercapainya misi mereka, para pegiat JIL dan JIN lagi-lagi mengangkat isu lawas 'wahabi' untuk menyerang para dai yang menyeru kepada Islam yang haq, Islam yang diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam kepada para sahabatnya....
Islam Nusantara, dan Paranoid terhadap Dakwah Salafiyyah
Susah buat dipungkiri, seiring dengan munculnya ide Islam Nusantara, muncul pula sejumlah kampanye hitam terhadap apa yang disebut sebagai "Islam Arab." Para pegiat JIN mengampanyekan bahwa kita kaum Muslimin Indonesia sudah semestinya bangga dengan produk Islam lokal, bukan Islam ala Arab...Yang dimaksud dengan Islam Arab oleh para pegiat JIN adalah lagi-lagi Islam murni yang menolak akulturasi ajaran Islam dengan budaya lokal. Islam Arab, dalam perspektif mereka adalah Islam yang menjaga kemurnian tauhid sehingga menolak keras pelestarian budaya2 lokal yang berbau syirik seperti ruwatan, upacara larung kepala kerbau di laut, atau ritual-ritual bid'ah warisan tradisi pra-Isam yang disusupkan ke dalam ajaran Islam.
Adapun secara fisik, yang oleh para penyokong JIN dicap sebagai Islam Arab adalah mereka yang mengamalkan sunnah dalam berpenampilan dan berpakaian seperti berjenggot, bercelana di atas mata kaki bagi laki-laki serta bercadar bagi wanita.
Demikianlah, para penggagas Islam Nusantara berusaha melontarkan ide nasionalisme sempit bahkan kesukuan yang dinisbatkan secara dusta atas nama Islam demi menghadang pesatnya perkembangan dakwah salafiyyah di tanah air, yang mengajak umat Islam kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah berdasarkan pemahaman salafussalih...Â